irja

Selasa, 19 April 2011

Model Penulisan Al-Mushaf Al-‘Utsmâniyyi


Oleh: Ahmad Noor Islahudin

Pendahuluan

Kalau kita keliling dunia, maka akan ditemukan sebagian dari negara-negara Islam yang mempunyai al-Qur’an cetakan negaranya. Contohnya saja Negara Indonesia, makanya timbulah istilah “qur’an arab” dan “qur’an indo”. Karena keterbiasaan memakai al-Qur’an cetakan Indonesia, ketika diberi al-Qur’an cetakan Arab, kita sering menemukan hal-hal yang asing yang membuat kita bingung, lebih ditakutkan lagi seandainya terjadi kesalahan dalam bacaan.

Dan banyak lagi tabir-tabir yang mungkin belum kita ketahui rahasianya. Terkadang juga ditemukan dalam tulisan-tulisan al-Qur’an yang mungkin menurut kita agak asing dengan bahasa arab yang mengikutin auzân dalam ilmu shorf. Terkadang kita juga bertanya-tanya, bagaimana bisa tulisan Al-Mushaf Al-‘Utsmâni bisa mencakup semua tujuh huruf yang dipakai dalam penurunan al-Qur’an ?.

Terkadang kita juga merasakan adanya “unek-unek” dengan pendapat ulama yang berpendapat agar kita tidak bergantung kepada model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâni saja, karena model penulisannya berbeda dengan yang diucapkan dan dilafazkan. Lalu apakah rahasia dibalik keputusan Utsman Ra. untuk menulis (التَابُوْت) ketika terjadi perselisihan dalam penulisan al-Qur’an antara kata (التَابُوْت) dan (التَابُوْه). Yang insyaAllah akan kita bahas semuanya “bersama” dalam pertemuan dihari ini.

Baca tulis sebelum kedatangan Islam.

Sebelum datangnya agama Islam, sebagian besar bangsa Arab Quraisy di Makkah tidak mengenal baca tulis kecuali hanya sebagian kecil dari mereka. Seperti yang diceritakan al-Qur’an dalam surat al-Jum’ah ayat kedua :

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّيْنَ رَسُوْلاً مِنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَ يُزَكِّيْهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمْ اْلكِتَابَ وَ اْلحِكْمَةَ وَ إِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ ( الجمعة : 2 )
Artinya :
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah ( al-Sunnah ). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Hampir semua sejarawan sepakat bahwasannya bangsa Arab Quraisy di Makkah mengenal baca tulis dari Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syamsi (حرب بن أمية بن عبد شمس) walaupun mereka berbeda pendapat dari mana Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syamsi mengenal tulisan. Abu ‘Amru al-Dani berpendapat bahwasannya Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syamsi belajar dari Abdulllah bin Jad’an. Akan tetapi, al-Kalbi berpendapat bahwasannya Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syamsi belajar dari Basyar bin Abdu al-Mulki. Dari Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syamsi bangsa Arab Quraisy Makkah mengenal tulisan, akan tetapi hanya sebagian kecil dari mereka saja yang menguasai baca tulis sebelum datangnya Islam bila dibandingkan dengan banyaknya orang-orang yang tidak mengenal baca tulis.

Yang demikian keadaan bangsa Arab Quraisy di Makkah, berbeda degan keadaan bangsa arab yang berada di Madinah karena terdapat diantara mereka para ahli dalam baca tulis dari kaum Yahudi. Karena ketika rasullullah Saw. datang ke Madinah terdapat seorang Yahudi yang sedang mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kecil, kemudian rasullullah memerintahkan sepuluh orang untuk belajar baca tulis, diantara mereka adalah al-Mundzir bin ‘Amru, Abi bin Wahab, ‘Amru bin Sa’id dan Zaid bin Tsabit.

Baca tulis sesudah kedatangan Islam.

Kedatangan Islam telah memberikan warna baru bagi kehidupan kaum Arab Quraisy Makkah yang telah lama hidup dalam kebutaan tentang baca tulis. Dengan dibuktikan dari permulaan datangnya Islam yang menganjurkan untuk membaca dan bahwasannya kebenaran itu diketahui dengan baca tulis yang tersurat pada surat al-‘Alaq ayat 1-5 :

إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) إِقْرَأْ وَ رَبُّكَ اْلأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Artinya :
Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan ( 1 ). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah ( 2 ). Bacalah, dan tuhanmulah yang maha pemurah ( 3 ). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam ( 4 ). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya ( 5 ).

Dan surat al-Qalam ayat 1-2 :

ن وَ اْلقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَ (1) مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُوْنٍ (2)
Artinya :
Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis ( 1 ). Berkat nikmat tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila ( 2 ).

