Oleh: Irja Nasrullah
Dalam membaca
al-Qur’an, terdapat beberapa aturan yang harus dipenuhi, di antaranya adalah
aturan ketika seseorang wajib atau boleh berhenti (waqf) dan aturan ketika
seseorang boleh meneruskan bacaannya kembali.
Secara
etimologi waqf berarti mencegah atau menghalangi.[1] Adapun
secara terminologi berarti putusnya suara setelah membaca al-Qur’an disertai
dengan keluarnya napas dan berniat untuk menyempurnakan bacaannya kembali. Maka
tidak dinamakan waqf ketika tidak tidak disertai dengan keluarnya napas. Adapun
waqf ini harus bertempat di akhir ayat atau akhir kata dan tidak boleh di
tengah-tengah selamanya.[2]
Adapun Ibtida’
secara etimologi berarti memulai. Adapun secara terminology berarti tata cara
memulai bacaan al-Qur’an dalam keadaan beralih dari keadaan diam kepada keadaan
berucap.[3]
Aturan-aturan
(waqf) ini ditetapkan agar seorang Qari tidak merusak makna al-Qur’an, sebab
pemberhentian bacaan secara serampangan terkadang tidak hanya merusak makna,
namun bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir atau murtad (walaupun hanya
qawly: murtyad ucapannya). Kasus sederhana misalnya, seorang Qari membaca
lafadz tauhid لا إله
إلا الله , tiba-tiba berhenti pada lafadz لا اله saja. Dan tidak
meneruskan bacaannya. Maka bacaannya akan berarti “tiada Tuhan” saja, tanpa
arti selanjutnya “selain Allah”.[4]
Pembahasan waqf dan ibtida’ menjadi pembahasan
yang sangat penting. Imam Ali pernah ditanya tentang makna tartil dalam surat al-Muzzammil ayat 4,
beliau menjawab: “Tartil yaitu mentajwidkan huruf dan mengetahui tempat-tempat
wuquf (tempat berhenti).” Ibnu Al-Anbari berkata: “Salah satu kesempurnaan
pengetahuan kealqur’anan adalah mengetahui waqf dan ibtida’.[5] Banyak
riwayat-riwayat lain yang menunjukkan keutamaan waqf dan ibtida’ ini.
Berikut ini adalah macam-macam waqf:
- Waqf
Idlthirary (berhenti terpaksa), yaitu jika seorang Qari terpaksa
menghentikan bacaannya Karena lupa atau napasnya habis atau udzur-udzur
syar’i yang lain. Jika terjadi waqf idlthirary semacam ini, seorang Qari
wajib mengulang bacaannya lagi, di mana ia terhenti dan kemudian
menyambungnya lagi.
- Waqf
Ikhtibary (berhenti untuk menguji), yaitu penghentian (waqf) pada
bagian-bagian ayat tertentu untuk tujuan menguji siswa atau seseorang yang
sedang belajar al-Quran. Waqf seperti ini hanya diperbolehkan jika
dibutuhkan saja.
- Waqf
Inthidhary (berhenti sejenak untuk menunggu), maksud menunggu adalah
menghentikan satu segi bacaan pada frase-frase al-Qu’an yang bisa dibaca
lebih dari satu segi baca saja, waqf ini diperuntukkan sebagai langkah
pembacaan secara penuh (isti’ab). Waqf ini hanya digunakan oleh mereka
yang mendalami ilmu Qira’at secara (talaqqy), hukumnya boleh.
- Waqf
Ikhtiyary (berhenti bebas/karena kemauan pribadi). Waqf ini perlu dipelajari
sebenarnya. [6]
- Waqf Tam
(sempurna), yaitu berhenti tepat pada kalimat yang telah sempurna, tidak
ada kaitan dengan kalimat sebelum dan sesudahnya baik lafadz maupun maknanya, Maksudnya yaitu yang
boleh berhenti di kalimat tersebut dan boleh langsung memulainya lagi
setelahnya.[7] Biasanya
waqf seperti ini ada di akhir ayat (ra’su ayah), akhir cerita, dan
permulaan cerita baru; seperti waqf pada kata الرحيم
(Q.S. asy-Syu’ara’ :9) dan tujuh
kata الرحيم pada ayat-ayat setelahnya (68, 104,
122, 140, 159, 175, 191).[8]
Contoh-contoh lain sangat banyak.[9]
- Waqf Kafy
(cukup), yaitu berhenti pada akhir kalam yang sudah sempurna lafadznya,
akan tetapi masih ada hubungannya dengan maknanya (dengan kalimat
selanjutnya). Jika berhenti tidak usah mengulang kalimat yang telah
dihentikan (langsung memulainya lagi setelahnya). Waqf kafy ini banyak
terdapat pada ayat seperti:
a). ومما رزقناهم
ينفقون , berhenti di sini Allah
belum cukup menceritakan orang mukmin, tetapi kalau dilihat dari lafadz dan
I’rab kalam berikutnya saudah tidak ada hubungan, maksudnya hubungan kalam itu
tidak menjadi sifat, badal ataupun ma’thuf kalam berikutnya.
b). Juga terdapat pada pertengahan ayat,
seperti
واشربوا في قلوبهم العجل
بكفرهم (كاف) قل بئسما (الأية)
c). Terdapat pada ayat yang setelahnya berupa: لام كي-إلا بمعنى لكن-إن المشددة المكسورة-إستفهام
بل-ألالمخففة-سين-سوف-نعم-بئس-كيلا , dengan catatan kesemuanya tersebut tidak didahului
oelh qaul atau qasam.
- Waqf Hasan (baik), yaitu berhenti pada akhir
kalam yang sudah bisa dipahami artinya, akan tetapi masih ada hubungannya
, baik lafadz maupun makna dengan kalam berikutnya, mungkin badal,
ma’thuf, atau yang lainnya. Waqf hasan berikutnya sudah boleh diwaqf,
sebab secara makna, kalamnya sudah bisa dipahami, akan tetapi ibtida’-nya
(jika akan memulai kalam berikutnya) harus mengulang atau muraja’ah dengan
kalam yang telah di-waqf-kan, kecuali jika bertepatan dengan akhir ayat.
Adapun dasar berhenti pada akhir ayat ini adalah hadits Ummu Salamah.[10]
Rasulullah Saw membaca al-Fatihah dan berhenti (waqf) pada akhir tiap-tiap
ayat. Contoh daripada waqf hasan ini adalah: berhenti pada lafadz jalalahالله yang ada pada redaksi basmalah بسم الله الرحمن
الرحيم . Sebenarnya
kalimat بسم الله ini sudah sempurna dan
bermakna serta boleh berhenti di kalimat tersebut, akan tetapi kalimat
tersebut masih berhubungan dengan kalimat selanjutnya الرحمن الرحيم ,
baik secara lafadz ataupun maknanya.
- Waqf Qabih
(jelek), yaitu berhenti pada kalimat yang belum sempurna, bahkan bisa
menyebabkan timbulnya makna yang berlawanan dengan makna yang
sesungguhnya, yang dimaksudkan oleh ayat. Terkadang juga bisa menyebabkan
seseorang menjadi kafir (jika Qari meyakini maksudnya). Dalam hal ini,
seseorang dilarang berhenti (waqf), kecuali karena darurat sekali, juga
tidak boleh memulai (ibtida’) pada kalimat selanjutnya. Contoh: berhenti
pada fi’il (pekerjaan) tanpa menyebutkan fa’ilnya (pelaku). Atau berhenti
pada mudhof tanpa menyebutkan mudhof ilaihnya, berhenti pada mubtada;
tanpa menyebutkan khabarnya.[11]
Contohnya: berhenti pada kalimat اليهود pada ayat yang berbunyi وقالت اليهود يدالله مغلولة (المائدة :64) . Berhenti pada اليهود merupakan
waqf qabih (jelek) dan memulai setelahnya يدالله
مغلولة merupakan hal yang
lebih qabih (jelek) lagi, kerena akan menimbulkan arti, “Tangan Allah
terbelenggu.” Na’udzubillahi min dzalik.
* * *
Kita telah mengerti arti ibtida’
seperti yang tersebut di atas yaitu memulai bacaan lagi setelah berhenti.
Seseorang yang membaca al-Qur’an juga harus memperhatikan makna-makna yang
terkandung dalam ayat, sehingga bisa untuk memulai lagi bacaannya.
Dalam pembahasan ini ada juga
pembahasan megenai saktah. Saktah yaitu berhenti sejenak tanpa napas, lebih
pendek dari waktu waqf, dan dengan niatan memulai bacaan lagi pada saat itu
juga. Saktah ini berada di tengah frase, akhir frase, dan tatkala menyambung
antara dua surat [12]
kebanyakan terjadi saktah pada huruf matu (sukun sahih) sebelum hamzah seperti
bacaan saktah pada وبالأخرة dan sukun syibh sahih
pada bacaan خلو الى , serta sukun pada huruf
mad seperti قالو أمنا .
Contoh-contoh di atas terdapat
dalam bacaan-bacaan imam qira’at, dan hal itu masih diperdebatkan.[13]
Berikut ini saktah dalam
al-Qur’an yang disepakati, yang ada dalam bacaan imam Hafs versi ‘Ashim jalur
syathibiyyah, bertempat pada empat tempat[14]:
1. Pada surat Al-Kahfi ayat 1 juz 15 yang berbunyi ولم يجعل له عوجا (1) قيما yaitu
berhenti di عوجا tanpa bernapas dan kemudian meneruskan kalimat yang
selanjutnya.
Hikmah: Seandainya diteruskan, maka akan tampak
bahwa قيما (lurus) di sini sifat untuk عوجا (bengkok) padahal maksud sebenarnya قيماdi sini
sifat untuk kitab.
2. Pada surat Yasin ayat 52 juz 23 yang berbunyi: من بعثنا من مرقدنا هذا yaitu berhenti pada مرقدنا tanpa bernapas dan kemudian meneruskan
kalimat yang selanjutnya.
Hikmah: Untuk menjelaskan bahwasannya هذا bukan sifat untuk مرقدنا juga untuk
menjelaskan bahwa itu bukan perkataan orang kafir, akan tetapi perkataannya
Malaikat. Ada
juga pendapat lain yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan perkataan orang
mukmin kepada orang kafir.
3. Pada surat Al-Muthaffifin ayat 14 juz 30 yang
berbunyi كلا بل
ران على قلوبهم yaitu berhenti
pada بل
tanpa bernapas dan kemudian meneruskan kalimat yang selanjutnya.
Hikmah: Supaya tidak sama dengan kata مراق yang
artinya kuah sayur atau penjual kuah.
4. Pada surat Al-Qiyamah ayat 27 juz 29 yang berbunyi
وقيل من راق yaitu berhenti pada من tanpa bernapas dan kemudian meneruskan
kalimat yang selanjutnya.
Hikmah: Supaya tidak sama dengan kata بران yang artinya dua orang yang baik.
Itulah sekilas penjelesan tentang
waqf dan ibtida’. Untuk lebih jelasnya, bisa dirujuk kembali ke kitab-kitab
tajwid dan ulumul qur’an. Keluar dari hal itu semua, ada hikmah terbesar dengan adanya ilmu tajwid dan
ilmu-ilmu ulumul qur’an itu sendiri, yaitu untuk menjaga keotentikan Kitab Suci
al-Qur’an. Adakah Kitab Suci lain yang tata cara membacanya diatur sedemikian
detailnya, mulai dari A sampai Z ?! Bahkan adab dan tata cara bermu’amalah
dengan al-Qur’an itu sendiri pun juga diatur serta telah termaktub di dalam
kitab-kitab para ulama. Itu baru ilmu tajwid dan ulumul qur’an, belum lagi
ilmu-ilmu lain yang semuanya “melayani” Kitab Suci Al-Qur’an. As-Syaikh Usamah
As-Sayyid Mahmud Al-Azhari mengatakan di dalam kitabnya, Al-Madkhol ila
Ushulittafsir, “Bahwa ilmu-ilmu yang ada, sejatinya untuk berkhidmah kepada
al-Qur’an.” Oleh Karena itu beliau juga membuat sebuah kaidah bahwa hubungan
al-Qur’an dengan ilmu yang bermacam-macam merupakan ushul daripada ushul-ushul
tafsir.[15]
Akhirnya, semoga tulisan ringan
ini bermanfaat. Wasallahu ‘ala sayyidina muhammadin wa ‘ala alihi wasahbihi
ajma’in.
Sakan Jam’iyyah
Asdiqa’, H.10, Nasr City , Cairo .
14/05/2012, 10.05 CLT
[1] Ibnu Al-Jazary, Al
Aqwal Jaliyyah fis-Syarhil Muqaddimah al-Jazariyyah, ditahkik oleh Abdur
Razzak bin Muhamad Al-Bakry, Darul Kautsar, Kairo, cet. I, 2010, hal.
148
[2] Ibid., hal.
148
[3] Ibid., hal.
148
[4] Ahmad Shams Madyan,
Lc., MA., Peta Pembelajaran al-Quran, , Pustaka Pelajar, Yokyakarta,
cet. I, 2008, hal. 126-127
[5]Imam
As-Suyuthi, Al Itqan fi Ulumil Quran, ditahkik oleh Ahmad bin Ali, Darul
Hadits, Kairo, 2006, hal. 249
[6]Ahmad
Shams Madyan, Lc. , MA. , op. cit., hal. 127-128
[7] Ibnu Al-Jazary, op.
cit., hal. 149-150
[8] Kata الرحيم setelahnya walaupun tepat pada ra’su ayah,
namun masih memiliki hubungan korelatif dengan ayat setelahnya.
[9] Ahmad Shams Madyan, Lc. , MA. , op. cit., hal.
128
[10] K.H. Qamari Sholeh, Ilmu
Tajwid, Ponpes Nurul Quran (percetakan Tivaza), Jombang, hal. 66
[11] Ibnu Al-Jazary, op.
cit., hal. 151
[12] Hanya diperbolehkan
oleh sebagian pakar qiraat.
[13] Ahmad Shams Madyan, Lc. , MA. , op. cit., hal.
129-130
[14] Ibnu Al-Jazary, op.
cit., hal. 153-154 (dengan sedikit penambahan keterangan).
[15] As-Syaikh Usamah As-Sayyid Mahmud Al-Azhari, Al-Madkol
Ila Ushulittafsir, Maktabah Alwabel Assoib, Kairo, cet. I, 2010,
hal. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar