irja

Selasa, 19 April 2011

Konsepsi Operatif Ilmu Asbabun Nuzul


Oleh:Ade Suryadi

Prolog

`Abdullah Darraz, dalam Al-Naba `Al-`Azhim, menulis begini: “Apabila anda membaca Al-Qur`an, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi jika anda membacanya sekali lagi, akan Anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti yang bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. (Ayat-ayat Al-Qur`an) bagaikan intan; setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilakan orang lain, maka ia akan melihat banyak ketimbang apa yang Anda lihat” .

Untuk memperkokoh pendalaman dan menemukan sudut-sudut istimewa lain tentang Al-Qur`an Ilmu Asbabun Nuzul hadir dan membahas kasus-kasus yang menjadikan turunnya beberapa ayat Al-qur’an, macam-macamnya, sight atau redaksi-redaksinya dan tarjih riwayat-riwayatnya. Faedah mempelajari ilmu ini juga bertujuan untuk menyaksikan banyak peristiwa sejarah.

Dalam perkembangannya Ilmu ini menjadi sangat urgen. Hal ini tak lepas dari jerih payah perjuangan para ulama yang mengkhususkan diri dalam upaya membahas segala ruang lingkup sebab nuzulnya Al-Qur`an. Diantaranya yang terkenal yaitu Ali bin Madini , Al-Wahidy dengan kitabnya Asbabun Nuzul, Al-Ja’bary yang meringkas kitab Al Wahidi, Syaikhul islam Ibn Hajar yang mengarang sebuah kitab mengenai asbabun nuzul. Dan As-Suyuthi mengarang kitab Lubabun Nuqul fi Asbab An-Nuzul, sebuah kitab yang sangat memadai dan jelas serta belum ada yang mengarang kitab semacam ini sebelumnya.

Pengertian Asbabun Nuzul
Kalimat Idhafah antara Asbabu dan An-Nuzul secara etimologi berarti sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Asbabun Nuzul yang dimaksudkan disini adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al Quran.

Dan secara terminologi menurut Manna` Alqathan Asbabun Nuzul dipahami sebagai peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al Quran yang berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan . Adapun menurut Az-Zarqany ialah sebab diturunkannya sebuah ayat atau beberapa ayat yang berkenaan dengan kejadian atau penjelasan terhadap suatu hukum atau jawaban dari suatu pertanyaan pada waktu diturunkannya

Dengan artian sebagai sebab untuk kejadian atau pertanyaan yang hanya muncul pada jaman Nabi Saw. maka turunlah satu ayat atau beberapa ayat yang berhubungan dengan kejadian itu atau sebagai jawaban dari pertanyaan yang menuntut penjelasan, baik turunnya ayat secara langsung dengan kejadian tertentu ataupun turun setelah kejadian untuk menjelaskan hikmah dari suatu hukum, misalnya ketika Rasul ditanya orang-orang Quraisy tentang Ruh, Ashabul Kahfi dan Dzil Qarnain maka Rasul Saw bersabda: “Besok akan kuberitahukan kepadamu” tanpa mengucapkan kalimat masyiah. Kemudian wahyu tidak turun dalam beberapa waktu sehingga turunlah ayat sebagai teguran pada Nabi:

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi. Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah" dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini"”

Atau ada juga yang ayatnya turun lebih awal sementara kandungan hukumnya untuk masa yang akan datang, seperti halnya ayat tentang Zakat yang diturunkan di Mekkah sedang pensyari`atan Zakat itu sendiri sesudahnya di Madinah .

Asbabun Nuzul bisa dikatakan sebagai rentetan fakta sejarah yang membantu menjelaskan kandungan ayat Al-Qur`an. Adapun terhadap peristiwa yang terjadi pada Nabi-nabi terdahulu yang dikisahkan dalam al-Qur`an tidaklah dikatakan Asbabun Nuzul begitu pula dengan peristiwa-peristiwa untuk masa yang akan datang seperti berita hari akhir, kenikmatan syurga atau siksaan neraka, dan kebanyakan ayat-ayat Al-Qur`an tidak memiliki Asbabun Nuzulnya.

Dan sebagaimana telah diketahui bahwa ayat-ayat Al-qur`an terbagi pada ayat-ayat ibtidai dan ayat-ayat sababi maka Ilmu Asbabun Nuzul membantu menguatkan sekaligus memisahkannya dengan ayat-ayat ibtida`i atau ayat-ayat permulaan yang tidak ada sebab turunnya seperti dalam masalah akidah, iman dan hal lainnya yang menunjukan tidak semua ayat harus turun berdasarkan kejadian yang menyebabkannya, atau pertanyaan dan hukum yang menuntut penjelasannya.
• Syubhat. Mengingat alam semesta ini ada Penciptanya maka hukum sebab akibat atau aksi reaksi berlaku juga untuk Asbabun Nuzul sehingga tidak mungkin ada ayat yang turun tanpa sebab tertentu. Maka kapabilitas Ilmu Asbabun Nuzul terkesan kurang kompleks.
 Jawab. Memang demikianlah Al-Qur`an, ada ayat-ayatnya yang turun tanpa didahului suatu sebab. Hal ini bukan berarti Ilmu Asbabun Nuzul harus menjelaskan semua ayat-ayat Al-Qur`an. Ilmu Asbabun Nuzul merupakan perangkat untuk memahami Al-Qur`an. Makanya dalam Tujuan Studi Al-Qur`an harus dikuasai pula perangkat lain seperti cara membacanya, tafsirnya dan tak kalah penting nasakh dan mansukhnya serta perangkat-perangkat pelengkap lainnya.

Ada hal yang terlewati dengan menjadikan suatu peristiwa yang merupakan berita masa lampau sebagai Asbabun Nuzul suatu ayat. As-Suyuthi mengatakan: Ada yang menyatakan suatu peristiwa sebagai Asbabun Nuzul padahal hanyalah berita lampau dan ayat yang dimaksud tidak diturunkan pada kejadian peristiwa tersebut. Misalnya pernyataan surat Al-Fiil yang Asbabun Nuzulnya tentang kedatangan Bangsa Habsyi, padahal peristiwa tersebut merupakan berita lampau yang tidak terkait pada waktu turunnya ayat, seperti halnya kisah-kisah kaum Nuh, `Ad dan Tsamud. Sebagaimana ayat tentang sebab dijadikannya Ibrahim sebagai kekasih bukanlah sebab Nuzulnya ayat dibawah ini:
“Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”

Faidah Ilmu Asbabun Nuzul
1. Mengetahui hikmah dan rahasia diturunkannya ayat-ayat Al-Qur`an secara khusus dalam pensyaria`atan agamaNya. Memberikan manfaat baik kepada umat islam ataupun non muslim.

2. Membantu dalam pemahaman suatu ayat serta menghilangkan kerancuan penjelasan. Alwahidy berkata: Tidak mungkin mengetahui kandungan tafsir suatu ayat tanpa berdasarkan pada kisah dan penjelsan peristiwa diturunkannya. Ibnu Taimiyah pun menambahkan bahwa: Ilmu Asbabun Nuzul membantu dalam memahami suatu ayat, sebab ilmu sabab mewariskan ilmu musabab.
Misalnya ketika Urwah Ibnu Jubair mengalami kesulitan dalam memahami makna firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang beribadah Haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya"

Menurut zhahir ayat dinyatakan bahwa Sa'i antara Shafa dan Marwah adalah tidak wajib, bahkan sampai Urwah ibnu Zubair mengatakan kepada bibinya Aisyah r.a.: "Hai bibiku" sesungguhnya Allah telah berfirman: "Tidak mengapa baginya untuk melakukan sa'i antara keduanya", karena itu saya berpendapat bahwa "tidak apa-apa bagi orang yang melakukan Haji Umrah sekalipun tidak melakukan sa'i antara keduanya". Aisyah seraya menjawab: "Hai keponakanku! kata-katamu itu tidak benar. Andaikata maksudnya sebagaimana yang kau katakan niscaya Allah berfirman "tidak mengapa kalau tidak melakukan sa'i antara keduanya".

Setelah itu Aisyah menjelaskan: Bahwasanya orang-orang Jahiliyah dahulu melakukan Sa'i antara Shafa dan Marwah sedang mereka dalam Sa'inya mengunjungi dua patung yang bernama Isaar yang berada di bukit Shafa dan Na'ilah yang berada di bukit Marwah. Tatkala orang-orang masuk Islam diantara kalangan sahabat ada yang merasa berkeberatan untuk melakukan Sa'i antara keduanya karena khawatir campur-baur antara ibadah Islam dengan ibadah Jahiliyah. Dari situ turunlah ayat sebagai bantahan terhadap keberatan mereka (yang mengatakan) kalau-kalau tercela atau berdosa dan menyatakan wajib bagi mereka untuk melakukan Sa'i karena Allah semata bukan karena berhala. Itulah sebabnya Aisyah membantah pendapat Urwah berdasarkan sebab turun ayat.

3. Dapat membantu menjawab atau menyanggah adanya hasr (batasan tertentu). Misalnya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi'i tentang firman Allah SWT:

“Katakanlah! tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”

Dalam hal ini beliau mengungkapkan yang maksudnya: Bahwa orang kafir ketika mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghala1kan apa yang diharamkan Allah serta mereka terlalu berlebihan, maka turunlah ayat sebagai bantahan terhadap mereka. Dengan demikian seolah-olah Allah berfirman "Yang halal hanya yang kamu anggap haram dan yang haram itu yang kamu anggap halal".

Dalam hal ini Allah tidak bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas melainkan sekedar menjelaskan ketentuan yang haram samasekali tidak menyinggung-nyinggung yang halal.

4. Sebagai pentakhsis hukum pada keumuman lafadz bagi ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.

5. Sebagai penguat hukum dan kandungan suatu ayat, sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Al Ghazali dalam Mushtasyfa menyebutkan bahwa tidak boleh mengeluarkan sabab dalam hukum takhsis pada ijtihad.

6. Menetapkan secara tepat kepada siapa ayat tertetu turun sehingga tidak terjadi kesamaran yang bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah. Sebagaimana Marwan menduga bahwa firman Allah SWT:

Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, Apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka"

Ialah diturunkan sehubungan dengan kasus Abdurrahman ibnu Abi Bakar. Aisyah membantah bahwa anggapan tersebut adalah salah, ia menjelaskan kepada Marwan tentang sebab turunnya. Bahwasannya Marwan adalah seorang amil (Gubernur) wilayah Madinah. Muawiyah menginginkan agar Yazid menjadi khalifah setelah lengsernya. Ia menulis surat kepada Marwan tentang persoalannya. Karenanya Marwan mengumpulkan rakyat dan berpidato di hadapan mereka. Dalam pidatonya ia menyebutkan nama Yazid (memfigurkan). Dengan dalih ia menyeru untuk membaiatnya sambil berkata: "Sesungguhnya Amirul Mukminin telah diperlihatkan oleh Allah tentang pendapat yang baik dalam diri Yazid. Bila Amirul Mu'minin mengangkatnya sebagai khalifah, sungguh Abu Bakar dan Umar pun telah menjadi khalifah".

Abdurrahman menjawab: "Bukankah sistem yang demikian itu merupakan Herakliusisme?" (Maksudnya itu adalah kediktatoran seorang raja sebagaimana tindakan raja-raja Romawi). Marwan menjawab: Itu sama dengan sunah Abu Bakar dan Umar. Abdurrahman menjawab lagi "Herakliusisme". Abu Bakar dan Umar tidak mengangkat keturunan atau familinya, sedangkan Muawiyah bertindak semata-mata untuk kehormatan anaknya. Lalu Marwan berkata "Tangkaplah ia Abdurrahman". Abdurrahman masuk ke rumah Aisyah, karena itu pengejar-pengejarnya tidak dapat menangkapnya. Setelah itu Marwan mengatakan "Dialah orang yang menjadi kasus sehingga Allah menurunkan tersebut.

Dari balik tabir Aisyah menjawab "Allah tidak pernah menurunkan ayat Al-Qur'an tentang kasus seseorang tertentu di antara kita kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan berbuat jahat, andaikata aku mau menjelaskan orang yang menjadi kasus turunya ayat tesebut niscaya akan kujelaskan”

7. Mempermudah menghafal dan memahami ayat-ayat Al-qur’an. serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya. Hal ini karena kaitan sabab dengan musabab, hukum dan kejadian dan kejadian dengan orang-orang, waktu dan tempat dalam ilmu nafsi sebagai sesuatu yang menjadikan rekaman dalam otak tertanam kuat.

• Syubhat. Terhadap faidah-faidah diatas banyak yang beranggapan bahwa Ilmu Asbabun Nuzul tidak memiliki pengaruh yang besar dalam mempermudah memahami keotentikan ayat Al-Qur`an, sebab ruang lingkup bahasannya hanya berkisar pada seputar sejarah dan cerita. Banyak yang beranggapan kalau sejarah didominasi oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu. Dengan demikian, sejarah yang dihasilkan pun berunsur kepentingan politik dan doktrin normatif setempat.
 Jawab. Fakta bahwa sejarah dibuat oleh yang memenangkan sejarah tidak menjadikan para ulama tafsir hanya bergantung pada pemahaman dokrtin normatif semata. Dalam perkembangannya Ilmu Asbabun Nuzul telah dikembangkan sebagai konsep yang mendasar dalam pengalaman Ayat Al-Qur`an. Hal-hal yang berbau politik dan doktrin telah benar-benar disaring murni secara selektif dengan metode-metode apik para ulama.

Pedoman Ilmu Asbabun Nuzul
Para ulama menetapkan bahwa pedoman tunggal dalam mengetahui hakikat Asbabun Nuzul tiada lain kecuali hasil dari periwayatan shahih para sahabat yang mendengar dan menyaksikan langsung turunnya suatu ayat, mengetahui qarinah sabab musabab serta situasi dan kondisinynya serta kemudian membahasnya. Alwahidy mengatakan tidak halal meriwayatkan Asbabun Nuzul kecuali berpegang pada pedoman diatas. Az-Zarkasy juga mengatakan bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya suatu ayat adalah perkara yang dihasilkan oleh para sahabat yang mengetahui sisi kejadian dan kaitan diturunkannya ayat.

Hal ini jelas, sebab intensitas para sahabat memiliki semangat yang kuat dalam mengikuti perjalanan turunnya wahyu, selain menghapal Al-Qur`an mereka senantiasa melestarikan sunah Nabi. Sehingga bisa dimaklumi kalau para ulama menolak hasil nalar, rasio dan ijtihad atau pernyataan apapun selain dari riwayat yang shahih, meskipun hal ini tidak berlaku secara mutlak sebab tidak sedikit kenyataan riwayat-riwayatnya memiliki pandangan yang berbeda terhadap Asbabun Nuzul suatu ayat, sehingga diperlukan analisis dan ijtihad untuk melakukan Tarjih.

Adapun bila diriwayatkan dengan hadits Mursal maka periwayatannya ditolak kecuali hadist tersebut sanadnya shahih dan dikuatkan dengan hadits Mursal lainnya serta perawinya pun mufassir dari sahabat seperti Mujahid, `Ikrimah dan Sa`id bin Zubair.

Analisis bentuk Asbabun Nuzul
Terhadap beberapa riwayat yang para Ulama berbeda pendapat tentang Asbabun Nuzulnya, maka sikap mufassir adalah sebagai berikut:

1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat yang disimpulkan darinya dan bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada qarinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzulnya.

2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”. Sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Misalnya pada Riwayat Jabir dan Riwayat Ibn `Umar dalam ayat:

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”

Dalam Riwayatnya Jabir mengatakan bahwa ayat ini turun pada orang Yahudi yang mengatakan: “Barang siapa yang mendatangi isterinya dari belakang maka anaknya akan mendapat kelainan”.Adapun Ibnu `Umar meriwayatkan bahwa ayat tersebut turun pada masalah mendatangi isteri dari belakang`.

Maka Riwayat yang diambil adalah Riwayatnya Jabir yang tegas menunjukan sebab Nuzulnya. Adapun riwayat Ibnu Umar lebih menjelaskan pada hukum pengharaman mendatangi isteri dari belakang.

Adapun perbedaan terhadap riwayat-riwayat yang seluruhnya membahas sababiyah diturunkannya ayat Al-Qur`an, para ulama membaginya pada dua bagian:

1. Ta`addud al-Asbab wa an-Nazil Wahid
Apabila terdapat dua riwayat sedangkan yang turun satu ayat Al-Qur`an dan kedua riwayat tersebut masing-masing menegaskan sebagai sebab Nuzul suatu ayat. Maka kemungkinan riwayat-riwayat tersebut terdiri dari empat bentuk dengan masing-masing hukum yang berbeda:
a. Riwayat pertama shahih dan riwayat yang kedua tidak shahih. Hukumnya jelas dengan mengambil yang shahih dan mengabaikan selainnya.
b. Riwayat kedua-duanya shahih akan tetapi salah satunya murajjah. Maka hukumnya dengan mengambil yang rajih sebagai dalil. Selain salah satu dari kedua dalil itu ada yang lebih kuat ditambahkan dengan salah satu perawinya ada yang menyaksikan langsung kisahnya.
c. Riwayat kedua-duanya shahih dan kedua-duanya tidak murajjah. Hukum Ta`adud asbabnya boleh atau kedua-duanya bisa dijadikan dalil, jika dimensi waktu keduanya berdekatan. Sebab peristiwa-peristiwa yang diriwayatkan sama-sama menyebabkan suatu ayat diturunkan. Dalam hal ini ibnu Hajar berpendapat dengan membolehkan ta`adud asbab
d. Riwayat kedua-duanya shahih dan kedua-duanya tidak murajjah. Hukum ta`addud asbabnya dinyatakan bahwa ayat yang sama diturunkan lebih dari sekali atau mengalami tikrar (pengulangan), jika dimensi waktu keduanya berjauhan.
• Syubhat. Banyak kalangan yang beranggapan bahwa adanya pengulangan terhadap ayat yang diturunkan sama saja dengan menunjukan bahwa hal itu sia-sia. Sebab selama ayat telah diturunkan sebelum perkara baru maka untuk menjawab perkara baru yang sama ini cukup dengan memunculkannya kembali dari penjagaan Rasul dan hapalan para sahabat serta tidak ada kebutuhan untuk menurunkan ayat yang sama untuk kedua kalinya.
 Jawab. Ada hikmah yang tinggi dalam hal pengulangan ini. Ialah sebagai peringatan Allah terhadap hambaNya. Terdapat wasiat yang bermanfaat yang sangat dibutuhkan manusia. Az-Zarkasyi berpendapat selain sebagai pengingat kejadian sehingga tidak melupakannya ada pula keagungan tersendiri dalam hal pengulangan ayat.

2. Ta`addud Nazil wa al-Sabab Wahid
Sebaliknya, Terkadang satu perkara kejadian bisa menjadi sebab turunnya dua ayat atau beberapa ayat. Hal ini tidaklah kenapa sebab tidak menimbulkan hilangnya hikmah dan hidayah untuk hamba serta penjelasan yang haq, bahkan hal ini malah menjadikan penjelasanannya semakin kompleks dan persuatif.

Contoh dari bagian ini yaitu riwayat Hakim dan Tirmidzi dari Ummu Salamah dia berkata: Wahai Rasullullah aku belum pernah mendengar Allah menyebut para perempuan dalam ayat hijrah sekalipun. Maka turunlah ayat:
"Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan”

Kemudian Hakim juga meriwayatkan dari Ummu Salamah berkata: Bahwasannya engkau menyebut kaum laki-laki dan tidak menyebut kaum perempuan. Maka turunlah ayat:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”

Unsur Umum dan Khusus dalam Lafadz dan Sebab
Pembahasan ini lebih didalami lagi oleh para Ulama Ushul yang mempelajari dalil-dalil hukum dari segi lafadz-lafad Al-Qur`an, namun sedikit pembahasan ringkasan mengenai hal ini perlu diketahui sebagai perangkat yang harus dikuasai dalam mendalami Ilmu Asbabun Nuzul.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah pengambilan hukum itu diambil dari keumuman lafadz atau kekhususan sebab.

1. Jumhur Ulama, Mereka berpendapat bahwa penentuan hukum berdasarkan keumuman lafadz dan bukan berdasarkan kekhususan sebab. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum secara langsung mencakup semua gambaran sebab yang khusus. Para ulama telah menerima metode pengambilan dalil semacam ini, mereka mengatakan bahwa lafadz-lafadz khusus kandungan hukumnya berlaku untuk umum meski lafadznya ditujukan secara khusus pada perseorangan. Mereka juga berpendapat bahwa meskipun orang-orang berselisih tentang hal ini, tapi tidak ada yang mengatakan bahwa keumuman diturunkannya kitab dan sunah ditujukan pada orang-orang tertentu. Ketika dikatakan ayat ini khusus buat orang tertentu maka dikesempatan lain akan menjadi umum disebabkan ada unsur-unsur serupa dengan peristiwa kenapa ayat itu harus turun.
Misalnya ayat tentang dzihar, bahwasannya ketika Khaulah binti Tsa’labah mempertanyakan suatu hal kepada Nabi Saw. bahwasannya dia dikenakan Dzihar oleh suaminya Aus bin Shamit, katanya: “Wahai Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan Dzihar kepadaku” . Maka turunlah ayat:

“Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat”

Kandungan hukum ayat ini tidaklah diperuntukan untuk Aus bin Shamit saja atau seperti halnya ayat Li`an tidak khusus untuk Hilal bin Umyah saja atau ayat tentang Kalalah khusus pada Jabir bin Abdullah, kandungan hukum ayat tersebut ditetapkan untuk umum dan cara penetapannya tidak dengan Qiyas ataupun Ijtihad.
• Syubhat. Ketika para ulama telah mencurahkan segala perhatian dan usaha untuk mengkaji ilmu Asbabun Nuzul serta berhasil mengkodifikasikannya. Maka merupakan kesia-siaan jika kita tidak mengabaikan keumuman lafadz dan tidak kembali menjadikan unsur-unsur sebab khusus sebagai landasan penetapan hukum. Dan kalaulah bukan dengan kekhususan sebab buat apa para ulama memperhatikan, menjelaskan dan berinisiatif dalam pengkodifikasiannya.
 Jawab. Ilmu dalam Asbabun Nuzul memiliki manfaat dan keistimewaan-keistimewaan yang luas sehingga alasan dengan mengatakan telah menyia-nyiakan jerih payah para ulama karena telah mengabaikan kekhususan sebab merupakan anggapan yang tidak berdasar.

• Syubhat. Pentakhiran penjelasan sebuah kejadian atau ayat yang turun setelah kejadian menunjukan pentingnya suatu sebab yang khusus serta sebagai dasar utama penjelasan kandungan didalamnya. Maka dalam hal ini keumuman lafadz tidaklah menjadi dasar utama sebab bagaimana dipahami ada kaitan kalau peristiwanya mendahului dan ayatnya turun belakangan. Kalaulah kekhususan sebab tidak dijadikan dasar kenapa penjelasan atau ayat mesti diakhirkan.
 Jawab. Takhir Bayan hukumnya boleh dan Hikmahnya pun sebagai penjelas dan memberikan hikmah pada ayat yang turun . Adapun syubhat semacam itu tidaklah diterima sebab tidak relevan dengan lafadz atau ayat yang memiliki penjelsan lebih kuat.

2. Jamaah lain, mereka berpendapat bahwa penentuan hukum berdasarkan kekhususan sebab dan bukan dari segi keumuman lafadz. Hal ini supaya tujuan atau hikmah dengan adanya sebab khusus tetap ada. Adapun untuk menjadikannya umum bisa memakai Qiyas dan Ijtihad. Sehingga mereka berpendapat ayat yang dicontohkan Jumhur Ulama diatas maksudnya tetap secara khusus ditujukan pada orang tertentu, adapun keumuman hukum yang berlaku ditetapkan dengan Qiyas atau dengan riwayat lain.

Epilog
Tentunya Ilmu Asbabun Nuzul ini merupakan konsep cantik dan dinamik sebagai asas yang kukuh dalam tradisi ilmu Islam; Pada setiap masanya selalu memberi sumbangan untuk penyelesaian masalah-masalah pemahaman dan studi Al-Qur`an.

Meski sadar apa yang telah dibahas diatas masih jauh dari kesempurnaan. Tapi semoga kita senantiasa terus aktif dan bersedia pula untuk terus memberikan perhatian khusus lagi pada apa yang melingkupi dunia para pencari ilmu. Sebagai pelajar yang memilki komitmen moral dan sadar akan pentingnya ilmu demi menghidupkan dan mengabadikan agama. Dengan terus melakukan langkah-langkah kecil demi perubahan semoga dapat membantu pemecahan masalah agama dan umat khususnya. Wallahu`alamu bis-Shawab.




Referensi
 Al-Qur`an Terjemah
 Suyuthi, Imam, al-itqan fi `Ulumil Qur`an, Tawfikia Bookshop, Cairo-Egypt
 Assais, `Ali, Tafsiru Ayatil Ahkam, As-Shafa Bookshop, Cairo, 2001
 Az-Zarqany, Manahilul `Irfan fi `Ulumil Qur`an, Dar El Hadits, Cairo, 2001
 Asnawi, Imam, Nihayatus Suul fi Syarhi Minhaajul Usul, Nafqah Qith`a Ma`ahid Azhariyah, Cairo 2008
 Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur`an, Mizan, Bandung 2006
 `Abdul Ghani, Abdul Fattah, Asbabun Nuzul `anis Shahabah wal Mufassirin, Darussalam, Cairo, 2007
 Al-Qathan, Manna`, Mabahits fi `Ulumil Qur`an, Al-Maarif Bookstore, Riyadh, 2000

Metode Dalam Mengkaji Ijazul Ilmi Pada Al-Qur'an dan Hadist


Metode Dalam Mengkaji Ijazul Ilmi Pada Al-Qur'an dan Hadist (1)

Oleh : MH. Kholilyanto.

A. Mukadimah.

Maha suci Allah Swt. yang telah menciptakan semua yang dibutuhkan manusia, tidak ada Tuhan yang wajib disembah dan di agungkan kecuali Dia, yang dengan-Nya kita bersandar dan berharap untuk selalu mendapatkan rahmat serta maghfirohnya. Selawat serta salam selalu tetap tercurahkan kepada manusia super, Muhammad Saw. Kekasih-Nya dengan misi menyebarkan ketauhidan dan memberantas kebodohan serta kebobrokan akhlak, yang dibekali al-Qur'an sebagai mukjizat yang abadi, yang di wariskan kepada pengikutnya.
Perlu diketahui, sepanjang sejarah di dunia ini, tidak ada satu nash pun yang terjaga dari tahrif, pengurangan dan penambahan, kecuali al-Qur'an. Ini merupakan persoalan yang merombak adat kebiasaan, di samping sebagai mukjizat yang mendorong jiwa untuk membenarkannya.(2) Al- Quran juga berbicara tentang sains yang mencakup dari pada beberapa macam i'jaz mulai dari ijaz al- thibbi ( kedokteran ) i'jaz al- falaki ( astronomi ) i'jaz al- thabi'i ( fisika ) i'jaz adadi ( jumlah ) i'jaz ilmi ( informasi ) dan i'jaz-i'jaz lainnya. Hal ini sangat jelas, kalau al- Qur'an bukanlah buatan seorang Muhammad Saw., yang tidak bisa menulis dan membaca. Namun ini adalah kitab samawi yang bersumber dari Allah Swt., Tuhan penguasa jagad alam raya ini.
Kemajuan suatu peradaban akan membuka suatu rahasia- rahasia yang selama ini tidak terungkap. Banyak misteri yang selama ini ada dalam al-Qu'ran dan Hadist, hanya dipahami melalui keyakinan, namun tidak dibenarkan dengan teknologi. Akan tetapi, di abad ini banyak para ulama mengkaji serta meneliti beberapa ayat al-Qur'an dan Hadist yang berkaitan dengan sains dan mereka menemukan bukti-bukti akan kebenaran al-Qur'an dan Hadist. Di sana terdapat perbedaan pendapat para ulama, dalam penafsiran tafsir 'ilmi tersebut. Untuk lebih lanjutnya, mari kita bahas apa maksud dari pada mukjizat ilmu dalam al-Qur'an dan sunah serta apa sebabnya, sebagian para ulama menolaknya serta alas an apa sebagian ulama membolehkannya.


B. Definisi I'jazul Ilmi

I'jazul ilmi dalam segi bahasa terdiri dari dua kalimat:
a. Kalimat ajaz(3). Yang bermakna melemahkan kebalikan dari kata qudrah
( kuasa) pada dasarnya i'jaz itu adalah hal yang telah lewat, dikatakan
a' jazul umur ( perkara yang telah lewat )
b. Kalimat Ilmi ( pengetahuan ) lawan dari pada jahlun ( bodoh ) bisa dikatakan seorang ulama adalah orang yang paling alim (tahu ) di antara yang lainnya Ilmu juga bisa bisa diartikan dengan: Mengetahui sesuatu dengan hakikatnya.

Sedangkan tafsir ilmi atau i'jazul ilmi menurut istilah yaitu:

1. Menurut Syekh Abdul Mazid Adz Zindani,(4) "Tafsir i'jazul ilmi adalah menyingkap makna ayat di sela-sela yang telah tetap kebenarannya dari penelitian ilmu biologi. Sedangkan untuk i'jaz ilmi yaitu al-Qur'an mengabarkan hakikat sebuah kebenaran dari yang telah dipaparkannya, yang kemudian diadakan sebuah riset penelitian yang membenarkan apa yang telah dilontarkan oleh al-Qur'an yang belum diketahui di zaman nabi.
2. Sedangkan menurut Nazib Al-Agra yaitu "Kecocokan sebuah makna ayat dan hadist terhadap kebenaran penelitian, yang tidak diketahui pada waktu turunnya wahyu dan tidak diketahui kebenarannya, kecuali sesudah mengadakan riset ilmiah, atau dengan wasilah-wasilah materialisme. Hal ini untuk membenarkan risalah yang dibawa oleh nabi yang datang dari Allah Swt.

Adapun tujuan diadakannya riset ilmiah terhadap beberapa ayat dan hadist, tidak lain untuk membuktikan bahwa al- Qur'an dan Hadist adalah dua sumber agama islam yang suci, yang di dalamnya tidak ada kesia-siaan serta perkara yang bohong, sehingga nantinya diharapkan akan bertambahnya keimanan seorang mu'min dan mampuh memberikan dampak yang positif bagi sebagian orang non muslim, sehingga dapat mendorong non muslim untuk mempelajari keagungan al- Qur'an dan Sunah.
Perlu kita ketahui, bahwa masyarakat yang hidup di zaman sekarang, adalah masyarakat madani, yang hidup di tengah-tengah kemajuan teknologi dan sains yang tidak hanya menerima sesuatu kebenaran dengan keyakinan saja, akan tetapi harus dengan penelitian dari esensi kebenaran tersebut, khususnya masyarakat non Islam yang tidak mempercayai al-Qur'an dan Hadist kecuali sudah tersingkapnya suatu kebenaran dari objek yang mereka teliti. dari petunjuk al- Qur'an dan Hadist. Hal ini sebagai pemberitahuan bagi kaum muslimin khususnya dan umumnya kepada non muslim " Bahwa al- Qur'an dan Sunah tidak akan pernah saling bertentangan satu sama lain. Namun sebaliknya, keduanya saling menguatkan, melengkapi dan menjelaskan satu sama lainnya. Hal ini jelas menunjukan bahwa al-Qur'an dan sunah tidak pernah mengingkari kebenaran ilmiah yang dihasilkan dari riset penelitian yang modern.
Menurut Dr. Karim Sayid Ganim" Apabilah ada suatu isyarat ilmiah yang di lontarkan oleh al- Qur'an, maka harus membutuhkan kepada riset penelitian yang teliti dan pembahasan yang khusus. Dan setelah tersingkapnya suatu kebenaran dari hasil riset ilmiah tersebut, ketahuilah, bahwa itu bukanlah akhir dari tujuan riset ilmiah. Hal tersebut hanya sebagai wasilah untuk sampai kepada perbuatan yang terhormat, sehingga di harapkan dari kebenaran al- Qur'an menumbuhkan keyakinan yang kuat bagi seorang muslim sedangkan bagi non muslim membebaskan pemikirannya dari sifat dusta dan menjauhkan dirinya dari perbuatan yang menyimpang.

C. Faktor Yang Mendorong Mempelajari I'jazul Ilmi.

Di sana ada beberapa faktor yang mendorong para ulama islam untuk mengkaji dan mengadakan riset ilmiah, pada beberapa abad lalu dengan sebab dibawah ini:
1. Sesungguhnya risalah nabi Muhammad Saw. adalah bersifat terus menerus yang tidak hilang ditelan waktu dan tempat. Beberapa kitab suci terdahulu telah mengabarkan akan hadirnya seorang utusan dari bangsa Arab yang bernama Ahmad. Dialah nabi penutup dari nabi-nabi sesudahnya, dengan dibekali sebuah mukjizat yang berupa al- Qur'an. Para pemuka kafir Quraisy baik dari golongan Yahudi dan Nasrani sangat bersikeras untuk melenyapkan mukjizat nabi akhir zaman itu, dengan membuat sebuah fitnah serta sanggahan bahwa al- Qur'an adalah buatan Muhamad, yang bersumber dari berita terdahulu, yang diadopsi dari pembaritahuan pendeta Nasrani dan Yahudi kepadanya, hal ini tentu mengingkari esensi wahyu yang turun kepadanya. Maka, dari sinilah sebagian para ulama mengkaji , meneliti objek ijazul ilmi al-Qur'an dan Hadist nabi untuk menetapkan kebenaran wahyu yang turun kepadanya, serta untuk membantah sanggahan mereka bahwa al- Qur'an buatan Muhamad yang diberi tahu oleh pendeta-pendeta tatkala itu.

2. Menjadikan i'jazul ilmi sebagai wasilah dalam berdakwah kepada para intelektual non muslim yang berkecimpung di dalam riset ilmu pengetahuan, bahwa apa yang dikabarkan oleh al- Qur'an dan Sunah adalah berita yang absolut kebenarannya, dengan beberapa hasil riset ilmiah yang sesuai dengan berita al- Qur'an.

3. Menjelaskan kepada seluruh dunia, bahwa kebenaran dari hasil riset ilmiah yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunah sebagai suatu dalil, kalau mukjizat Allah Swt. itu sesuai dalam kondisi bagaimanapun, baik itu yang mencakup dalam permasalahan meterialisme, sosialisme dan lain sebagainya. Al- Qur'an dan Sunah adalah wahyu yang bersumber dari Allah Swt. yang relevan untuk setiap kondisi dan pantas untuk diikuti serta di patuhi segala perintah dan larangannya.


D. Perbedaan Antara Tafsir 'Ilmi dan I'jazul Ilmi Al-quran.

Maksud dari tafsir 'ilmi menurut sebagian ulama yaitu, "Bersandarnya suatu penafsiran ayat, kepada hasil riset yang telah diketahui atau diyakini akan kebenarannya.

Sedangkan menurut Syekh Abdul Mazid Ad Zindani adalah " Tersingkapnya makna ayat atau hadist, setelah diadakannya riset penelitian dengan ilmu kosmologi.
Adapun menurut Dr. Ahmad Muhammad Abdul Qodir "Bahwasanya awal dari pentafsiran 'ilmi dalam Al-Qur'an, tidaklah diharuskan di dalamnya untuk mendalami kebenaran permasalahan ilmiah, baik dengan penelitian atau penjelasan yang kongkret; karena tatkala itu para mufasir menafsirkan ayat al-Qur'an dengan metode yang ia sudah yakini kebenarannya pada waktu itu. Hal tersebut menjadikan tafsir ilmi tatkala itu bermacam-macam coraknya, karena lahir dari hasil iztihad mereka, sehingga bisa jadi tidak sampai kepada kedudukan yang mengagungkan. Namun, manakalah ada seseorang yang meneliti dan mengkaji permasalahan ini, dan kemudian mendapatkan sebuah kebenaran yang nyata dari segi ilmiah dan lain sebagainya, maka kita bisa menerima dengan akal sehat. Maka dari sini tidak diragukan lagi bahwa fase tafsir akan pindah ke fase i'jaz, dalam artian setiap i'jaz ilmi adalah tafsir ilmi dan tidak sebaliknya yaitu bukanlah setiap tafsir 'ilmi yaitu i'zajul ilmi.
Hal tersebut dikarenakan i'zajul ilmi yaitu sebuah isyarat terhadap permasalahan-permasalahn ilmiah kosmologi yang disebutkan di dalam nusus-nusus wahyu yang setelah beberapa abad tersingkaplah kebenarannya dari hasil penelitiannya.

E. Sikap Para Ulama Terhadap Tafsir 'Ilmi.(5)

Para ulama berbeda pandangan terhadap kedudukan tafsir 'ilmi, ada yang mengingkari akan esensinya, adapula yang menyetujui keberadaannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang membuat para ulama berbeda pendapat. Untuk lebih jelasanya, kita akan membahas sikap dan alasan yang jelas, kenapa sebagian para ulama mengingkari tafsir ilmi al- Qur'an.
Inilah nama beberapah tokoh ulama yang mengingkari serta menolak tafsir 'ilmi al-Qur'an yang diantaranya dari ulama-ulama terdahulu yaitu:

a. Abu Ishak as-Syatibi dengan mengatakan " Sesungguhnya kebanyakan manusia di zaman sekarang lebih banyak melampaui batas dalam berdakwah terhadap al- Qur'an, sehingga mereka begitu mudah menyandarkan setiap disiplin ilmu seperti biologi, mantik, dan ilmu umum bersumber dari al-Qur'an. Maka dari sinilah ulama salafus shaleh dari golongan sahabat, tabi'in dan sesudahnya yang lebih paham terhadap al- Qur'an dan Sunah, tidak pernah di antara mereka mengklaim bahwa ilmu-ilmu yang di atas bersumber dari al-Qur'an, kecuali sesuatu yang sudah tetap dari hukum-hukum taklifi dan hukum akhirat, walaupun mereka pada waktu itu mendalami serta meneliti al-Quran, tetap saja mereka tidak mengambil kesimpulan seperti anggapan orang selama ini, maka hal tersebut menunjukan sangkaan yang di atas tidaklah benar.

b. Mahmud Syaltut berpendapat "Sesungguhnya orang yang aktif dalam melakukan riset ilmiah, baik itu dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian melibatkan al-Quran di dalamnya, adalah kesalahan yang tidak bisa diragukan lagi, karena Allah Swt. tidak menurunkan al- Qur'an sebagai bahan perbandingan dalam riset penelitian, karena jika al-Qur'an dijadikan sebagai alat untuk membuktikan ilmu pengetahuan, maka bisa saja akan membawa kepada resiko, kalau suatu saat nanti akan dianulir oleh temuan baru. Sedangkan kedudukan suatu kebenaran riset ilmiah bersifat relatif, yang bisa dianulir oleh waktu dan tempat. Namun, mana kala al-Qur'an itu cocok dengan hasil penelitian dan untuk beberapa tahun dianulir berbeda, maka akan membawa kepada sifat keragu-raguan terhadap kitab suci al-Qur'an. Hal seperti inilah yang ditakutkan oleh kalangan ulama yang mengingkari i'zajul ilmi al-Qur'an

c. Syekh Muhammad Al-Ghazali berpendapat tentang masalah ini dengan mengatakan, "Janganlah kalian menafsirkan ayat al- Qur'an untuk sebuah penelitian, karena sebuah penelitian akan menerima suatu perubahan yang sesuai dengan waktu dan tempat. Dan jangan pula engkau memaparkan al- Qur'an karena perkiraan yang meragukan, karena bisa jadi akan berdampak kepada kesalahan. Namun, mana kala hasil penelitian itu sepakat dengan apa yang dipaparkan oleh al- Qur'an, maka penafsiran itu baik sesuai dengan firman Allah Swt. : "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?" (Surat fushshilat: 53).

Inilah nama – nama para ulama muta'akhirin yang tidak membolehkan menafsiran al- Qur'an dengan cara ilmiah yaitu:
1. Syekh Mahmud Syaltut.
2. Dr. Muhammad Husein Adzahabi.
3. Syekh Muhammad Al-Ghazali.
4. Syekh Muhammad Al- Madani.
5. Syekh Amin Al- khally.

Setelah kita mengetahui dasar-dasar pelarangan pentafsiran ijazul ilmi serta nama para ulama yang melarangnya, maka akan lebih baiknya kita mengetahui alasan beberapa ulama yang membolehkan ijazul ilmi terhadap al- Qur'an, di antara ulama yang membolehkan yaitu:

1. Abu Hamid Al- Ghazali.
2. Imam Ar-Razi.
3. Ibnu Abil Fadli Al-Mursi.
4. Imam Suyuthi.
5. Muhammad Rasyid Ridhlo.

Menurut Imam Al- Ghazali rohimahullah "Bahwasannya seluruh disiplin ilmu itu masuk kedalam kekuasaan Allah 'azza wa jalla, baik di dalam dzat-Nya dan juga di dalam sifat-sifat-Nya, dan kumpulan disiplin ilmu di jagad alam raya ini, tidak akan pernah ada akhirnya bagi manusia. Karena didalam Al-Qur'an itu sendiri terdapat beberapa isyarat serta tanda pengkodifikasian seluruh disiplin ilmu, yang hanya dapat diketahui dengan rumus-rumus tertentu serta dalil-dalil yang khusus, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang memahami maksud dari kalamullah 'azza wa jalla.
Sedangkan menurut ulama muta'akhirin dari ulama hadist mereka berpendapat, boleh saja menjadikan Al-Qur'an itu sebagai objek kajian ilmiah( penelitian) untuk mencocokan sebuah penemuan dijaman sekarang, dengan apa yang telah diberitakan oleh al-Quran empat belas abad silam lalu.

Muhammad Abduh dan ulama-ulama muta'akhirin memberikan sebuah contoh(6)" pada ayat (7)
  •  
3. dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong,


Dengan ditafsirkan kalau burung ababil di sini adalah sejenis hewan yang berupa lalat atau nyamuk atau bakteri.
Sedangkan dalam ayat
    
4. yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,


mereka menafsirkan bahwa batu di sini adalah debu yang di dalamnya terdapat kuman / basil yang ditiupkan oleh angin, yang apabila terkena olehnya akan menyebabkan kematian bagi seseorang.

Muhammad Abduh menjelaskan, "Boleh saja bagi kita meyakini bahwa burung disini yaitu dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa bakteri penyakit, sedangkan batu disini yaitu tanah / debu yang beracun yang dibawa oleh angin yang apabila mengenai jasad manusia, maka akan masuk racun kedalam tubuhnya, dan kemudian memberi dampak luka, dan setelah itu membawa kepada terkupasnya daging dari tulangnya . ketahuilah kebanyakan dari burung-burung ini lemah yang Allah siapkan untuk menjadi pasukannya dalam membumi anguskan manusia yang Ia inginkan."


#Poin-Poin Penting Yang Mempunyai Kesamaan Di Antara Dua Pendapat Golongan di Atas.

Setelah kita mengetahui beberapa nama Ulama yang Pro dan Kontra terhadap tafsir ilmi al- Qur'an ternyata disana ada beberapa perkara atau poin yang mereka sepakati bersama yaitu:

a. Sesungguhnya suatu kebenaran ilmiah tidak akan pernah bertentangan dengan al- Qur'an, apabila dikonsultasihkan kepada penjelasan ayat-ayat kosmologi yang bisa diterima oleh syariat, lalu dijadikan sebagai bidang dakwah kepada umat.
b. Dari sekian banyak ayat-ayat dalam al-quran mempunyai isyarat yang berkaitan dengan bidang ilmiah yang telah di sebutkan 14 abad silam yang lalu. Dan hal yang seperti ini, yang dinamakan ijazul ilmi, sehingga tidak ada perbedaan di antara kalangan para ulama islam tentang hal ini.
c. Menjadikan al-Qur'an itu diperhitungkan esensinya sebagai kitab hidayah, dan petunjuk bagi kehidupan manusia, bukan sebagai kitab pemisah antara disiplin ilmu biologi, kosmologi dan ilmu lainnya.


F. Pondasi Yang Harus Diperhatikan Tatkala Mengkaji I'jazul 'Ilmi di Al-Qur'an dan Sunah.

Para ulama yang bergelut di bidang riset ilmu pengetahuan, dengan membawa al-Qur'an di dalamnya memberikan dasar-dasar yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang ingin menjadikan al-Qur'an sebagai penguat hasil risetnya, atau bagi ilmuan yang mempunyai keinginan untuk mengkaji beberapa ayat yang menunjukan isyarat ilmiah dengan dasar-dasar di bawah ini:

1. Harus mempunyai keyakinan yang teguh, bahwa al-Qur'an dan Sunah adalah bagian dari pada kitab suci agama Islam yang tidak ada keraguan di dalamnya, yang Allah Swt. wahyukan kepada nabi Muhamad Saw. yang tidak terdapat kecacatan di sisinya. Tentunya hal ini sudah masyhur di kalangan umat Islam, kalau al-Qur'an kalamullah sebagaimana dalam firman-Nya.(8)
                   

"Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas"
.
Adapun untuk Hadist ia juga termasuk bagian dari wahyu Allah Swt, namun untuk lafaz bersumber dari nabi Muhamad Saw., sebagaimana yang di katakan Allah Swt dalam firman-Nya. (9)
          
3. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).




2. Menetapkan suatu keyakinan, kalau al-Qur'an dan Sunah adalah pedoman hidup manusia yang tidak terkontaminasi kesuciannya sebagai nasehat, maka janganlah bersifat sewenang-wenang dalam mentakwilkan keduanya untuk menetapkan maksud yang dituju, dan apa yang dipaparkan al-Qur'an serta Sunah tidak akan pernah bertentangan dengan riset ilmu pengetahuan, dengan dalil ayat yang pertama iqro' ( baca ) mendorong untuk mendalami disiplin ilmu maka tidak masuk akal risalah yang dibawa oleh Rasulullah bertentangan dengan ilmu pengetahuan

3. Seyogyanya menjauhkan al-Qur'an dan Sunah terhadap riset ilmiah, manakalah sudah sampai kepada penjelasan yang dimaksud dan hindarkan mempublikasikan atas keterlibatan al-Qur'an terhadap kegiatan riset ilmu tersebut, karena ditakutkan akan berdampak kepada ketidakabsolutan al-Qur'an dan Hadist dikemudian hari, manakalah terjadi resiko teranulir oleh penemuan baru yang tidak sesuai dengan penemuan yang dulu.

4. Pemusatan dalam mengkaji dalil Hadist, harus bersandar kepada Hadist yang sahih tidak menyandarkan kepada Hadist yang dha'if, walaupun dikuatkan oleh beberapa hal.

5. Sesungguhnya Al-Qur'an bukanlah pedoman kitab riset ilmu pengetahuan dan teknologi saja begitu juga dengan Hadist nabi. Jika hal demikian diartikan seperti itu, maka hal ini akan meniadakan tujuan yang pertama diturunkannya al-Qur'an sebagai hidayah untuk manusia dan pembimbing kepada jalan yang hak.

Menurut Ustadz Abbas Mahmud Al- Aqod(10) "Ketahuilah bahwa al-Qur'an sejatinya banyak membimbing kita kepada ilmu dan pengetahuan. Namun, bimbingan al-Qur'an bagi manusia dalam masalah ilmu akidah, karena al-Qur'an adalah kitab akidah, bukan sebuah kitab disiplin ilmu kimia, biologi dan yang lainnya. Jadi, tidak semestinya bagi seorang mu'min, menjadikan al-Qur'an itu sebagai kitab riset ilmiah, yang digunakan untuk menggali ilmu pengetahuan dan teknologi, yang nantinya akan dipergunakan untuk mempresentasihkan hasil riset tersebut, maka hal ini sangat mengkuatirkan mana kala akal manusia yang lemah ini tidak mampuh membaca rahasia kebesaran Allah Swt. Maka, dengan mudahnya dia akan menyalahkan al-Qur'an, tatkala al-Qur'an tidak sesuai dengan hasil riset tersebut

Pendapat Ustad Abbas hampir sama dengan pandangan DR. Abdul Karim Usman yang mengatakan "Bahwa al-Qur'an adalah kitab akidah, yang mencakup di dalamnya kepada dua perkara dibawah ini.
a. Mengikat sebuah perbedaan pengetahuan dan disiplin ilmu dengan iman dan akidah.
b. Mendorong manusia untuk berfikir positif, meneliti yang benar kepada kehidupan manusia, hewan, tumbuhan dan seluruh jagad raya ini.

6. Mengetahui kaidah bahasa Arab dan standar penjelasan ayat tersebut.
7.Pengukuhan nusus, karena tidak semua Hadist mempunyai kedudukan yang sahih, adakalanya hasan ataupun dha'if, maka sebelum dikaji lebih jauh dianjurkan untuk melihat derajat Hadist tersebut.
8. Saling menguatkan antara ayat al-Qur'an dan Hadist atau sebaliknya sehingga tidak jatuh kepada pemahaman yang setengah- setengah atau secara globalnya saja , agar tidak terjatuh kepada kekeliruan dalam memahami Hadist dan al-Qur'an.


G. Histori Lahirnya I'jazul Ilmi di Dalam Al-Qur'an dan Sunah.

Al-Qur'an sebagai kitab suci kaum muslimin tentunya mempunyai rahasia-rahasia yang tidak tersingkap oleh panca indra, seyogyanya tatkala kita mengkaji dengan mengeluarkan segenap kemampuan yang Allah anugerahkan kepada kita, tentunya kita akan menemukan kandungan yang menakjubkan dalam kitab suci ini, mulai dari keindahan segi bahasanya, uslub-nya, dan seluruh disiplin ilmu lainnya. hal tersebut membuat para tokoh muslimin mengkaji dengan cerdas apa yang telah tertuang dalam Al-Qur'an dan Hadist khususnya dalam bidang ilmu kosmologi yang berkaitan dengan kehidupan manusia, yang berbau sains.
Maka pada abad ke tiga hijriah bertepatan dengan inspansi islam ke berbagai daerah dan ramainya penterjemahan kitab non arab kedalam bahasa arab, timbul lah gagasan riset ilmiah terhadap Al- Qur'an dan Hadist yang pada waktu itu terkodifikasihkan kepada dua metode
a. Di sela-sela penulisan kitab tafsir.
b. Penulisa independen terhadap i'jaz, seperti ijaz bayan dan ijaz bahasa, pada awal pengkodifikasian ijaz tatkala itu.

Adapun sebagian Ulama yang mengkaji ijazul ilmi di sela-sela kitab tafsirnya sebagaimana yang di katakan oleh Dr. Karim Sayid Ghanim yaitu:

1. Al- Imam Ibnu jarir At- thabari yangwafat pada tahun 310.
2. Al-Imam Al- Baqolani pada abad ke lima hijriah tahun 430 dengan nama kitabnya Ijazul Qur’an.
3. Al- Imam Jamahsyari pada abad ke 6 tahun 538 H.
4. Ibnu Atiah Al- Karnati 542 H.

5. Kemudian pada abad ke 7 mulai banyak para Ulama yang mengkaji ijazul ilmi seperti Al- Imam Fakhurudin Ar- raji 606 . Kemudian Imam Al- Qurtubi 671 H, didalam tafsirnya Jamiul ahkamul qur’an dan Imam Al- Baidhawi 68O H. didalam kitabnya Anwarul Tanjil.

H. Contoh I'jazul Ilmi Dalam Al-Quran.

#Ayat 222 dari surat al-Baqorah, yaitu:
Islam telah mengharamkan menyetubuhi seorang istri yang sedang haid dikarenakan akan menimbulkan dampak yang berbahaya pada diri kita, hal ini dibenarkan oleh riset ilmiah sebagaimana dikatakan oleh Dr. Sabir Wafahuri, "Bahwasanya melakukan hubungan badan dalam keadaan haid dan di sela-sela setelah bersalin yang pertama sesudah wiladah terkadang akan menyebabkan berdambak yang negatif bagi seorang wanita untuk terjangkit penyakit yang berbahaya dengan sebab menyebarnya baksil ke dalam dirinya melalui jalan bersetubuh yang akan berdampak kepada kemandulan bagi seorang wanita. Hal ini dikuatkan juga oleh pendapatnya Dr. Muhamad Abdullah yang melarang menyetubuhi istri yang sedang haid. Hal tersebut akan berdampak,
1. Seorang wanita yang sedang haid akan mengeluarkan hormon yang khusus yang berbeda dari hari-hari sehatnya, dan hormon ini akan menjadikan seorang wanita akan merasakan kesulitan sehingga menimbulkan rasa benci dalam berhubungan. Perlu diketahui bahwa meninggalkan hubungan badan dalam keadaan haid adalah salah satu bentuk memuliakan pasangan kita.
2. Apabila memaksakan hubungan badan terhadapnya, maka akan berdampak melukai kulit bagian mrs.V-nya dan akan mengakibatkan bertambah banyaknya darah yang keluar dari kemaluannya.
3. Darah haid perumpamaan dari tumbuhnya baksil yang akan masuk kedalam rahim dan kemaluan laki- laki yang kemudian mengendap dan tumbuh penyakit di dalamnya.
4. Kebanyakan seorang wanita akan menginsfeksi radang kemaluan dan leher rahim dengan masuknya baksil di sela-sela hubungan badan.
Inilah rahasia kenapa dilarangnya berhubungan badan tatkala seorang wanita sedang haid, yang bisa membawa dampak negatif bagi keduanya.

# Contoh Ijazul Ilmi di Dalam Hadist.

Hadist yang diriwayatkan oleh Umu Salamah beliau berkata” Ya Rasulallah sesungguhnya Allah Swt. tidak malu terhadap suatu kebenaran. Apakah bagi seorang wanita itu diwajibkan mandi tatkala ia bermimpi enak (bersetubuh)?" Kemudian nabi berkata, ya, apabila ia melihat air (mani). Kemudian Umu Salamah tersenyum dengan berkata, "Seorang wanita yang bermimpi?" Kemudian nabi berkata: Maka dengan apa seorang anak akan lahir kecuali dari air dia.
Setelah beberapa ulama mengkaji tentang hadist ini,ternyata hadist tersebut mencakup kepada dua pembahasan:
1. Tentang fikih.
Yang masuk kepada pembahasan masalah ibadah yaitu dari segi syarat diterimanya ibadah yang di antaranya harus dalam keadaan suci baik dari hadas besar maupun hadas kecil. Hal ini tentunya tidak ada pendeskriminasian antara pria dan wanita, karena dalam ibadah kedudukan wanita itu sama seperti pria kecuali beberapa hal yang memang terdapat toleransi bagi wanita seperti haid dan nifas, sehingga tidak diwajibkan bagi mereka mengganti shalat yang mereka tinggalkan. Adapun dalam masalah puasa, maka kewajiban tersebut tidak gugur untuknya karena puasa adalah amalan ibadah yang datangnya hanya setahun sekali, berbeda dengan shalat yang dilaksankan setiap hari yang dibebankan kepada kaum muslimin.
2. Berkaitan tentang penciptaan.
Bahwasanya dalam lafadz ??? ???? ????? mencakup di dalamnya ijazul ilmi yang berkenaan dengan sifat , nasab yang diwariskan oleh orang tua kepada anaknya. Ini adalah salah satu ijazul ilmi dari rasulullah yang mana telah melegalkan bahwa terbentuknya seorang anak dari air (mani) pria dan wanita, dan juga bagi seorang ibu dibeberapa hal akan lebih banyak mewariskan sifatnya kepada anak tersebut dibandingkan suaminya. Itu semua disebabkan karena lebih banyaknya gen-gen yang masuk dalam diri anak pada waktu ia di dalam kandungan. Dan permasalahan yang urgen ini belum tersingkap, tatkala waktu turunya risalah tidak juga sesudahnya atau dari waktu kewaktu sampai kepada abad sekarang sekitar abad kedua kemungkinan.
Para ilmuan berbeda pendapat tentang pembentukan janin kita bisa melihat setiap golongan berbeda pendapat satu sama lain seperti beberapa pendapat di bawah ini.
1. Kelompok yang pertama berpendapat bahwa pembentukan seorang anak dalam janin itu secara spontanitas, yang dibantu oleh iklim tempat tinggal, panas yang terntentu, dan unsur-unsur bumi.
2. Kelompok kedua berpendapat, bahwa esensi gen seorang ibu itu tidak ikut andil dalam mewariskan pola pikir seorang anak, akan tetapi sperma seorang ayah itu, yang mempengaruhi anak.
3. Kelompok ketiga berpendapat, bahwa esensi pembentukan janin seorang anak sampai ia tumbuh dewasa, adalah percampuran antara sperma dan ovum, namun seorang ibu lebih banyak mewariskan sifat dan wataknya kepada seorang anak.





I. Epilog.

Al-Qur'an sebagai mu'jizat nabi Muhammad Saw. telah membuktikan keontentikannya sebagai kitab suci yang paling agung. Ia bersumber dari Allah Swt., dan kini telah menjawab segala tantangan serta sangkaan yang selama ini di lontarkan oleh orang- orang kafir sebagai kitab buatan manusia. Bagaimana bisa dikatakan buatan manusia, kalau di dalamnya tersingkap seluruh disiplin ilmu, baik yang kasat mata ataupun tidak; sehingga banyak ilmuan yang merujuk hasil penelitiannya kepada al-Qur'an atau hanya sekadar meneliti apa yang dilontarkan oleh al-Qur'an tentang penciptaan dan hal lainnya. Al-Qur'an telah membuktikan kalau keberadaannya tidak bertentangan dengan disiplin ilmu biologi, kimia dan kosmologi. Bahkan ia sebagai penguat dari disiplin ilmu tersebut. Wallâhu 'alam.

J. Kitab-kitab Rujukan.

# al-Qur'an Terjemah Bahasa Indonesia.
# Kitab Filsafat al-Qur'an, karya DR. Abas Mahmud Al-Aqad.
# Kitab Tafsir 'ilmi al-Qur'an dan hadits, karya DR. Ahmad Amru Abu Hajar.
# Kitab Isyaratul'ilmiyyah Dalam al-Qur'an dan hadits, karya DR. Karim Sayid Ghanim.
# al-Qur'an Rahasia Angka, karya DR. Abu Zahra an-Najdi.
# Kitab Lisanul Arab, karya Ibnu Mandzur.


K. Catatan Kaki.


(1). Makalah ini dipresentasihkan dalam acara kajian Aktif pada tanggal 15-4-2011 di Kairo.
(2). Al-Qur'an Rahasia Angka oleh Dr. Abu Zahra An- Najdi Hal 1
(3). Lisanul Arab Dr. Ibnu Mandjur Hal 2816
(4). Salah satu Ulama Yaman dan salah satu pencetus muasas izajul ilmi di Mekah
(5). Dalam kitan Isyaratul Ilmiah dalam Al-Qur'an dan Hadist Dr. Karim Sayid Ghanim
(6). Kitab Tafsir Ilmi Al-Qur'an dan Hadist Dr. Ahmad Amru Abu Hajar Hal 171
(7). Surat Al- Fiil Ayat 3-4
(8). Surat As- Shuaraa ayat 192- 195
(9) Surat Al- Najm ayat 3-4
(10). Kitab palsafah Al-Qur'an Dr. Abas Mahmud Al- Aqad hal 17

Model Penulisan Al-Mushaf Al-‘Utsmâniyyi


Oleh: Ahmad Noor Islahudin

Pendahuluan

Kalau kita keliling dunia, maka akan ditemukan sebagian dari negara-negara Islam yang mempunyai al-Qur’an cetakan negaranya. Contohnya saja Negara Indonesia, makanya timbulah istilah “qur’an arab” dan “qur’an indo”. Karena keterbiasaan memakai al-Qur’an cetakan Indonesia, ketika diberi al-Qur’an cetakan Arab, kita sering menemukan hal-hal yang asing yang membuat kita bingung, lebih ditakutkan lagi seandainya terjadi kesalahan dalam bacaan.

Dan banyak lagi tabir-tabir yang mungkin belum kita ketahui rahasianya. Terkadang juga ditemukan dalam tulisan-tulisan al-Qur’an yang mungkin menurut kita agak asing dengan bahasa arab yang mengikutin auzân dalam ilmu shorf. Terkadang kita juga bertanya-tanya, bagaimana bisa tulisan Al-Mushaf Al-‘Utsmâni bisa mencakup semua tujuh huruf yang dipakai dalam penurunan al-Qur’an ?.

Terkadang kita juga merasakan adanya “unek-unek” dengan pendapat ulama yang berpendapat agar kita tidak bergantung kepada model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâni saja, karena model penulisannya berbeda dengan yang diucapkan dan dilafazkan. Lalu apakah rahasia dibalik keputusan Utsman Ra. untuk menulis (التَابُوْت) ketika terjadi perselisihan dalam penulisan al-Qur’an antara kata (التَابُوْت) dan (التَابُوْه). Yang insyaAllah akan kita bahas semuanya “bersama” dalam pertemuan dihari ini.

Baca tulis sebelum kedatangan Islam.

Sebelum datangnya agama Islam, sebagian besar bangsa Arab Quraisy di Makkah tidak mengenal baca tulis kecuali hanya sebagian kecil dari mereka. Seperti yang diceritakan al-Qur’an dalam surat al-Jum’ah ayat kedua :

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّيْنَ رَسُوْلاً مِنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَ يُزَكِّيْهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمْ اْلكِتَابَ وَ اْلحِكْمَةَ وَ إِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ ( الجمعة : 2 )
Artinya :
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah ( al-Sunnah ). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Hampir semua sejarawan sepakat bahwasannya bangsa Arab Quraisy di Makkah mengenal baca tulis dari Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syamsi (حرب بن أمية بن عبد شمس) walaupun mereka berbeda pendapat dari mana Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syamsi mengenal tulisan. Abu ‘Amru al-Dani berpendapat bahwasannya Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syamsi belajar dari Abdulllah bin Jad’an. Akan tetapi, al-Kalbi berpendapat bahwasannya Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syamsi belajar dari Basyar bin Abdu al-Mulki. Dari Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syamsi bangsa Arab Quraisy Makkah mengenal tulisan, akan tetapi hanya sebagian kecil dari mereka saja yang menguasai baca tulis sebelum datangnya Islam bila dibandingkan dengan banyaknya orang-orang yang tidak mengenal baca tulis.

Yang demikian keadaan bangsa Arab Quraisy di Makkah, berbeda degan keadaan bangsa arab yang berada di Madinah karena terdapat diantara mereka para ahli dalam baca tulis dari kaum Yahudi. Karena ketika rasullullah Saw. datang ke Madinah terdapat seorang Yahudi yang sedang mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kecil, kemudian rasullullah memerintahkan sepuluh orang untuk belajar baca tulis, diantara mereka adalah al-Mundzir bin ‘Amru, Abi bin Wahab, ‘Amru bin Sa’id dan Zaid bin Tsabit.

Baca tulis sesudah kedatangan Islam.

Kedatangan Islam telah memberikan warna baru bagi kehidupan kaum Arab Quraisy Makkah yang telah lama hidup dalam kebutaan tentang baca tulis. Dengan dibuktikan dari permulaan datangnya Islam yang menganjurkan untuk membaca dan bahwasannya kebenaran itu diketahui dengan baca tulis yang tersurat pada surat al-‘Alaq ayat 1-5 :

إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) إِقْرَأْ وَ رَبُّكَ اْلأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Artinya :
Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan ( 1 ). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah ( 2 ). Bacalah, dan tuhanmulah yang maha pemurah ( 3 ). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam ( 4 ). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya ( 5 ).

Dan surat al-Qalam ayat 1-2 :

ن وَ اْلقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَ (1) مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُوْنٍ (2)
Artinya :
Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis ( 1 ). Berkat nikmat tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila ( 2 ).

Semasa hidupnya pun rasulullah selalu menganjurkan kepada para sahabat-sahabatnya untuk belajar dan mengajarkan baca tulis. Ketika enam puluh orang kafir ditawan pada perang Badar oleh umat muslim, maka rasulullah memberikan persyaratan atas kebebasan mereka dengan mengajarkan sepuluh orang sahabat bagi setiap orang tawanan. Semuanya membuktikan bahwasannya baca tulis adalah syarat untuk merdeka dan bebas. Dibawah naungan Islamlah umat Arab Quraisy Makkah berubah menjadi umat yang pandai dan pintar akan baca tulis, menandakan bahwasannya Islam adalah agama yang selalu menganjurkan untuk maju dalam keilmuan dan kebudayaan.

Kapankah nabi Muhammad Saw. bisa membaca dan menulis ?.

Ada sebuah pertanyaan, apakah Nabi Muhammad Saw. bisa membaca dan menulis setelah beliau diangkat menjadi rasul ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat pertama, mengatakan bahwasannya nabi bisa membaca dan menulis setelah diangkat menjadi rasul. Diperkuat dengan pendapat al-Alusi yang mengatakan bahwasannya hadits nabi ( إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب ) bukanlah dalil yang menunjukkan akan kebutaan nabi dalam baca tulis setelah beliau diangkat menjadi rasul. Karena nabi diutus ditengah-tengah orang-orang yang mayoritas buta akan baca dan tulis.

Pendapat kedua, mengatakan bahwasannya nabi bisa membaca dan menulis setelah diturunkan al-Qur’an secara keseluruhan. Seperti yang di firmankan oleh Allah Swt. dalam surat al-‘Ankabût ayat 48-49 :

وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْا مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ تَخُطُّهُ بِيَمِيْنِكَ إِذًا لاَّرْتَابَ اْلمُبْطِلُوْنَ (48) بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُوْرِ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا اْلعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلاَّ الظَّالِمُوْنَ (49)
Artinya :
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu) ( 48 ). Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.

Syaikh al-Zarqâni dalam kitabnya Manâhil al-‘Irfân fî ‘ulûmi al-Qur’ân membenarkan pendapat ini. Dan mengatakan bahwasannya dalil yang menyebutkan bahwasannya nabi tidak bisa membaca dan menulis sebelum penyempurnaan turunnya al-Qur’an adalah dalil qoth’i ( pasti ), sedangkan dalil yang meyebutkan bahwasannya nabi bisa membaca dan menulis setelah diangkat menjadi rasul adalah dalil dzanni ( perkiraan ).

Adapun hikmah bahwasannya nabi tidak bisa membaca dan menulis kecuali setelah penyempurnaan turunnya al-Qur’an adalah :
1. Menunjukkan akan mulianya kedudukan baca tulis.
2. Ketidak bisaan nabi dalam dalam baca tulis hanya bersifat sementara.
3. Hal ini memberikan bukti akan kebenarana dan kejujuran nabi.
4. Orang-orang akan menganggap dakwah nabi hasil dari pemikiran dan subjekfitasnya, jika nabi bisa membaca dan menulis setelah beliau di angkat menjadi nabi.

Penulisan al-Qur’an.

Dalam kajian dua minggu yang lalu, kita bersama-sama telah membahas tentang pengumpulan al-Qur’an. Tapi dalam kajian kita ini penulis akan menambahkan tentang bagaimana model penulisan al-Qur’an dan dimana al-Qur’an dulu ditulis pada zaman nabi, Abu Bakar dan Usman.

Penjagaan Nabi Muhammad dan para sahabat-sahabatnya terhadap al-Qur’an sungguh luar biasa, terbukti dengan banyaknya sekertaris-sekertaris nabi dalam penulisan wahyu al-Qur’an. Apabila turun wahyu al-Qur’an maka nabi akan menyuruh para sekertaris-sekertarisnya untuk menulis wahyu tersebut walaupun hanya satu ayat. Seperti sabda nabi :

مَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئًا غَيْرَ اْلقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Artinya :
Barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an agar supaya menghapusnya ( tulisan itu ).

Diantara sekertaris-sekertaris nabi dalam penulisan wahyu al-Qur’an adalah :
1. Al-Khulafaur Rasyidin.
2. Mu’awiyyah.
3. Aban bin Sa’id.
4. Kholid bin Walid.
5. Ubay bin Ka’ab, dialah sekertaris pertama di kota Madinah.
6. Zaid bin Tsabit.
7. Tsabit bin Qois.
8. Handzolah bin Robi’.
9. Abdullah bin Saad bin Abi Sarih, dialah sekertaris pertama di kota Mekkah.
10. Zubair bin Awwam.
11. Dan lain-lain.

Ketika zaman nabi al-Qur’an ditulis ditulang-tulang, batu-batu, pelepah kurma, kulit-kulit binatang dan lain sebagainya, sampai akhirnya berbentuk kumpulan mushaf seperti zaman sekarang ini.

Rosmu al-Mushaf atau model penulisan al-Mushaf.

Maksud dari Rosmu al-Mushaf adalah model atau bentuk penulisan huruf-huruf dan kalimat-kalimat dalam penulisan al-Qur’an yang disetujui oleh Usman.

Aslinya tulisan itu harus sesuai dengan apa yang diucapkan atau dilafazkan. Akan tetapi, didalam model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi terdapat beberapa penulisan kata yang tidak sesuai dengan aslinya, karena terdapat perbedaan antara tulisan terhadap mantûq atau yang diucapkan dan dilafazkan dengan tujuan yang mulia.

Imam Zarkasyi dalam bukunya Al-Burhân fî ‘ulûmi al-Qur’ân membagi model penulisan menjadi tiga bagian yaitu :
1. Model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi atau model penulisan yang disandarkan dan mengikuti dari riwayat-riwayat yang mutawâtir.
2. Khot al-‘Urûd atau model penulisan yang sesuai dengan apa yang diucapkan dan dilafazkan.
3. Model penulisan yang disandarkan dari suatu kebiasaan yang sudah tersebar dan diketahui, model penulisan inilah yang sering dibahas oleh ahli ilmu nahwu.

Begitupun Abu Syahbah dalam bukunya Al-Madkholu lidirôsati al-Qurâni al-Karîm menjelaskan bahwasannya terdapat beberapa kata dalam al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi yang berbeda dengan apa yang diucapkan dan dilafazkan. Dikarenakan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi disandarkan oleh riwayat-riwayat yang mutawâtir.

Dan masih banyak lagi karya-karya dari para ulama-ulama yang menjelaskan tentang model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi ini, mereka adalah Imam Abu Amru al-Dani dengan bukunya berjudul al-Muqni’, Abu Abbas al-Marokisyi dengan judulnya ‘unwânu al-Dalil fî rosmi khoththi al-Tanzîl, Syaikh Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan al-Mutawali, Syaikh Muhammad Kholfu al-Husaini dan lain sebagainya.

Metode penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi.

Dalam penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi terdapat enam metode :

(1). Metode al-Hadzfu ( penghapusan ).

a. Penghapusan huruf alif.
Bentuk-bentuk penghapusan huruf alif :
1. Dalam yâ’ al-Nidâ. Contoh : (يأَيُّهَا).
2. Dalam hâ’ al-Tanbîh. Contoh : (هأَنْتُمْ).
3. Dalam dhomîr (نَا) apabila ada dhomîr ( kata ganti ) lagi setelahnya. Contoh : (أَنْجَيْنكُمْ).
4. Dalam lafaz al-Jalâlah (اللهُ).
5. Dalam huruf (إِله).
6. Dalam lafaz (الرَّحْمن) .
7. Dalam lafaz (سُبْحن).
8. Setelah huruf lâm. Contoh : (خَلئِف).
9. Apabila terdapat diantara dua lâm. Contoh : (الكَللَة).
10. pada setiap mutsannâ. Contoh : (رَجُلن).
11. Pada setiap jamak mudzakkar atau muannats sâlim. Contoh : (سَمّعُوْن) dan (المُؤمِنت).
12. Pada setiap jamak yang berwazn mafâ’il. Contoh : (المَسجِد).
13. Pada setiap hitungan. Contoh : (ثَلث).
14. Huruf alif al-Washlu. Contoh : (بِسْمِ اللهِ), Muhammad Syamlul menukil perkataan al-Dani dalam bukunya al-Muqni’ bahwasannya penhapusan huruf alif al-Washlu dalam (بِسْمِ اللهِ) dikarenakan seringnya dipakai.
15. Dalam sebagian awal, tengah dan akhir suatu kata. Contoh awal : (لئَيْكَة). Contoh tengah : (كِتب). Contoh akhir : (جَاءُو, بَاءُو).
16. Nama-nama al-A’lâm. Contoh : (صلِح).
17. Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.


b. Penghapusan huruf yâ’.
Bentuk-bentuk pengahapusan huruf yâ’ :
1. Pada setiap manqûs munawwan ( bertanwin ) baik dhommatain maupun kasrotain. Contoh : (غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ).
2. Pada kalimat (أَطِيْعُوْنِ, اِتَّقُوْنِ, خَافُوْنِ, اِرْهَبُوْنِ, فَأَرْسِلُوْنِ, وَاعْبُدُوْنِ).
3. Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.

c. Penghapusan huruf wâw.
Huruf wâw dihapus apabila bertemu dengan huruf wâw yang lain.
Contoh : (لاَ يَسْتَون, فَأْوا إِلَي اْلكَهْفِ).

d. Penghapusan huruf lâm.
Huruf lâm dihapus apabila mudghomah dengan huruf lâm yang lain.
Contoh : (الَّيْلُ, الَّذِي). Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.

e. Pengahapusan huruf tâ’ dalam beberapa kata baik di awal,tengah atau di akhir kata.
Contoh : (لاَ تَكَلَّمُ نَفْسٌ).

f. Pengahpusan huruf nûn di awal kata dalam dua tempat dalam surat Yusuf ayat 11 dan surat al-Anbiyâ’ ayat 88, dan juga disebagian akhir kata.
Contoh di akhir kata : (يَكُ).

g. Pengecualian-pengecualian dalam metode al-Hadzfu ( penghapusan ) :
1. Penghapusan huruf alif. Contoh : (ملِكِ).
2. Penghapusan huruf yâ’. Contoh : (إِبْرَاهم).
3. Penghapusan huruf wâw. Contoh : (وَ يَدْعُ, وَ يَمْحُ, يَدْعُ, سَنَدْعُ).

(2). Metode al-Ziyâdah ( penambahan ).

a. Penambahan huruf alif.
Bentuk-bentuk penambahan huruf alif :
1. Berada setelah huruf wâw dalam setiap akhir ismu majmû’ atau hukum majmû’.
Contoh : (مُلاَقُوْا رَبِّهِمْ, بَنُوْا إِسْرَائِيْلَ).
2. Berada setelah huruf hamzah yang berharakat dhommah diatas huruf wâw.
Contoh : (تَالله تَفْتَؤُا).
3. Dalam kalimat (مِائَة, مِائَتًيْن, الظُّنُوْنَا, الرَّسُوْلاَ, السَّبِيْلاَ) dan lain sebagainya.

b. Penambahan huruf yâ’.
Contoh : (نَبَإِي, آنَاءِي, تِلْقََاءِي, بِأَيِّيكُمْ, بِأَيْيدِ).

c. Penambahan huruf wâw.
Contoh : (أُوْلُو, أُولئِكَ, أُولاَءِ, أُولاَتِ).

(3). Metode penulisan huruf hamzah.

Bentuk-bentuk penulisan huruf hamzah :
a. Apabila huruf hamzahnya sukûn atau mati, maka penulisan hamzahnya diatas huruf yang sesuai dengan harakat sebelumnya.
Contoh : (ائْذَنْ, اؤْتمٍنَ, البَأْسَاء). Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.

b. Apabila huruf hamzahnya berharakat.
Bentuk-bentuk hamzah berharakat :
1. Apabila letak hamzah di awal kalimat, maka selalu ditulis diatas huruf alif.
Contoh : (أَيُّوْب, أُوْلُو, إِذا). Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.
2. Apabila letak hamzah ditengah-tengah kalimat, maka penulisan hamzahnya diatas huruf yang sesuai dengan harakatnya. Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.
Contoh : (سَأَلَ, سُئِلَ, تَقْرَؤُهُ).
3. Apabila letak hamzah diakhir kalimat dan huruf sebelumnya berharakat, maka penulisan hamzahnya diatas huruf yang sesuai dengan harakatnya. Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.
Contoh : (سَبأَ, شَاطئِ, لؤْلؤُ).
4. Apabila letak hamzah diakhir kalimat dan huruf sebelumnya huruf mati, maka ditulis dengan huruf hamzah saja. Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.
Contoh : (مِلْءٌ, الخَبْءُ).

(4). Metode al-Badal atau pergantian.

Bentuk-bentuk pergantian :
a. Pergantian huruf alif.
Bentuk-bentuk pergantian huruf alif :
1. Pergantian huruf alif menjadi huruf wâw tafkhîm atau pengagungan.
Contoh : (الصَّلوة, الزَّكوة, الحَيوة). Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.
2. Pergantian huruf alif menjadi huruf yâ’, jika huruf aslinya huruf yâ’.
Contoh : (يَتَوَفَّكُمْ, يحَسْرَتَي, يأَسَفَي).
3. Dalam kalimat-kalimat ini huruf alif juga mengalami pergantian menjadi huruf yâ’.
Contoh : (إِليَ, عَليَ, أَنَّي, مَتيَ, بَليَ, حَتَّي, لَدَي). Kecuali (لَدَا البَابِ) dalam surat Yusuf ayat dua puluh lima karena huruf alif tidak mengalami pergantian huruf.

b. Pergantian huruf nûn menjadi huruf alif, dalam nûn al-Tauk îd atau penekanan.
Contoh : (إِذَنْ) ditulis (إِذًا).

c. Pergantian huruf hâ’ al-Ta’nîts atau tâ’ al-Marbûthoh menjadi tâ terbuka atau tâ biasa.
Contoh : (رَحْمَت, نِعْمَت, لَعْنَت, مَعْصِيَّت,شَجَرَت, قُرَّت, جَنَّت, بَقِيَّت, امْرَأَت) pada surat-surat tertentu.

(5). Metode al- Washlu dan al-Fashlu atau penggabungan dan pemisahan.

Bentuk–bentuk metode penggabungan dan pemisahan :
a. Huruf (أََنْ) dengan hamzah berharakat fathah disambung dengan huruf (لاَ) jika berada setelah huruf (أََنْ). Contoh : (أَلاَّ).
Kecuali disepuluh tempat, sebagian contohnya : (أَنْ لاَ تَقُوْلُ, أَنْ لاَ تَعْبُدُوْا إِلاَّ اْلله).

b. Huruf (مِنْ) disambung dengan huruf (ما) jika berada setelah huruf (مِنْ). Contoh : (مِمَّا).
Kecuali : (فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ) dan (مِن مَّا رَزَقْنَاكُمْ).

c. Huruf (مِنْ) selalu disambung dengan huruf (مَنْ). Contoh : (مِمَّنْ).

d. Huruf (عَنْ) disambung dengan huruf (مَا). Contoh : (عَمَّا).
Kecuali : (عَن مَّا نُهُوْا عَنْهُ) surat al-A’râf ayat keseratus enam puluh enam.

e. Huruf (إِنْ) dengan hamzahnya berharakat kasro disambung dengan huruf (ما) jika berada setelah huruf (إِنْ). Contoh : (إِمَّا).
Kecuali : (إِن مَّا نُرِيَنَّكَ) surat al-Ra’du ayat keempat puluh.

f. Huruf (أَنْ) dengan hamzahnya beraharakat fathah selalu disambung dengan huruf (ما). Contoh : (أَمَّا).

g. Huruf (كُلّ) disambung dengan huruf (ما) jika berada setelah huruf (كُلّ). Contoh : (كُلَّمَا).
Kecuali : (كُلَّ مَا رُدُّوْا إِليَ الفِتْنَةِ) surat al-Nisâ’ ayat kesembilan puluh satu dan
(مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوْهُ)surat Ibrahim ayat ke tiga puluh empat.

h. Dalam kalimat (نِعِمَّا, رُبَّمَا, كَأَنَّمَا, وَيْكَأَنَّ).

(6). Metode penulisan kata yang memiliki dua qirôat ( bacaan ).

Apabila terdapat kata yang memiliki dua, maka ditulis dengan salah satu bacaannya.
Contoh :
1. (مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ, يُخَادِعُوْنَ اللهَ, وَوَاعَدْناَ مُوْسَي, تُفَادُوْهُمْ) ditulis dengan menggunakan huruf alif, karena semuanya bisa dibaca dengan menambahkan huruf alif ataupun menghilangkannya.
2. (غَيَابَتِ الْجُبِّ, أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ, ثَمَرَاتٍ مِنْ أَكْمَامِهَا, وَهُمْ فِي الغُرُفَاتِ آمِنُوْنَ) ditulis dengan tâ’ terbuka atau tâ’ biasa, karena semuanya bentuk jamak yang bisa dibaca dengan jamak ataupun ifrâd.

Faedah dan keistimewaan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi.

Faedah model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi ada enam yaitu :

1. Penulisan dengan satu kata sebisa mungkin untuk bisa dipakai kedalam beberapa qirôah atau bacaan. Apabila suatu kata mencakup dua bacaan atau lebih maka ditulis dengan kata tersebut, jika bisa mencakup dua bacaan atau lebih itu. Tapi jika tidak bisa mencakup dua bacaan atau lebih itu, maka ditulis dengan kata lain yang berbeda dengan aslinya. Yang menunjukkan diperbolehkannya membaca dengan bacaan yang berbeda dengan aslinya tersebut ataupun dengan bacaan yang asli itu sendiri. Dan apabila suatu kata hanya mencakup satu bacaan saja, maka kata itulah yang akan ditulis di al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi. Contoh : (إِنْ هذانِ لسحِرن) surat Thôha ayat keenam puluh tiga, dengan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi ini memungkin untuk bisa dibaca dengan empat bacaan yang lainnya yaitu bacaan Nafi’, Ibn Katsir, Hafsh, dan bacaan Abu Amru.

2. Perbedaan penulisan satu kalimat yang sama yang menunjukkan perbedaan maknanya. Contoh : penulisan pertama (أَم مَّنْ يَكُوْنُ عَلَيْهِمْ وَكِيْلاً) dengan pemisahan kata (أَمْ) yang menunjukkan bahwa makna katanya adalah (بَلْ) atau tetapi, sedangkan penulisan keduanya (أَمَّنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلَي صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمًا) dengan penggabungan kata (أم) yang menunjukkan bahwa makna katanya adalah (كتلك) atau seperti itu.

3. Berfungsi untuk menunjukkan makna yang samar dan tersembunyi. Sesuai dengan kaedah “ Penambahan al-Mabnî memberikan petunjuk akan penambahan makna “.
Contoh : (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْيدٍ) yang menunjukkan akan kebesararan kekuatan Allah yang membangun langit ini dan tidak ada satu kekuatanpun yang sepadan dengan kekuatanNya.

4. Berfungsi untuk menunjukkan akan keaslian dari suatu tanda baca dan huruf.
Contoh : (وَ إِيتَاءِ ذِي الْقُرْبي) dengan penulisan huruf yâ’ setelah harakat kasroh, yang menunjukkan keaslian harakat kasroh, dan (الصَّلوة) untuk menunjukkan bahwasannya asli huruf alif adalah huruf wâw.

5. Berfungsi untuk menunjukkan asal bahasa yang fasih dari suatu kata atau huruf.
Contoh : penulisan hâ’ al-Ta’nîs atau tâ’ al-Marbûthoh dengan tâ’ terbuka atau tâ’ biasa yang menunjukkan bahwsa kata itu berasal dari bahasa Thoi, dan (يَوْمَ يَأْتِ لاَ تَكَلَّمُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ) dengan menghilangkan huruf yâ’ dalam kata (يَأْتِ) yang menunjukkan kata itu berasal dari bahasa Hudzail.

6. Memberi rangsangan kepada kita untuk selalu belajar dan menerima al-Qur’an dari orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak bergantung kepada model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi dimana model penulisannya berbeda dengan yang diucapkan dan dilafazkan.

Dari faedah yang keenam inilah yang akan melahirkan dua keistimewaan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi, keistimewaan-keistimewaan itu ialah :

1. Menjadikan kita lebih percaya terhadap lafaz-lafaz al-Qur’an, cara penyampaiannya, keindahan bacaan dan tajwidnya. Seperti pedapat para ulama bahwasannya kita tidak boleh bergantung kepada al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi saja, akan tetapi harus belajar juga dari seseorang yang hâfidz dan dapat dipercaya dalam bacaan dan penyampaian al-Qur’annya.

2. Bersambungnya silsilah sanad kepada Nabi Muhammad Saw., seperti yang diungkapkan oleh Ibn Hazm bahwasannya penyampaian dari orang yang dapat dipercaya kepada orang yang dapat dipercaya sehingga bersambunglah silsilah sanadnya kepada nabi adalah suatu kelebihan dan kekhususan bagi agama Islam yang membedakan dengan milal yang lainnya.





Hukum penulisan al-Qur’an dengan menggunakan model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum penulisan al-Qur’an dengan menggunakan model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi. Apakah hukumnya dari pertama kalinya yang tidak diperbolehkan untuk melanggarnya ( tauqîfî ) ataukah hukumnya hasil dari kesimpulan seseorang dan belum ada sejak pertama kalinya ( ijtihâdî ) ?, terdapat tiga pendapat ulama dalam hal ini, yaitu :

1. Pendapat pertama pendapat jumhûru al-‘Ulamâ’ yang mengungkapkan bahwasannya hukumnya sudah ada sejak pertama kalinya ( tauqîfî ) dan tidak diperbolehkan untuk melanggarnya.

Mereka berdalil sebagai berikut :
a. Persetujuan nabi terhadap para sekertaris-sekertarisnya dalam penulisan wahyu ketika mereka menulis wahyu dengan menggunakan model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi.
b. Peraturan-peraturan dan undang-undang yang diberikan oleh nabi kepada para sekertaris-sekertarisnya yang sesuai dengan model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânî.
c. Kesepakatan para sahabat atas model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi, dimana jumlah mereka lebih dari dua belas ribu sahabat.
d. Kesepakatan para al-Tabi’în dan al-Aimmatu al-Mujtahidîn atas model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi.

2. Pendapat kedua pendapat Ibnu Kholdun dan al-Qôdî Abu Bakar yang mengungkapkan bahwasannya hukumnya tidak dari pertama kalinya akan tetapi hasil dari ijtihâd seseorang, oleh karena itu boleh menulis al-Qur’an dengan menggunakan selain model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi.

Tapi pendapat ini ditentang oleh jumhûru al-‘Ulamâ’ :
a. Dengan dalil-dalil yang diungkapkan oleh jumhûru al-‘Ulamâ’.
b. Menurut jumhûru al-‘Ulamâ’ pendapat mereka tentang ketiadaan perintah penulisan al-Qur’an dengan menggunakan model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânî adalah salah. Ditentang dengan menggunakan dalil-dalil yang diungkapkan oleh jumhûru al-‘Ulamâ’ diatas.
c. Jumhûru al-‘Ulamâ’ menentang pendapat al-Qôdî Abu Bakar yang mengatakan bahwa diperbolehkan penulisan al-Qur’an dengan menggunakan selain model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâni. Setelah kesepakatan umat dan kepercayaan mereka bahwasannya model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânî adalah perintah dari pertama kalinya ( tauqîfî ).

3. Pendapat al-‘Izza bin Abdussalam yang mewajibkan untuk menuliskan al-Qur’an sesuai dengan model tulisan yang sudah tersebar dan diketahui pada zaman sekarang ini, dan tidak menuliskan kepada mereka dengan menggunakan metode penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi dulu, agar tidak terjadi perubahan dan kerancuan disebabkan ketidaktahuan mereka tentang metode penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi. Akan tetapi disisi lainpun diwajibakan untuk menjaga model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi juga. Supaya model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi yang sudah ada sejak pertama kalinya masih tetap terjaga dan tidak terlupakan.

Syaikh Muhammad Al-Zarqâni juga bersependapat dengan pendapat ini yang mengatakan bahwasannya dari pendapat ini akan timbul suatu unsur pemeliharaan terhadap al-Qur’an dari dua sisi :
a. Pemeliharaan penulisan al-Qu’ran dengan tulisan yang tersebar dan diketahui pada zaman sekarang yang menjauhkan al-Qur’an dari perubahan dan percampuran.
b. Pemeliharaan model penulisan al-Qur’an pertama yaitu metode penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi yang dikhususkan pembacanya bagi orang-orang yang tahu akan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi, juga tidak khawatir akan terjadinya percampuran dan perubahan.

Bukankah agama menyuruh kita untuk selalu menjaga ilmu, kebudayaan dan peninggalan agama kita, apalagi masalah-masalah yang berkaitan dengan wahyu al-Qur’an.

Kebohongan-kebohongan terhadap model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi yang diutarakan oleh orientalis.

Ada kebaikan pasti akan ada kejahatan, ada kebenaran pasti akan ada kebohongan, itulah realita kehidupan. Seperti yang dijelaskan Allah Swt. dalam al-Qur’an bahwasannya jin tidak akan pernah berhenti menggoda dan memberikan fitnah-fitnah kepada manusia untuk selalu berbuat maksiat kepada Allah. Oleh karena itu, kita pasti akan sering menemukan kebohongan-kebohongan yang diutarakan oleh orientalis dalam agama kita. Tapi dalam makalah ini penulis akan memberikan dua contoh kebohongan-kebohongan orientalis terhadap model penuisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi, yaitu :

1. Mereka mengutarakan kebohongan dengan mengatakan bahwasannya didalam al-Qur’an terdapat lahnun atau kekeliruan dalam i’râb, dalil yang mereka pakai adalah :
رُوي عن سعيد بن جبير كان يقرأ (وَاْلمُقِيمِينَ الصَّلاَةَ) (النساء : 162) و يقول (هُوَ مِنْ لَحْنِ اْلكِتَابِ)

Akan tetapi, kebohongan mereka ini terbantahkan dengan dalil-dalil sebagai berikut :
a. Sa’id bin Jabir tidak bermaksud bahwa lahnun atau kekeliruan dalam i’râb disini sebagai kesalahan, akan tetapi dia bermaksud bahwa lahnun atau kekeliruan dalam i’râb disini sebagai bahasa.
b. Lahnun atau kekeliruan dalam i’râb yang dimaksudkan sebagai bahasa juga terdapat dalam surat Muhammad ayat 30 ( وَلاَ تَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ اْلقَوْلِ ).
c. Bahwasannya Sa’id bin Jabir juga membaca dengan bacaan (وَاْلمُقِيمِينَ الصَّلاَةَ), jikalau lahnun atau kekeliruan dalam I’râb disini dimaksudkan sebagai kesalahan maka Sa’id bin Jabir tidak akan mau membaca dengan bacaan (وَاْلمُقِيمِينَ الصَّلاَةَ), bagaimana mungkin seseorang membaca sesuatu yang dianggapnya salah ?.
d. Bahwasannya kedua bacaan (وَاْلمُقِيمِينَ الصَّلاَةَ) dengan menggunakan huruf yâ’ ataupun dengan menggunakan huruf wâw adalah benar karena disandarkan dengan dalil yang mutawâtir. Bacaan dengan menggunakan huruf yâ’ takdirnya adalah
(و أمدح المقيمين الصلاة) sedangkan bacaan dengan menggunakan huruf wâw yang menunjukkan bahwasannya kata itu adalah al-‘Athofu atau sambungan.

2. Mereka juga memberikan kebohongan dalam pengumpulan al-Qur’an dan metode penulisannya, dalil yang mereka pakai adalah :
رُوي عن ابن عباس في قوله تعالي : ( حَتَّي تَسْتَأْنِسُوا وَ تُسَلِّمُوا ) ( النور : 27 ) أنه قال : إن الكاتب أخطأ و الصواب : ( حَتَّي تَسْتَأْذِنُوا ).

Akan tetapi kebohongan mereka ini terbantahkan dengan dalil-dalil sebagai berikut :
a. Dengan jawaban yang diberikan oleh Abu Hayyan atas riwayat ini, bahwasannya Ibnu Abbas tidak pernah meriwayatkan riwayat ini, dan suatu kebohongan besar dalam agama bagi orang yang mengatakan bahwasannya Ibnu Abbas pernah meriwayatkan riwayat ini.
b. Dengan riwayat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Ibnu al-Anbari, Ibnu Jarir dan Ibnu Mardiyah dari Ibnu Abbas, bahwasannya Ibnu Abbas menafsirkan (تَسْتَأْنِسُوا) dengan (تَسْتَأْذِنُوا) atau meminta izin kepada pemilik-pemilik rumah.
c. Bahwasannya al-Qurraâ’ atau para ahli bacaan tidak pernah meriwayatkan bacaan selain dari(تَسْتَأْنِسُوا) , jikalau (تَسْتَأْذِنُوا) adalah riwayat yang mutawâtir, maka mereka pasti akan meriwayatkannya.
d. Dan riwayat ini bertentangan dengan riwayat yang qothi’ dan mutawâtir. Kaedah yang berlaku adalah, setiap sesuatu yang bertentangan dengan riwayat yang qothi’ dan mutawâtir maka tidak syah atau batal. Maka setiap sesuatu yang bertentangan dengan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi adalah sesuatu yang menyimpang dan menyeleweng, maka tidak boleh dijadikan sebagai dalil atau landasan.

Penutup.

Alhamdulillah akhirnya kita semua bisa mengakhiri pembahasan ini, semoga dengan sedikit tulisan dan pembahasan yang kita kaji dalam kajian memberikan wawasan baru kepada kita tentang al-Qur’an, semakin membuat kita yakin dengannya, memberikan motivasi dan semangat baru bagi kita untuk selalu mengamalkan, mengkaji dan metadabbur al-Qu’ran dan menjadikannya sebagai tuntunan hidup bagi kita semuanya. Karena al-Qur’an adalah sumber utama dalam agama kita dan sumber keduanya adalah sunah-sunah Nabi Muhammad Saw.. Sehinngga kita semuanya menjadi insan yang qur’ani seperti yang dicontohkan oleh baginda nabi. Allahumma Âmîn.














Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah Tingkat 4

Daftar pustaka.


1. Abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad, Al-Madkholu lidirôsati al-Qurâni al-Karîm, Maktabah as-Sunnah, Kairo, Cet ke-2, 2003 M.
2. Al-Zarkasyi, Muhammad bin Abdillah, Al-Burhân fî ‘ulûmi al-Qur’ân, Dâr al-Hadits, Kairo, 2006 M.
3. Al-Zarqâni, Syaikh Muhammad, Manâhil al-‘Irfân fî ‘ulûmi al-Qur’ân, Jilid ke-1, Dâr al-Hadits, Kairo, 2001 M.
4. Syamlul, Muhammad, I’jâzu rosmi al-Qur’âni wa I’jâzu al-Tilâwati, Dâr al-Salâm, Kairo, Cet ke-3, 2010 M.
5. Http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
6. Http://www.republika.co.id

Kesempurnaan Bahasa Al-Qur’an (Ulasan Singkat)


Oleh: Hendar Ali Irawan

Diskursus Pengantar
A. Prolog
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang paling sempurna dan paling mulia dimuka bumi ini. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab karena bahasa yang paling pasih, yang paling jelas, yang paling kaya bahasa dan paling banyak (berpengaruh) sampai kepada diri setiap individu dibandingkan bahasa lainnya. Oleh sebab itu al-Qur’an diturunkan sebagai kitab yang paling mulia dengan bahasa yang paling mulia diturunkan kepada Rasul yang paling mulia melalui pelantara malaikat yang paling mulia serta diturunkan (awalnya) di bulan yang paling mulia, sehingga al-Qur’an menjadi sesuatu yang paling mulia diseantero jagat raya.
Dalam pembahasan kali ini pemakalah ingin mengupas sedikit masalah korelasi antara al-Qur’an dan bahasa arab. Pemakalah yakin makalah ini sangat dangkal dalam membahas masalah tersebut oleh sebab itu pemakalah memilih tema judul diatas sebagai bukti bahwa makalah ini membahas secuil tentang masalah bahasa al-Qur’an.

B. Keistimewaan bahasa arab
Allah memilih bahasa arab sebagai bahasa al-Qur’an kitab terakhir yang diturunkan kepada umat manusia yang memiliki berbagai banyak bahasa dan dialektika yang bermacam-macam. Hal ini menunjukan bahwasannya bahasa arab adalah bahasa yang memiliki keutamaan dan keistimewaan dibanding bahasa-bahasa yang lain. Diantara keistimewaan bahasa arab diantaranya ketika seseorang meluruskan atau menguasi bahasa arab maka secara tidak langsung seseorang itu telah menguasai bahasa non arab, dan tidak sebaliknya. Contoh lain dari keistimewaan bahasa arab yaitu ketika seseorang dibesarkan dengan bahasa arab dan tumbuh dilingkungan arab maka seseorang itu pada masa depan lidahnya akan terbiasa dengan huruf, kalimat dan susunan katanya terhadap bahasa non arab.
Dari kedua contoh diatas menunjukan bahwasannya keistimewaan bahasa arab dibandingkan bahasa selainnya, hal ini disebabkan karena bahasa arab sendiri pemakaiannya kembali kepada sound track dan perangkat pengucapan manusia. Apabila dibandingkan dengan bahasa lain maka bahasa arablah yang paling sempurna, paling universal dan paling tepat. Dalam kitabnya Syekh Abbas al-Aqqod menjelaskan, perangkat pengucapan manusia adalah alat musik yang sempurna. pemakaian perangkat pengucapan manusia tidak akan sempurna pemakaian kecuali oleh bangsa arab .
Ketika seseorang mengucapkan bahasa arab maka suaranya akan memenuhi jumlah makhorijul huruf (tempat keluar huruf) yang tidak akan tercampur dan terulang karena tekanan suara. Diantaranya bahasa arab yang tidak dimiliki oleh bahasa lain adalah huruf
الضاء و الظاء و العين والقاف والحاء و الطاء
Ada kalanya huruf-huruf ini dipakai oleh bahasa selain arab akan tetapi keadaannya sudah berubah, bercampur dan tidak murni lagi tekanannya dari segi makhorijul huruf.

C. Filsafat bahasa arab
Perhatian kita kepada bahasa arab berati perhatian kita terhadap al-Qur’an dan berarti pula perhatian kita kepada hadist nabawi. Menurut para ahli bahasa, pada dasarnya bahasa membentuk karakter integritas pikiran. Selama seseorang memiliki kapabilitas bahasa maka dengan sendirinya akan mempengaruhi pola pikir seseorang. Dengan demikian ketika kita mendalami bahasa arab maka hal ini mempengaruhi integritas kita dalam pemikiran yang lurus, berpengaruh dalam proses memahami al-Qur’an, i’jazul qur’an serta bacaan al-Qur’an. Pemikiran yang lurus adalah pemikiran yang inklusif yang memiliki kreatifitas tanpa batas. Ketika pemikiran kita lurus maka bertambah pula kreatifitas yang tidak menyalahi syari’at (bid’ah). Sebaliknya ketika pemikiran kita membengkok maka akan menimbulalkan bid’ah bukan kreatifitas.
Apabila kita berbicara tentang filsafat bahasa, maka kita akan menemukan 2 istilah:
 Bahasa yang sakral (اللغة القدسية)
 Pensakralan bahasa (قدسية اللغة)
Bahasa yang sakral adalah bahasa yang dipakai dalam nash-nash yang suci dan bahasa ini terbatas. Seperti kitab taurat yang ditulis dengan bahasa Ibrani, kitab injil yang ditulis dengan bahasa Suryaniyyah (Syiria) yang menggunakan dialektik Aram ((الأرامية, kitab vida (kitab suci orang hindu) ditulis dengan bahasa sansekerta (bahasa hindu lama) dan adapun al-Qur’an ditulis dengan bahasa arab. Kitab-kitab ini adalah kitab suci menurut pandangan manusia dan sebagian manusia menganggap sakral bahasa kitab suci tersebut. Oleh sebab itu ketika kita menganggap bahasa sakral, maka kita harus kembali kepada spesifik dan anturan-aturan bahasa untuk memahami kitab suci tersebut. Kalau kita perhatikan sejarah bahwasannya bahasa itu hidup dan berkembang sesuai apa yang diungkapkan oleh al-Jahidz . Beliau mengungkapkan bahwa bahasa itu mempunyai metode dan gaya dalam pengucapannya, orang yang hidup pada zaman pra-Islam berbeda dengan orang yang hidup pada zaman Islam dan berbeda dengan orang yang hidup pada abad ke-5 dan seterusnya. Karena tiap kaum berbicara dengan metode yang berbeda dengan kaum lainnya walaupun satu bahasa. Oleh sebab itu maka pada hakikatnya bahasa tidak ada yang suci yang disebut dengan istilah allughoh almuqoddasah.
Seluruh ulama sepakat adanya perbedaaan antara lughoh muqodasah dengan qudsiyyatullughoh. Sebagai contoh bahasa Amru Qois berbeda dengan bahasa sekarang walaupun bahasanya sama yaitu bahasa arab. Pada dasarnya syair-syair Amru Qois sama berasal dari kosa kata bahasa arab yang sama pada masa kini akan tetapi belum tentu semua orang paham. Hal ini senada apa yang dikatakan oleh al-Jahidz, bahwasannya bahasa berkembang seiring berjalannya waktu termasuk bahasa arab. Akan tetapi berkembangnya bahasa arab secara umum berbeda dengan bahasa yang ditulis dalam nash al-Qur’an karena bahasa al-Qur’an sifatnya konstan tidak berubah. Dengan kata lain bahasa arab yang ada dalam al-Qur’an yaitu qudsiyyatullughot.

D. Al-Qur’an dan bahasa arab
Menurut Syekh Nuruddin Ali Jum’ah mengatakan bahwasannya al-Qur’an memiliki sekitar 60.060 kata dan akar kosakata tersebut sekitar 1.810 kata. Akar kosakata tersebut terdiri dari fi’il madhi’ dan isim ‘alam seperti kata Ibrahim, Ismail, Idris, dan lain-lain. Adapun kosakata hadist menurut beliau berjumlah 3.600 kata berarti kosakata hadist lebih sedikit dibanding al-Qur’an. Sesuatu yang menakjubkan yakni 1.800 kata yang ada di dalam al-Qur’an termasuk di dalam 3.600 kata yang ada dalam hadist. Apabila disatukan antara al-Qur’an dan hadist maka jumlah akar katanya adalah 3600 kata, jadi kata yang ada di dalam al-Qu’an ada pula di dalam hadist nabawi .
Kalau kita berbicara masalah akar kata bahasa arab berarti kita kembali kepada kamus bahasa arab. Beliau menambahkan, kalau kita kembali kepada kamus al-muhith maka kita akan menemukan seluruh jumlah akar kata bahasa arab. Jumlah akar kata dalam kamus tersebut sekitar 40.000 kata. Maka dengan demikian akar kata al-Qur’an dibandingkan dengan akar kata seluruh bahasa arab 40.000 : 3.600 kosakata. Jadi bahasa al-Qur’an tidak melebihi bahasa arab secara keseluruhan.
Sebanyak 90% inilah yang mengalami perubahan sesuai apa yang dikatakan oleh al-Jahidz, bahwasannya seluruh bahasa mengalami perkembangan dan perubahan termasuk bahasa arab yang 90 % ini dan sisanya yang 10 % tidak mengalami perubahan.
Maka barang siapa yang ingin menguasai bahasa arab, langkah awal adalah menguasai bahasa al-Qur’an. Barang siapa yang ingin menguasai bahasa arab tanpa mempelajari al-Qur’an maka akan menjadi halangan besar. Akhirnya barang siapa yang memperdalam al-Qur’an maka secara tidak langsung dia telah memperdalam bahasa arab.

E. Lafadz al-Qur’an yang selain bahasa arab
Perbedaan merupakan sunatullah yang ada di muka bumi ini, setiap sesuatu yang ada di muka bumi ini berbeda dengan yang lainnya. Begitupun dalam masalah ini, mengenai masalah ini para ulama ahli tafsir berbeda pendapat ketika menjawab pertanyaan, apakah di dalam al-Qur’an terdapat bahasa selain arab? Jawabannya para ulama berbeda pendapat, diantaranya:
1. Ada yang berpendapat bahwasannya lafadz yang terdapat di dalam al-Qur’an seluruhnya adalah bahasa arab dan tidak ada arabisasi dalam al-Qu’an karena seluruhnya adalah bahasa arab asli. Yang berpedapat seperti ini diantaranya adalah: Imam Syaf’i ra, Ibnu Jarir at-Thobari, Abu Ubaidah, al-Qhodi Abu Bakar dan Ibnu Faris. Mereka mengambil dalil dengan ayat al-Qur’an:
     
Artinya: Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.
Ayat diatas menunjukan bahwasannya al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab dan dengan lisan bangsa arab, tidak dengan bahasa asing maupun lisan asing. Barang siapa yang ingin memahami al-Qur’an maka harus menguasai bahasa arab tidak ada jalan lain kecuali dengan hal itu. Imam Syatibi tidak mempermasalahkan tentang sumber suatu lafadz akan tetapi beliau menegaskan kalau seandainya suatu lafadz dikatakan oleh bangsa arab dan dipahaminya maka lafadz tersebut itu termasuk bahasa arab.
Walaupun beliau mengakui di dalam al-Qur’an terdapat lafadz yang bersumber dari bahasa asing akan tetapi kalau makhorijul huruf dan sifat-sifat hurufnya sama dengan bahasa arab maka beliau menganggap lafadz tersebut bahasa arab. Sebagai contoh: lafadz
تنور- صابون
Kedua lafadz itu ada didalam bahasa arab dan non arab dan maknanya sama . Di ayat lain Allah berfirman:
           ....
Artinya: Dan Jikalau kami jadikan Al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" apakah (patut al-Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab...?
Berkata Abu Ubaidah Ra: Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan lisan arab, barang siapa yang menganggap al-Qur’an diturunkan selain bahasa arab maka ia telah berbohong dan dosa besar. Imam Syafi’i ra berkata: Tidak ada yang lebih menguasai bahasa kecuali nabi . Ibnu Jarir ra menambahkan: Yang diriwayatkan oleh Ibnu Abas dan selainnya dari tafsir lafadz al-Qur’an, bahwasannya mereka menafsirkan al-Qur’an dengan bahasa Persia, Habsyah (sekarang Etiopia), Nabtiyyah dan lain sebagainya. Mereka sepakat bahwasannya bahasa-bahasa itu bertemu dan menjadi satu makna.
Menurut Ibnu Athiyah bahwasannya al-Qur’an terdapat lafadz berasal dari bahasa asing yang ter-abisasi sehingga jadilah bahasa arab. Dulu pada zaman turunnya al-Qur’an bahasa arab telah tercampur dengan berbagai bahasa asing, melalui perantara perniagaan kaum Quraisy, seperti ekspedisi Musafir bin Abu Amr ke Syam atau ekspedisi Umar bin Khotob, Amr bin Ash dan ‘Imarah bin Walid ke Habsyah dan lain sebagainya.
Dr. Abdurrahman Badawi menegaskan di dalam kitabnya addifa’ ‘anilqur’an dhiddu muntaqidih, beliau menjelaskan bahwasannya kalau seandainya al-Qur’an diturunkan dengan bahasa selain arab maka Rasulullah wajib mengetahui bahasa tersebut. Akan tetapi kalau kita memperhatikan sejarah, maka tidak ada satu sejarawan pun yang memastikan bahwasannya Rasulullah paham bahasa selain bahasa arab walaupun beliau memiliki pengetahuan yang luas. Disamping itu beliau menguatkan pendapatnya, bahasa ibrani dan bahasa suryaniyah bermuara kepada bahasa samiyah (Semitik ) oleh sebab itu mungkin saja diantara ketiga bahasa itu terjadi kemiripan dan kesamaan. Adapun dalam masalah isim ‘alam (nama manusia) tidak ada perbedaan dikalangan mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwasannya isim ’alam yang terdapat di dalam al-Qur’an bukan berasal dari bahasa arab seperti kata: Ibrohim, Isroil, Jibril, Imron, Nuh dan Luth .
2. Pendapat ulama kedua mengatakan adanya bahasa selain arab dalam al-Qur’an. Ulama kedua ini mengambil dalil dengan membatah dalil ulama pertama. Mereka mengatakan:
(قرآنا عربيا) يوسف2
Maksud dari ayat diatas bahwasannya kata yang ringan yang bukan bahasa arab yang sesungguhnya kata tersebut tidak keluar dari koridor bahasa arab. Sebagai contoh qosidah ataupun syair-syair Persia tidak keluar dari tatanan bahasa arab.
(أأعجمي و عربي) فصلت: 44
Maksud dari ayat ini adalah: apakah perkataan asing atau mukhotob (orang yang diajak bicara) arab?.
Disamping itu ulama kedua ini juga berpendapat bahwasannya di dalam al-Qur’an terdapat lafadz isim alam yang tidak boleh masuk tashrif, contohnya: ابراهيم
Imam Suyuthi menyebutkan dalam kitabnya sekitar 117 lafadz al-Qur’an yang bukan berasal dari bahasa arab. Dibawah ini contoh dari lafadz al-Qur’an yang berasal dari bahasa asing, diantaranya:
1. Lafadz ( (أباريقdiriwayatkan oleh Tsa’labi bahwasannya lafadz tersebut berasal dari bahasa Persia. Adapun Jawaliqy mengatakan lafadz Persia yang sudah ter-arabisasi. Maknanya pengaliran air ke tempat yang lebih rendah atau saluran air.
2. Lafadz ( (جنات عدنdiriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau bertanya kepada Ka’ab tentang makna lafadz tersebut. Ka’ab menjawab:
جنات كروم وعدن بالسريانية
3. Lafadz (فردوس) diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Mujahid, berkata: firdaus adalah nama taman di daerah bangsa Romawi, asalnya فرداسا
4. Lafadz (يس)Diriwayatkan oleh ibnu Marduwiyah dari Ibnu Abas, bahwa maksud dari lafadz tersebut berasal dari bahasa Habasyiah (sekarang: Etiopia) maknanya: ياانسان adapun menurut yang lainnya adalah berasal dari bahasa Syam yaitu
يا رجل
5. Lafadz (السجيل)diriwayatkan oleh Al-Faryabi dari Mujahid, berkata: lafadz tersebut adalah bahasa Persia. Makna pertamanya adalah baru dan menjadi tanah.

Dalam masalah ini pemakalah sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh Abu Ubaid al-Qosim bin Salam, beliau berkata: Barang siapa yang berkata bahwa al-Qur’an seluruhnya berbahasa arab, hali ini benar. Disamping itu beliau juga berpedapat barang siapa yang mengatakatan al-Qur’an terdapat lafadz yang sumbernya dari bahasa selain arab maka ini benar pula. Beliau berdalil, bahwasannya ada lafadz yang bersumber dari bahasa asing akan tetapi bentuk dan gaya bahasanya sudah ter-arabisasi maka bentuknya sudah menjadi arab walaupun sumbernya dari bahasa asing .
Pendapat seperti ini senada dengan pendapatnya Imam Jawaliqo, Ibnu Jauzi dan lainnya. Dr. Muhammad Muhammad Daud menegaskan bahwa seluruh lafadz yang ada di dalam al-Qur’an adalah bahasa arab kecuali ada beberapa lafadz yang bukan bahasa arab seperti isim ‘alam (nama manusia) .

F. Syubhat mengenai penamaan al-Qur’an
Di abad modern ini telah banyak syubhat-syubhat yang bermunculan dari musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin terlebih fitnah yang ditujukan kepada al-Qur’an sebagai kitab rujukan utama kita. Diantara syubhat yang mereka torehkan masalah penamaan kitab suci kita yakni al-Qur’an dan al-furqon.
Mereka beranggapan bahwasannya kata al-Qur’an sendiri berasal dari bahasa suryaniyah (Syiria) dan penamaan al-furqon berasal dari bahasa ibrani. Menurut para orientalis ini bahwasannya al-furqon itu berasal dari bahasa ibrani yang berarti mukholis/ munajji (yang menyelamatkan dan membebaskan). Adapun kata al-Qur’an berasal dari kata قريانا bahasa Suryaniyah yang “berarti bacaan yang suci”. Dan mereka beranggapan bahwa bahwa kalimat isi sesuai dengan timbangan kata فعلان .
Dr. Muhammad Muhammad Daud membantah orang yang beranggapan demikian. Karena pada dasarnya nama al-Qur’an dan al-furqon tidak dapat diragukan lagi yang bersumber dari bahasa arab. Kalau kita kembali kepada ilmu nahwu dan shorof, maka tentu kita akan menemukan asli dari kata al-Qur’an dan al-furqon. Allah berfirman:
  •      • 
Mengambil dalil dengan ayat ini bahwaannya jelas penamaan al-furqon diambil dari ayat al-Qur’an. Menurut Roghib al-Ashfahani makna alfurqon di diantaranya, hari perang badar dan kitab pemisah antara yang benar serta yang salah .
فرق بين القوم : أحدث بينهم فرقة و بين المتشابهين : ميز بعضها من بعض . الفاروق : ما يميز بين أمر و أخر . أو ما يفرق بين الحق و الباطل
Kata alfurqon bentuknya masdar setimbang dengan kata alqur’an, begitupun dengan kata al-Qur’an terdapat di dalam ayat:
•       •  
Kalau kita merujukan kepada kamus bahasa arab, maka kita akan menemukan asal kata tersebut. Oleh sebab itu maka batal orang yang mengatakan bahwa penamaan kitab suci umat Islam berasal dari bahasa selain al-Qur’an.
Disamping itu beliau sangat menghormati orang yang mengatakan bahwasannya penamaan al-Qur’an dan alfurqon bukan bahasa arab. Kalau pun demikian beliau meyakini bahwasannya bahasa arab, bahasa ibrani dan suryani berasal dari satu bahasa yaitu bahasa Semitik. Jadi sampai sekarang ketiga bahasa tersebut banyak kesamaan karena dari satu sumber yang sama.

G. Epilog
Demikian pembahasan pada kajian kali ini, semoga persembahan pemakalah ini bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan kita semua. Pemakalah yakin dalam pembahasan ini banyak sekali kekurangannya disebabkan karena dangkalnya pengetahuan, waktunya yang terbatas dan lain sebagainya. Walaupun demikian pemakalah sangat optimis semoga dengan sadarnya akan kekurangan ini, pemakalah bisa meningkatan kualitas keilmuannya dimasa yang akan datang. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa selalu berada di garda terdepan untuk mengembangkan dan menjaga khasanah keislaman, amin. Wallahu ‘alam bishowab,..


H. Referensi
• Al-Qur’an terjemah
• Suyuthi, Imam, al-Itqon Fi ‘Ulumil Qur’an, Dar el-Hadist, Kairo, 2006
• Jum’ah, Ali, Syekh, Wa Qolal Imam: al-Mabadi al-Udzma, Al-Wabil as-Shoid, Kairo, 2010
• Zarzur, Muhammad, Adnan, Madkhol ila Tafsiril Qur’an wa ‘Ulumih, Dar el-Qalam, Damaskus, 1998
• Daud, Muhammad, Muhammad, Kamallulugot al-‘Arabiyyah, Dar el-Manar, Kairo, 2007
• Syatibi, Imam, Al-Muwafaqot fi Ushulil Fiqh, at-Taufiqiyyah, Kairo, 2003
• Katsir, Ibnu, Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir, Dar el-Shobuny, Kairo, 1999
• Al-Ashfahani, Roghib, Mufrodat Fi Alfadzil Qur’an, el-Fayyadh, Manshurah, 2009
• www.wikipedia.org