Semasa hidupnya pun rasulullah selalu menganjurkan kepada para sahabat-sahabatnya untuk belajar dan mengajarkan baca tulis. Ketika enam puluh orang kafir ditawan pada perang Badar oleh umat muslim, maka rasulullah memberikan persyaratan atas kebebasan mereka dengan mengajarkan sepuluh orang sahabat bagi setiap orang tawanan. Semuanya membuktikan bahwasannya baca tulis adalah syarat untuk merdeka dan bebas. Dibawah naungan Islamlah umat Arab Quraisy Makkah berubah menjadi umat yang pandai dan pintar akan baca tulis, menandakan bahwasannya Islam adalah agama yang selalu menganjurkan untuk maju dalam keilmuan dan kebudayaan.

Kapankah nabi Muhammad Saw. bisa membaca dan menulis ?.

Ada sebuah pertanyaan, apakah Nabi Muhammad Saw. bisa membaca dan menulis setelah beliau diangkat menjadi rasul ?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat pertama, mengatakan bahwasannya nabi bisa membaca dan menulis setelah diangkat menjadi rasul. Diperkuat dengan pendapat al-Alusi yang mengatakan bahwasannya hadits nabi ( إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب ) bukanlah dalil yang menunjukkan akan kebutaan nabi dalam baca tulis setelah beliau diangkat menjadi rasul. Karena nabi diutus ditengah-tengah orang-orang yang mayoritas buta akan baca dan tulis.

Pendapat kedua, mengatakan bahwasannya nabi bisa membaca dan menulis setelah diturunkan al-Qur’an secara keseluruhan. Seperti yang di firmankan oleh Allah Swt. dalam surat al-‘Ankabût ayat 48-49 :

وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْا مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ تَخُطُّهُ بِيَمِيْنِكَ إِذًا لاَّرْتَابَ اْلمُبْطِلُوْنَ (48) بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُوْرِ الَّذِيْنَ أُوْتُوْا اْلعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلاَّ الظَّالِمُوْنَ (49)
Artinya :
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu) ( 48 ). Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.

Syaikh al-Zarqâni dalam kitabnya Manâhil al-‘Irfân fî ‘ulûmi al-Qur’ân membenarkan pendapat ini. Dan mengatakan bahwasannya dalil yang menyebutkan bahwasannya nabi tidak bisa membaca dan menulis sebelum penyempurnaan turunnya al-Qur’an adalah dalil qoth’i ( pasti ), sedangkan dalil yang meyebutkan bahwasannya nabi bisa membaca dan menulis setelah diangkat menjadi rasul adalah dalil dzanni ( perkiraan ).

Adapun hikmah bahwasannya nabi tidak bisa membaca dan menulis kecuali setelah penyempurnaan turunnya al-Qur’an adalah :
1. Menunjukkan akan mulianya kedudukan baca tulis.
2. Ketidak bisaan nabi dalam dalam baca tulis hanya bersifat sementara.
3. Hal ini memberikan bukti akan kebenarana dan kejujuran nabi.
4. Orang-orang akan menganggap dakwah nabi hasil dari pemikiran dan subjekfitasnya, jika nabi bisa membaca dan menulis setelah beliau di angkat menjadi nabi.

Penulisan al-Qur’an.

Dalam kajian dua minggu yang lalu, kita bersama-sama telah membahas tentang pengumpulan al-Qur’an. Tapi dalam kajian kita ini penulis akan menambahkan tentang bagaimana model penulisan al-Qur’an dan dimana al-Qur’an dulu ditulis pada zaman nabi, Abu Bakar dan Usman.

Penjagaan Nabi Muhammad dan para sahabat-sahabatnya terhadap al-Qur’an sungguh luar biasa, terbukti dengan banyaknya sekertaris-sekertaris nabi dalam penulisan wahyu al-Qur’an. Apabila turun wahyu al-Qur’an maka nabi akan menyuruh para sekertaris-sekertarisnya untuk menulis wahyu tersebut walaupun hanya satu ayat. Seperti sabda nabi :

مَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئًا غَيْرَ اْلقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Artinya :
Barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an agar supaya menghapusnya ( tulisan itu ).

Diantara sekertaris-sekertaris nabi dalam penulisan wahyu al-Qur’an adalah :
1. Al-Khulafaur Rasyidin.
2. Mu’awiyyah.
3. Aban bin Sa’id.
4. Kholid bin Walid.
5. Ubay bin Ka’ab, dialah sekertaris pertama di kota Madinah.
6. Zaid bin Tsabit.
7. Tsabit bin Qois.
8. Handzolah bin Robi’.
9. Abdullah bin Saad bin Abi Sarih, dialah sekertaris pertama di kota Mekkah.
10. Zubair bin Awwam.
11. Dan lain-lain.

Ketika zaman nabi al-Qur’an ditulis ditulang-tulang, batu-batu, pelepah kurma, kulit-kulit binatang dan lain sebagainya, sampai akhirnya berbentuk kumpulan mushaf seperti zaman sekarang ini.

Rosmu al-Mushaf atau model penulisan al-Mushaf.

Maksud dari Rosmu al-Mushaf adalah model atau bentuk penulisan huruf-huruf dan kalimat-kalimat dalam penulisan al-Qur’an yang disetujui oleh Usman.

Aslinya tulisan itu harus sesuai dengan apa yang diucapkan atau dilafazkan. Akan tetapi, didalam model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi terdapat beberapa penulisan kata yang tidak sesuai dengan aslinya, karena terdapat perbedaan antara tulisan terhadap mantûq atau yang diucapkan dan dilafazkan dengan tujuan yang mulia.

Imam Zarkasyi dalam bukunya Al-Burhân fî ‘ulûmi al-Qur’ân membagi model penulisan menjadi tiga bagian yaitu :
1. Model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi atau model penulisan yang disandarkan dan mengikuti dari riwayat-riwayat yang mutawâtir.
2. Khot al-‘Urûd atau model penulisan yang sesuai dengan apa yang diucapkan dan dilafazkan.
3. Model penulisan yang disandarkan dari suatu kebiasaan yang sudah tersebar dan diketahui, model penulisan inilah yang sering dibahas oleh ahli ilmu nahwu.

Begitupun Abu Syahbah dalam bukunya Al-Madkholu lidirôsati al-Qurâni al-Karîm menjelaskan bahwasannya terdapat beberapa kata dalam al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi yang berbeda dengan apa yang diucapkan dan dilafazkan. Dikarenakan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi disandarkan oleh riwayat-riwayat yang mutawâtir.

Dan masih banyak lagi karya-karya dari para ulama-ulama yang menjelaskan tentang model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi ini, mereka adalah Imam Abu Amru al-Dani dengan bukunya berjudul al-Muqni’, Abu Abbas al-Marokisyi dengan judulnya ‘unwânu al-Dalil fî rosmi khoththi al-Tanzîl, Syaikh Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan al-Mutawali, Syaikh Muhammad Kholfu al-Husaini dan lain sebagainya.

Metode penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi.

Dalam penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi terdapat enam metode :

(1). Metode al-Hadzfu ( penghapusan ).

a. Penghapusan huruf alif.
Bentuk-bentuk penghapusan huruf alif :
1. Dalam yâ’ al-Nidâ. Contoh : (يأَيُّهَا).
2. Dalam hâ’ al-Tanbîh. Contoh : (هأَنْتُمْ).
3. Dalam dhomîr (نَا) apabila ada dhomîr ( kata ganti ) lagi setelahnya. Contoh : (أَنْجَيْنكُمْ).
4. Dalam lafaz al-Jalâlah (اللهُ).
5. Dalam huruf (إِله).
6. Dalam lafaz (الرَّحْمن) .
7. Dalam lafaz (سُبْحن).
8. Setelah huruf lâm. Contoh : (خَلئِف).
9. Apabila terdapat diantara dua lâm. Contoh : (الكَللَة).
10. pada setiap mutsannâ. Contoh : (رَجُلن).
11. Pada setiap jamak mudzakkar atau muannats sâlim. Contoh : (سَمّعُوْن) dan (المُؤمِنت).
12. Pada setiap jamak yang berwazn mafâ’il. Contoh : (المَسجِد).
13. Pada setiap hitungan. Contoh : (ثَلث).
14. Huruf alif al-Washlu. Contoh : (بِسْمِ اللهِ), Muhammad Syamlul menukil perkataan al-Dani dalam bukunya al-Muqni’ bahwasannya penhapusan huruf alif al-Washlu dalam (بِسْمِ اللهِ) dikarenakan seringnya dipakai.
15. Dalam sebagian awal, tengah dan akhir suatu kata. Contoh awal : (لئَيْكَة). Contoh tengah : (كِتب). Contoh akhir : (جَاءُو, بَاءُو).
16. Nama-nama al-A’lâm. Contoh : (صلِح).
17. Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.


b. Penghapusan huruf yâ’.
Bentuk-bentuk pengahapusan huruf yâ’ :
1. Pada setiap manqûs munawwan ( bertanwin ) baik dhommatain maupun kasrotain. Contoh : (غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ).
2. Pada kalimat (أَطِيْعُوْنِ, اِتَّقُوْنِ, خَافُوْنِ, اِرْهَبُوْنِ, فَأَرْسِلُوْنِ, وَاعْبُدُوْنِ).
3. Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.

c. Penghapusan huruf wâw.
Huruf wâw dihapus apabila bertemu dengan huruf wâw yang lain.
Contoh : (لاَ يَسْتَون, فَأْوا إِلَي اْلكَهْفِ).

d. Penghapusan huruf lâm.
Huruf lâm dihapus apabila mudghomah dengan huruf lâm yang lain.
Contoh : (الَّيْلُ, الَّذِي). Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.

e. Pengahapusan huruf tâ’ dalam beberapa kata baik di awal,tengah atau di akhir kata.
Contoh : (لاَ تَكَلَّمُ نَفْسٌ).

f. Pengahpusan huruf nûn di awal kata dalam dua tempat dalam surat Yusuf ayat 11 dan surat al-Anbiyâ’ ayat 88, dan juga disebagian akhir kata.
Contoh di akhir kata : (يَكُ).

g. Pengecualian-pengecualian dalam metode al-Hadzfu ( penghapusan ) :
1. Penghapusan huruf alif. Contoh : (ملِكِ).
2. Penghapusan huruf yâ’. Contoh : (إِبْرَاهم).
3. Penghapusan huruf wâw. Contoh : (وَ يَدْعُ, وَ يَمْحُ, يَدْعُ, سَنَدْعُ).

(2). Metode al-Ziyâdah ( penambahan ).

a. Penambahan huruf alif.
Bentuk-bentuk penambahan huruf alif :
1. Berada setelah huruf wâw dalam setiap akhir ismu majmû’ atau hukum majmû’.
Contoh : (مُلاَقُوْا رَبِّهِمْ, بَنُوْا إِسْرَائِيْلَ).
2. Berada setelah huruf hamzah yang berharakat dhommah diatas huruf wâw.
Contoh : (تَالله تَفْتَؤُا).
3. Dalam kalimat (مِائَة, مِائَتًيْن, الظُّنُوْنَا, الرَّسُوْلاَ, السَّبِيْلاَ) dan lain sebagainya.

b. Penambahan huruf yâ’.
Contoh : (نَبَإِي, آنَاءِي, تِلْقََاءِي, بِأَيِّيكُمْ, بِأَيْيدِ).

c. Penambahan huruf wâw.
Contoh : (أُوْلُو, أُولئِكَ, أُولاَءِ, أُولاَتِ).

(3). Metode penulisan huruf hamzah.

Bentuk-bentuk penulisan huruf hamzah :
a. Apabila huruf hamzahnya sukûn atau mati, maka penulisan hamzahnya diatas huruf yang sesuai dengan harakat sebelumnya.
Contoh : (ائْذَنْ, اؤْتمٍنَ, البَأْسَاء). Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.

b. Apabila huruf hamzahnya berharakat.
Bentuk-bentuk hamzah berharakat :
1. Apabila letak hamzah di awal kalimat, maka selalu ditulis diatas huruf alif.
Contoh : (أَيُّوْب, أُوْلُو, إِذا). Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.
2. Apabila letak hamzah ditengah-tengah kalimat, maka penulisan hamzahnya diatas huruf yang sesuai dengan harakatnya. Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.
Contoh : (سَأَلَ, سُئِلَ, تَقْرَؤُهُ).
3. Apabila letak hamzah diakhir kalimat dan huruf sebelumnya berharakat, maka penulisan hamzahnya diatas huruf yang sesuai dengan harakatnya. Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.
Contoh : (سَبأَ, شَاطئِ, لؤْلؤُ).
4. Apabila letak hamzah diakhir kalimat dan huruf sebelumnya huruf mati, maka ditulis dengan huruf hamzah saja. Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.
Contoh : (مِلْءٌ, الخَبْءُ).

(4). Metode al-Badal atau pergantian.

Bentuk-bentuk pergantian :
a. Pergantian huruf alif.
Bentuk-bentuk pergantian huruf alif :
1. Pergantian huruf alif menjadi huruf wâw tafkhîm atau pengagungan.
Contoh : (الصَّلوة, الزَّكوة, الحَيوة). Dan lain sebagainya kecuali yang istitsnâ’.
2. Pergantian huruf alif menjadi huruf yâ’, jika huruf aslinya huruf yâ’.
Contoh : (يَتَوَفَّكُمْ, يحَسْرَتَي, يأَسَفَي).
3. Dalam kalimat-kalimat ini huruf alif juga mengalami pergantian menjadi huruf yâ’.
Contoh : (إِليَ, عَليَ, أَنَّي, مَتيَ, بَليَ, حَتَّي, لَدَي). Kecuali (لَدَا البَابِ) dalam surat Yusuf ayat dua puluh lima karena huruf alif tidak mengalami pergantian huruf.

b. Pergantian huruf nûn menjadi huruf alif, dalam nûn al-Tauk îd atau penekanan.
Contoh : (إِذَنْ) ditulis (إِذًا).

c. Pergantian huruf hâ’ al-Ta’nîts atau tâ’ al-Marbûthoh menjadi tâ terbuka atau tâ biasa.
Contoh : (رَحْمَت, نِعْمَت, لَعْنَت, مَعْصِيَّت,شَجَرَت, قُرَّت, جَنَّت, بَقِيَّت, امْرَأَت) pada surat-surat tertentu.

(5). Metode al- Washlu dan al-Fashlu atau penggabungan dan pemisahan.

Bentuk–bentuk metode penggabungan dan pemisahan :
a. Huruf (أََنْ) dengan hamzah berharakat fathah disambung dengan huruf (لاَ) jika berada setelah huruf (أََنْ). Contoh : (أَلاَّ).
Kecuali disepuluh tempat, sebagian contohnya : (أَنْ لاَ تَقُوْلُ, أَنْ لاَ تَعْبُدُوْا إِلاَّ اْلله).

b. Huruf (مِنْ) disambung dengan huruf (ما) jika berada setelah huruf (مِنْ). Contoh : (مِمَّا).
Kecuali : (فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ) dan (مِن مَّا رَزَقْنَاكُمْ).

c. Huruf (مِنْ) selalu disambung dengan huruf (مَنْ). Contoh : (مِمَّنْ).

d. Huruf (عَنْ) disambung dengan huruf (مَا). Contoh : (عَمَّا).
Kecuali : (عَن مَّا نُهُوْا عَنْهُ) surat al-A’râf ayat keseratus enam puluh enam.

e. Huruf (إِنْ) dengan hamzahnya berharakat kasro disambung dengan huruf (ما) jika berada setelah huruf (إِنْ). Contoh : (إِمَّا).
Kecuali : (إِن مَّا نُرِيَنَّكَ) surat al-Ra’du ayat keempat puluh.

f. Huruf (أَنْ) dengan hamzahnya beraharakat fathah selalu disambung dengan huruf (ما). Contoh : (أَمَّا).

g. Huruf (كُلّ) disambung dengan huruf (ما) jika berada setelah huruf (كُلّ). Contoh : (كُلَّمَا).
Kecuali : (كُلَّ مَا رُدُّوْا إِليَ الفِتْنَةِ) surat al-Nisâ’ ayat kesembilan puluh satu dan
(مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوْهُ)surat Ibrahim ayat ke tiga puluh empat.

h. Dalam kalimat (نِعِمَّا, رُبَّمَا, كَأَنَّمَا, وَيْكَأَنَّ).

(6). Metode penulisan kata yang memiliki dua qirôat ( bacaan ).

Apabila terdapat kata yang memiliki dua, maka ditulis dengan salah satu bacaannya.
Contoh :
1. (مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ, يُخَادِعُوْنَ اللهَ, وَوَاعَدْناَ مُوْسَي, تُفَادُوْهُمْ) ditulis dengan menggunakan huruf alif, karena semuanya bisa dibaca dengan menambahkan huruf alif ataupun menghilangkannya.
2. (غَيَابَتِ الْجُبِّ, أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ, ثَمَرَاتٍ مِنْ أَكْمَامِهَا, وَهُمْ فِي الغُرُفَاتِ آمِنُوْنَ) ditulis dengan tâ’ terbuka atau tâ’ biasa, karena semuanya bentuk jamak yang bisa dibaca dengan jamak ataupun ifrâd.

Faedah dan keistimewaan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi.

Faedah model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi ada enam yaitu :

1. Penulisan dengan satu kata sebisa mungkin untuk bisa dipakai kedalam beberapa qirôah atau bacaan. Apabila suatu kata mencakup dua bacaan atau lebih maka ditulis dengan kata tersebut, jika bisa mencakup dua bacaan atau lebih itu. Tapi jika tidak bisa mencakup dua bacaan atau lebih itu, maka ditulis dengan kata lain yang berbeda dengan aslinya. Yang menunjukkan diperbolehkannya membaca dengan bacaan yang berbeda dengan aslinya tersebut ataupun dengan bacaan yang asli itu sendiri. Dan apabila suatu kata hanya mencakup satu bacaan saja, maka kata itulah yang akan ditulis di al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi. Contoh : (إِنْ هذانِ لسحِرن) surat Thôha ayat keenam puluh tiga, dengan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi ini memungkin untuk bisa dibaca dengan empat bacaan yang lainnya yaitu bacaan Nafi’, Ibn Katsir, Hafsh, dan bacaan Abu Amru.

2. Perbedaan penulisan satu kalimat yang sama yang menunjukkan perbedaan maknanya. Contoh : penulisan pertama (أَم مَّنْ يَكُوْنُ عَلَيْهِمْ وَكِيْلاً) dengan pemisahan kata (أَمْ) yang menunjukkan bahwa makna katanya adalah (بَلْ) atau tetapi, sedangkan penulisan keduanya (أَمَّنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلَي صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمًا) dengan penggabungan kata (أم) yang menunjukkan bahwa makna katanya adalah (كتلك) atau seperti itu.

3. Berfungsi untuk menunjukkan makna yang samar dan tersembunyi. Sesuai dengan kaedah “ Penambahan al-Mabnî memberikan petunjuk akan penambahan makna “.
Contoh : (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْيدٍ) yang menunjukkan akan kebesararan kekuatan Allah yang membangun langit ini dan tidak ada satu kekuatanpun yang sepadan dengan kekuatanNya.

4. Berfungsi untuk menunjukkan akan keaslian dari suatu tanda baca dan huruf.
Contoh : (وَ إِيتَاءِ ذِي الْقُرْبي) dengan penulisan huruf yâ’ setelah harakat kasroh, yang menunjukkan keaslian harakat kasroh, dan (الصَّلوة) untuk menunjukkan bahwasannya asli huruf alif adalah huruf wâw.

5. Berfungsi untuk menunjukkan asal bahasa yang fasih dari suatu kata atau huruf.
Contoh : penulisan hâ’ al-Ta’nîs atau tâ’ al-Marbûthoh dengan tâ’ terbuka atau tâ’ biasa yang menunjukkan bahwsa kata itu berasal dari bahasa Thoi, dan (يَوْمَ يَأْتِ لاَ تَكَلَّمُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ) dengan menghilangkan huruf yâ’ dalam kata (يَأْتِ) yang menunjukkan kata itu berasal dari bahasa Hudzail.

6. Memberi rangsangan kepada kita untuk selalu belajar dan menerima al-Qur’an dari orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak bergantung kepada model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi dimana model penulisannya berbeda dengan yang diucapkan dan dilafazkan.

Dari faedah yang keenam inilah yang akan melahirkan dua keistimewaan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi, keistimewaan-keistimewaan itu ialah :

1. Menjadikan kita lebih percaya terhadap lafaz-lafaz al-Qur’an, cara penyampaiannya, keindahan bacaan dan tajwidnya. Seperti pedapat para ulama bahwasannya kita tidak boleh bergantung kepada al-Mushaf al-‘Utsmâniyyi saja, akan tetapi harus belajar juga dari seseorang yang hâfidz dan dapat dipercaya dalam bacaan dan penyampaian al-Qur’annya.

2. Bersambungnya silsilah sanad kepada Nabi Muhammad Saw., seperti yang diungkapkan oleh Ibn Hazm bahwasannya penyampaian dari orang yang dapat dipercaya kepada orang yang dapat dipercaya sehingga bersambunglah silsilah sanadnya kepada nabi adalah suatu kelebihan dan kekhususan bagi agama Islam yang membedakan dengan milal yang lainnya.





Hukum penulisan al-Qur’an dengan menggunakan model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum penulisan al-Qur’an dengan menggunakan model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi. Apakah hukumnya dari pertama kalinya yang tidak diperbolehkan untuk melanggarnya ( tauqîfî ) ataukah hukumnya hasil dari kesimpulan seseorang dan belum ada sejak pertama kalinya ( ijtihâdî ) ?, terdapat tiga pendapat ulama dalam hal ini, yaitu :

1. Pendapat pertama pendapat jumhûru al-‘Ulamâ’ yang mengungkapkan bahwasannya hukumnya sudah ada sejak pertama kalinya ( tauqîfî ) dan tidak diperbolehkan untuk melanggarnya.

Mereka berdalil sebagai berikut :
a. Persetujuan nabi terhadap para sekertaris-sekertarisnya dalam penulisan wahyu ketika mereka menulis wahyu dengan menggunakan model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi.
b. Peraturan-peraturan dan undang-undang yang diberikan oleh nabi kepada para sekertaris-sekertarisnya yang sesuai dengan model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânî.
c. Kesepakatan para sahabat atas model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi, dimana jumlah mereka lebih dari dua belas ribu sahabat.
d. Kesepakatan para al-Tabi’în dan al-Aimmatu al-Mujtahidîn atas model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi.

2. Pendapat kedua pendapat Ibnu Kholdun dan al-Qôdî Abu Bakar yang mengungkapkan bahwasannya hukumnya tidak dari pertama kalinya akan tetapi hasil dari ijtihâd seseorang, oleh karena itu boleh menulis al-Qur’an dengan menggunakan selain model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi.

Tapi pendapat ini ditentang oleh jumhûru al-‘Ulamâ’ :
a. Dengan dalil-dalil yang diungkapkan oleh jumhûru al-‘Ulamâ’.
b. Menurut jumhûru al-‘Ulamâ’ pendapat mereka tentang ketiadaan perintah penulisan al-Qur’an dengan menggunakan model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânî adalah salah. Ditentang dengan menggunakan dalil-dalil yang diungkapkan oleh jumhûru al-‘Ulamâ’ diatas.
c. Jumhûru al-‘Ulamâ’ menentang pendapat al-Qôdî Abu Bakar yang mengatakan bahwa diperbolehkan penulisan al-Qur’an dengan menggunakan selain model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmâni. Setelah kesepakatan umat dan kepercayaan mereka bahwasannya model tulisan al-Mushaf al-‘Utsmânî adalah perintah dari pertama kalinya ( tauqîfî ).

3. Pendapat al-‘Izza bin Abdussalam yang mewajibkan untuk menuliskan al-Qur’an sesuai dengan model tulisan yang sudah tersebar dan diketahui pada zaman sekarang ini, dan tidak menuliskan kepada mereka dengan menggunakan metode penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi dulu, agar tidak terjadi perubahan dan kerancuan disebabkan ketidaktahuan mereka tentang metode penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi. Akan tetapi disisi lainpun diwajibakan untuk menjaga model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi juga. Supaya model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi yang sudah ada sejak pertama kalinya masih tetap terjaga dan tidak terlupakan.

Syaikh Muhammad Al-Zarqâni juga bersependapat dengan pendapat ini yang mengatakan bahwasannya dari pendapat ini akan timbul suatu unsur pemeliharaan terhadap al-Qur’an dari dua sisi :
a. Pemeliharaan penulisan al-Qu’ran dengan tulisan yang tersebar dan diketahui pada zaman sekarang yang menjauhkan al-Qur’an dari perubahan dan percampuran.
b. Pemeliharaan model penulisan al-Qur’an pertama yaitu metode penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi yang dikhususkan pembacanya bagi orang-orang yang tahu akan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi, juga tidak khawatir akan terjadinya percampuran dan perubahan.

Bukankah agama menyuruh kita untuk selalu menjaga ilmu, kebudayaan dan peninggalan agama kita, apalagi masalah-masalah yang berkaitan dengan wahyu al-Qur’an.

Kebohongan-kebohongan terhadap model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi yang diutarakan oleh orientalis.

Ada kebaikan pasti akan ada kejahatan, ada kebenaran pasti akan ada kebohongan, itulah realita kehidupan. Seperti yang dijelaskan Allah Swt. dalam al-Qur’an bahwasannya jin tidak akan pernah berhenti menggoda dan memberikan fitnah-fitnah kepada manusia untuk selalu berbuat maksiat kepada Allah. Oleh karena itu, kita pasti akan sering menemukan kebohongan-kebohongan yang diutarakan oleh orientalis dalam agama kita. Tapi dalam makalah ini penulis akan memberikan dua contoh kebohongan-kebohongan orientalis terhadap model penuisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi, yaitu :

1. Mereka mengutarakan kebohongan dengan mengatakan bahwasannya didalam al-Qur’an terdapat lahnun atau kekeliruan dalam i’râb, dalil yang mereka pakai adalah :
رُوي عن سعيد بن جبير كان يقرأ (وَاْلمُقِيمِينَ الصَّلاَةَ) (النساء : 162) و يقول (هُوَ مِنْ لَحْنِ اْلكِتَابِ)

Akan tetapi, kebohongan mereka ini terbantahkan dengan dalil-dalil sebagai berikut :
a. Sa’id bin Jabir tidak bermaksud bahwa lahnun atau kekeliruan dalam i’râb disini sebagai kesalahan, akan tetapi dia bermaksud bahwa lahnun atau kekeliruan dalam i’râb disini sebagai bahasa.
b. Lahnun atau kekeliruan dalam i’râb yang dimaksudkan sebagai bahasa juga terdapat dalam surat Muhammad ayat 30 ( وَلاَ تَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ اْلقَوْلِ ).
c. Bahwasannya Sa’id bin Jabir juga membaca dengan bacaan (وَاْلمُقِيمِينَ الصَّلاَةَ), jikalau lahnun atau kekeliruan dalam I’râb disini dimaksudkan sebagai kesalahan maka Sa’id bin Jabir tidak akan mau membaca dengan bacaan (وَاْلمُقِيمِينَ الصَّلاَةَ), bagaimana mungkin seseorang membaca sesuatu yang dianggapnya salah ?.
d. Bahwasannya kedua bacaan (وَاْلمُقِيمِينَ الصَّلاَةَ) dengan menggunakan huruf yâ’ ataupun dengan menggunakan huruf wâw adalah benar karena disandarkan dengan dalil yang mutawâtir. Bacaan dengan menggunakan huruf yâ’ takdirnya adalah
(و أمدح المقيمين الصلاة) sedangkan bacaan dengan menggunakan huruf wâw yang menunjukkan bahwasannya kata itu adalah al-‘Athofu atau sambungan.

2. Mereka juga memberikan kebohongan dalam pengumpulan al-Qur’an dan metode penulisannya, dalil yang mereka pakai adalah :
رُوي عن ابن عباس في قوله تعالي : ( حَتَّي تَسْتَأْنِسُوا وَ تُسَلِّمُوا ) ( النور : 27 ) أنه قال : إن الكاتب أخطأ و الصواب : ( حَتَّي تَسْتَأْذِنُوا ).

Akan tetapi kebohongan mereka ini terbantahkan dengan dalil-dalil sebagai berikut :
a. Dengan jawaban yang diberikan oleh Abu Hayyan atas riwayat ini, bahwasannya Ibnu Abbas tidak pernah meriwayatkan riwayat ini, dan suatu kebohongan besar dalam agama bagi orang yang mengatakan bahwasannya Ibnu Abbas pernah meriwayatkan riwayat ini.
b. Dengan riwayat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Ibnu al-Anbari, Ibnu Jarir dan Ibnu Mardiyah dari Ibnu Abbas, bahwasannya Ibnu Abbas menafsirkan (تَسْتَأْنِسُوا) dengan (تَسْتَأْذِنُوا) atau meminta izin kepada pemilik-pemilik rumah.
c. Bahwasannya al-Qurraâ’ atau para ahli bacaan tidak pernah meriwayatkan bacaan selain dari(تَسْتَأْنِسُوا) , jikalau (تَسْتَأْذِنُوا) adalah riwayat yang mutawâtir, maka mereka pasti akan meriwayatkannya.
d. Dan riwayat ini bertentangan dengan riwayat yang qothi’ dan mutawâtir. Kaedah yang berlaku adalah, setiap sesuatu yang bertentangan dengan riwayat yang qothi’ dan mutawâtir maka tidak syah atau batal. Maka setiap sesuatu yang bertentangan dengan model penulisan al-Mushaf al-‘Utsmânîyyi adalah sesuatu yang menyimpang dan menyeleweng, maka tidak boleh dijadikan sebagai dalil atau landasan.

Penutup.

Alhamdulillah akhirnya kita semua bisa mengakhiri pembahasan ini, semoga dengan sedikit tulisan dan pembahasan yang kita kaji dalam kajian memberikan wawasan baru kepada kita tentang al-Qur’an, semakin membuat kita yakin dengannya, memberikan motivasi dan semangat baru bagi kita untuk selalu mengamalkan, mengkaji dan metadabbur al-Qu’ran dan menjadikannya sebagai tuntunan hidup bagi kita semuanya. Karena al-Qur’an adalah sumber utama dalam agama kita dan sumber keduanya adalah sunah-sunah Nabi Muhammad Saw.. Sehinngga kita semuanya menjadi insan yang qur’ani seperti yang dicontohkan oleh baginda nabi. Allahumma Âmîn.














Mahasiswa Universitas Al-Azhar Jurusan Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah Tingkat 4

Daftar pustaka.


1. Abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad, Al-Madkholu lidirôsati al-Qurâni al-Karîm, Maktabah as-Sunnah, Kairo, Cet ke-2, 2003 M.
2. Al-Zarkasyi, Muhammad bin Abdillah, Al-Burhân fî ‘ulûmi al-Qur’ân, Dâr al-Hadits, Kairo, 2006 M.
3. Al-Zarqâni, Syaikh Muhammad, Manâhil al-‘Irfân fî ‘ulûmi al-Qur’ân, Jilid ke-1, Dâr al-Hadits, Kairo, 2001 M.
4. Syamlul, Muhammad, I’jâzu rosmi al-Qur’âni wa I’jâzu al-Tilâwati, Dâr al-Salâm, Kairo, Cet ke-3, 2010 M.
5. Http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
6. Http://www.republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar