irja

Selasa, 19 April 2011

Konsepsi Operatif Ilmu Asbabun Nuzul


Oleh:Ade Suryadi

Prolog

`Abdullah Darraz, dalam Al-Naba `Al-`Azhim, menulis begini: “Apabila anda membaca Al-Qur`an, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi jika anda membacanya sekali lagi, akan Anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti yang bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. (Ayat-ayat Al-Qur`an) bagaikan intan; setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilakan orang lain, maka ia akan melihat banyak ketimbang apa yang Anda lihat” .

Untuk memperkokoh pendalaman dan menemukan sudut-sudut istimewa lain tentang Al-Qur`an Ilmu Asbabun Nuzul hadir dan membahas kasus-kasus yang menjadikan turunnya beberapa ayat Al-qur’an, macam-macamnya, sight atau redaksi-redaksinya dan tarjih riwayat-riwayatnya. Faedah mempelajari ilmu ini juga bertujuan untuk menyaksikan banyak peristiwa sejarah.

Dalam perkembangannya Ilmu ini menjadi sangat urgen. Hal ini tak lepas dari jerih payah perjuangan para ulama yang mengkhususkan diri dalam upaya membahas segala ruang lingkup sebab nuzulnya Al-Qur`an. Diantaranya yang terkenal yaitu Ali bin Madini , Al-Wahidy dengan kitabnya Asbabun Nuzul, Al-Ja’bary yang meringkas kitab Al Wahidi, Syaikhul islam Ibn Hajar yang mengarang sebuah kitab mengenai asbabun nuzul. Dan As-Suyuthi mengarang kitab Lubabun Nuqul fi Asbab An-Nuzul, sebuah kitab yang sangat memadai dan jelas serta belum ada yang mengarang kitab semacam ini sebelumnya.

Pengertian Asbabun Nuzul
Kalimat Idhafah antara Asbabu dan An-Nuzul secara etimologi berarti sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Asbabun Nuzul yang dimaksudkan disini adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al Quran.

Dan secara terminologi menurut Manna` Alqathan Asbabun Nuzul dipahami sebagai peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al Quran yang berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan . Adapun menurut Az-Zarqany ialah sebab diturunkannya sebuah ayat atau beberapa ayat yang berkenaan dengan kejadian atau penjelasan terhadap suatu hukum atau jawaban dari suatu pertanyaan pada waktu diturunkannya

Dengan artian sebagai sebab untuk kejadian atau pertanyaan yang hanya muncul pada jaman Nabi Saw. maka turunlah satu ayat atau beberapa ayat yang berhubungan dengan kejadian itu atau sebagai jawaban dari pertanyaan yang menuntut penjelasan, baik turunnya ayat secara langsung dengan kejadian tertentu ataupun turun setelah kejadian untuk menjelaskan hikmah dari suatu hukum, misalnya ketika Rasul ditanya orang-orang Quraisy tentang Ruh, Ashabul Kahfi dan Dzil Qarnain maka Rasul Saw bersabda: “Besok akan kuberitahukan kepadamu” tanpa mengucapkan kalimat masyiah. Kemudian wahyu tidak turun dalam beberapa waktu sehingga turunlah ayat sebagai teguran pada Nabi:

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi. Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah" dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini"”

Atau ada juga yang ayatnya turun lebih awal sementara kandungan hukumnya untuk masa yang akan datang, seperti halnya ayat tentang Zakat yang diturunkan di Mekkah sedang pensyari`atan Zakat itu sendiri sesudahnya di Madinah .

Asbabun Nuzul bisa dikatakan sebagai rentetan fakta sejarah yang membantu menjelaskan kandungan ayat Al-Qur`an. Adapun terhadap peristiwa yang terjadi pada Nabi-nabi terdahulu yang dikisahkan dalam al-Qur`an tidaklah dikatakan Asbabun Nuzul begitu pula dengan peristiwa-peristiwa untuk masa yang akan datang seperti berita hari akhir, kenikmatan syurga atau siksaan neraka, dan kebanyakan ayat-ayat Al-Qur`an tidak memiliki Asbabun Nuzulnya.

Dan sebagaimana telah diketahui bahwa ayat-ayat Al-qur`an terbagi pada ayat-ayat ibtidai dan ayat-ayat sababi maka Ilmu Asbabun Nuzul membantu menguatkan sekaligus memisahkannya dengan ayat-ayat ibtida`i atau ayat-ayat permulaan yang tidak ada sebab turunnya seperti dalam masalah akidah, iman dan hal lainnya yang menunjukan tidak semua ayat harus turun berdasarkan kejadian yang menyebabkannya, atau pertanyaan dan hukum yang menuntut penjelasannya.
• Syubhat. Mengingat alam semesta ini ada Penciptanya maka hukum sebab akibat atau aksi reaksi berlaku juga untuk Asbabun Nuzul sehingga tidak mungkin ada ayat yang turun tanpa sebab tertentu. Maka kapabilitas Ilmu Asbabun Nuzul terkesan kurang kompleks.
 Jawab. Memang demikianlah Al-Qur`an, ada ayat-ayatnya yang turun tanpa didahului suatu sebab. Hal ini bukan berarti Ilmu Asbabun Nuzul harus menjelaskan semua ayat-ayat Al-Qur`an. Ilmu Asbabun Nuzul merupakan perangkat untuk memahami Al-Qur`an. Makanya dalam Tujuan Studi Al-Qur`an harus dikuasai pula perangkat lain seperti cara membacanya, tafsirnya dan tak kalah penting nasakh dan mansukhnya serta perangkat-perangkat pelengkap lainnya.

Ada hal yang terlewati dengan menjadikan suatu peristiwa yang merupakan berita masa lampau sebagai Asbabun Nuzul suatu ayat. As-Suyuthi mengatakan: Ada yang menyatakan suatu peristiwa sebagai Asbabun Nuzul padahal hanyalah berita lampau dan ayat yang dimaksud tidak diturunkan pada kejadian peristiwa tersebut. Misalnya pernyataan surat Al-Fiil yang Asbabun Nuzulnya tentang kedatangan Bangsa Habsyi, padahal peristiwa tersebut merupakan berita lampau yang tidak terkait pada waktu turunnya ayat, seperti halnya kisah-kisah kaum Nuh, `Ad dan Tsamud. Sebagaimana ayat tentang sebab dijadikannya Ibrahim sebagai kekasih bukanlah sebab Nuzulnya ayat dibawah ini:
“Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”

Faidah Ilmu Asbabun Nuzul
1. Mengetahui hikmah dan rahasia diturunkannya ayat-ayat Al-Qur`an secara khusus dalam pensyaria`atan agamaNya. Memberikan manfaat baik kepada umat islam ataupun non muslim.

2. Membantu dalam pemahaman suatu ayat serta menghilangkan kerancuan penjelasan. Alwahidy berkata: Tidak mungkin mengetahui kandungan tafsir suatu ayat tanpa berdasarkan pada kisah dan penjelsan peristiwa diturunkannya. Ibnu Taimiyah pun menambahkan bahwa: Ilmu Asbabun Nuzul membantu dalam memahami suatu ayat, sebab ilmu sabab mewariskan ilmu musabab.
Misalnya ketika Urwah Ibnu Jubair mengalami kesulitan dalam memahami makna firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang beribadah Haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya"

Menurut zhahir ayat dinyatakan bahwa Sa'i antara Shafa dan Marwah adalah tidak wajib, bahkan sampai Urwah ibnu Zubair mengatakan kepada bibinya Aisyah r.a.: "Hai bibiku" sesungguhnya Allah telah berfirman: "Tidak mengapa baginya untuk melakukan sa'i antara keduanya", karena itu saya berpendapat bahwa "tidak apa-apa bagi orang yang melakukan Haji Umrah sekalipun tidak melakukan sa'i antara keduanya". Aisyah seraya menjawab: "Hai keponakanku! kata-katamu itu tidak benar. Andaikata maksudnya sebagaimana yang kau katakan niscaya Allah berfirman "tidak mengapa kalau tidak melakukan sa'i antara keduanya".

Setelah itu Aisyah menjelaskan: Bahwasanya orang-orang Jahiliyah dahulu melakukan Sa'i antara Shafa dan Marwah sedang mereka dalam Sa'inya mengunjungi dua patung yang bernama Isaar yang berada di bukit Shafa dan Na'ilah yang berada di bukit Marwah. Tatkala orang-orang masuk Islam diantara kalangan sahabat ada yang merasa berkeberatan untuk melakukan Sa'i antara keduanya karena khawatir campur-baur antara ibadah Islam dengan ibadah Jahiliyah. Dari situ turunlah ayat sebagai bantahan terhadap keberatan mereka (yang mengatakan) kalau-kalau tercela atau berdosa dan menyatakan wajib bagi mereka untuk melakukan Sa'i karena Allah semata bukan karena berhala. Itulah sebabnya Aisyah membantah pendapat Urwah berdasarkan sebab turun ayat.

3. Dapat membantu menjawab atau menyanggah adanya hasr (batasan tertentu). Misalnya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi'i tentang firman Allah SWT:

“Katakanlah! tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”

Dalam hal ini beliau mengungkapkan yang maksudnya: Bahwa orang kafir ketika mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghala1kan apa yang diharamkan Allah serta mereka terlalu berlebihan, maka turunlah ayat sebagai bantahan terhadap mereka. Dengan demikian seolah-olah Allah berfirman "Yang halal hanya yang kamu anggap haram dan yang haram itu yang kamu anggap halal".

Dalam hal ini Allah tidak bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas melainkan sekedar menjelaskan ketentuan yang haram samasekali tidak menyinggung-nyinggung yang halal.

4. Sebagai pentakhsis hukum pada keumuman lafadz bagi ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.

5. Sebagai penguat hukum dan kandungan suatu ayat, sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Al Ghazali dalam Mushtasyfa menyebutkan bahwa tidak boleh mengeluarkan sabab dalam hukum takhsis pada ijtihad.

6. Menetapkan secara tepat kepada siapa ayat tertetu turun sehingga tidak terjadi kesamaran yang bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah. Sebagaimana Marwan menduga bahwa firman Allah SWT:

Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, Apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, Padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu Dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka"

Ialah diturunkan sehubungan dengan kasus Abdurrahman ibnu Abi Bakar. Aisyah membantah bahwa anggapan tersebut adalah salah, ia menjelaskan kepada Marwan tentang sebab turunnya. Bahwasannya Marwan adalah seorang amil (Gubernur) wilayah Madinah. Muawiyah menginginkan agar Yazid menjadi khalifah setelah lengsernya. Ia menulis surat kepada Marwan tentang persoalannya. Karenanya Marwan mengumpulkan rakyat dan berpidato di hadapan mereka. Dalam pidatonya ia menyebutkan nama Yazid (memfigurkan). Dengan dalih ia menyeru untuk membaiatnya sambil berkata: "Sesungguhnya Amirul Mukminin telah diperlihatkan oleh Allah tentang pendapat yang baik dalam diri Yazid. Bila Amirul Mu'minin mengangkatnya sebagai khalifah, sungguh Abu Bakar dan Umar pun telah menjadi khalifah".

Abdurrahman menjawab: "Bukankah sistem yang demikian itu merupakan Herakliusisme?" (Maksudnya itu adalah kediktatoran seorang raja sebagaimana tindakan raja-raja Romawi). Marwan menjawab: Itu sama dengan sunah Abu Bakar dan Umar. Abdurrahman menjawab lagi "Herakliusisme". Abu Bakar dan Umar tidak mengangkat keturunan atau familinya, sedangkan Muawiyah bertindak semata-mata untuk kehormatan anaknya. Lalu Marwan berkata "Tangkaplah ia Abdurrahman". Abdurrahman masuk ke rumah Aisyah, karena itu pengejar-pengejarnya tidak dapat menangkapnya. Setelah itu Marwan mengatakan "Dialah orang yang menjadi kasus sehingga Allah menurunkan tersebut.

Dari balik tabir Aisyah menjawab "Allah tidak pernah menurunkan ayat Al-Qur'an tentang kasus seseorang tertentu di antara kita kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan berbuat jahat, andaikata aku mau menjelaskan orang yang menjadi kasus turunya ayat tesebut niscaya akan kujelaskan”

7. Mempermudah menghafal dan memahami ayat-ayat Al-qur’an. serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya. Hal ini karena kaitan sabab dengan musabab, hukum dan kejadian dan kejadian dengan orang-orang, waktu dan tempat dalam ilmu nafsi sebagai sesuatu yang menjadikan rekaman dalam otak tertanam kuat.

• Syubhat. Terhadap faidah-faidah diatas banyak yang beranggapan bahwa Ilmu Asbabun Nuzul tidak memiliki pengaruh yang besar dalam mempermudah memahami keotentikan ayat Al-Qur`an, sebab ruang lingkup bahasannya hanya berkisar pada seputar sejarah dan cerita. Banyak yang beranggapan kalau sejarah didominasi oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu. Dengan demikian, sejarah yang dihasilkan pun berunsur kepentingan politik dan doktrin normatif setempat.
 Jawab. Fakta bahwa sejarah dibuat oleh yang memenangkan sejarah tidak menjadikan para ulama tafsir hanya bergantung pada pemahaman dokrtin normatif semata. Dalam perkembangannya Ilmu Asbabun Nuzul telah dikembangkan sebagai konsep yang mendasar dalam pengalaman Ayat Al-Qur`an. Hal-hal yang berbau politik dan doktrin telah benar-benar disaring murni secara selektif dengan metode-metode apik para ulama.

Pedoman Ilmu Asbabun Nuzul
Para ulama menetapkan bahwa pedoman tunggal dalam mengetahui hakikat Asbabun Nuzul tiada lain kecuali hasil dari periwayatan shahih para sahabat yang mendengar dan menyaksikan langsung turunnya suatu ayat, mengetahui qarinah sabab musabab serta situasi dan kondisinynya serta kemudian membahasnya. Alwahidy mengatakan tidak halal meriwayatkan Asbabun Nuzul kecuali berpegang pada pedoman diatas. Az-Zarkasy juga mengatakan bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya suatu ayat adalah perkara yang dihasilkan oleh para sahabat yang mengetahui sisi kejadian dan kaitan diturunkannya ayat.

Hal ini jelas, sebab intensitas para sahabat memiliki semangat yang kuat dalam mengikuti perjalanan turunnya wahyu, selain menghapal Al-Qur`an mereka senantiasa melestarikan sunah Nabi. Sehingga bisa dimaklumi kalau para ulama menolak hasil nalar, rasio dan ijtihad atau pernyataan apapun selain dari riwayat yang shahih, meskipun hal ini tidak berlaku secara mutlak sebab tidak sedikit kenyataan riwayat-riwayatnya memiliki pandangan yang berbeda terhadap Asbabun Nuzul suatu ayat, sehingga diperlukan analisis dan ijtihad untuk melakukan Tarjih.

Adapun bila diriwayatkan dengan hadits Mursal maka periwayatannya ditolak kecuali hadist tersebut sanadnya shahih dan dikuatkan dengan hadits Mursal lainnya serta perawinya pun mufassir dari sahabat seperti Mujahid, `Ikrimah dan Sa`id bin Zubair.

Analisis bentuk Asbabun Nuzul
Terhadap beberapa riwayat yang para Ulama berbeda pendapat tentang Asbabun Nuzulnya, maka sikap mufassir adalah sebagai berikut:

1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat yang disimpulkan darinya dan bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada qarinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzulnya.

2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”. Sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Misalnya pada Riwayat Jabir dan Riwayat Ibn `Umar dalam ayat:

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”

Dalam Riwayatnya Jabir mengatakan bahwa ayat ini turun pada orang Yahudi yang mengatakan: “Barang siapa yang mendatangi isterinya dari belakang maka anaknya akan mendapat kelainan”.Adapun Ibnu `Umar meriwayatkan bahwa ayat tersebut turun pada masalah mendatangi isteri dari belakang`.

Maka Riwayat yang diambil adalah Riwayatnya Jabir yang tegas menunjukan sebab Nuzulnya. Adapun riwayat Ibnu Umar lebih menjelaskan pada hukum pengharaman mendatangi isteri dari belakang.

Adapun perbedaan terhadap riwayat-riwayat yang seluruhnya membahas sababiyah diturunkannya ayat Al-Qur`an, para ulama membaginya pada dua bagian:

1. Ta`addud al-Asbab wa an-Nazil Wahid
Apabila terdapat dua riwayat sedangkan yang turun satu ayat Al-Qur`an dan kedua riwayat tersebut masing-masing menegaskan sebagai sebab Nuzul suatu ayat. Maka kemungkinan riwayat-riwayat tersebut terdiri dari empat bentuk dengan masing-masing hukum yang berbeda:
a. Riwayat pertama shahih dan riwayat yang kedua tidak shahih. Hukumnya jelas dengan mengambil yang shahih dan mengabaikan selainnya.
b. Riwayat kedua-duanya shahih akan tetapi salah satunya murajjah. Maka hukumnya dengan mengambil yang rajih sebagai dalil. Selain salah satu dari kedua dalil itu ada yang lebih kuat ditambahkan dengan salah satu perawinya ada yang menyaksikan langsung kisahnya.
c. Riwayat kedua-duanya shahih dan kedua-duanya tidak murajjah. Hukum Ta`adud asbabnya boleh atau kedua-duanya bisa dijadikan dalil, jika dimensi waktu keduanya berdekatan. Sebab peristiwa-peristiwa yang diriwayatkan sama-sama menyebabkan suatu ayat diturunkan. Dalam hal ini ibnu Hajar berpendapat dengan membolehkan ta`adud asbab
d. Riwayat kedua-duanya shahih dan kedua-duanya tidak murajjah. Hukum ta`addud asbabnya dinyatakan bahwa ayat yang sama diturunkan lebih dari sekali atau mengalami tikrar (pengulangan), jika dimensi waktu keduanya berjauhan.
• Syubhat. Banyak kalangan yang beranggapan bahwa adanya pengulangan terhadap ayat yang diturunkan sama saja dengan menunjukan bahwa hal itu sia-sia. Sebab selama ayat telah diturunkan sebelum perkara baru maka untuk menjawab perkara baru yang sama ini cukup dengan memunculkannya kembali dari penjagaan Rasul dan hapalan para sahabat serta tidak ada kebutuhan untuk menurunkan ayat yang sama untuk kedua kalinya.
 Jawab. Ada hikmah yang tinggi dalam hal pengulangan ini. Ialah sebagai peringatan Allah terhadap hambaNya. Terdapat wasiat yang bermanfaat yang sangat dibutuhkan manusia. Az-Zarkasyi berpendapat selain sebagai pengingat kejadian sehingga tidak melupakannya ada pula keagungan tersendiri dalam hal pengulangan ayat.

2. Ta`addud Nazil wa al-Sabab Wahid
Sebaliknya, Terkadang satu perkara kejadian bisa menjadi sebab turunnya dua ayat atau beberapa ayat. Hal ini tidaklah kenapa sebab tidak menimbulkan hilangnya hikmah dan hidayah untuk hamba serta penjelasan yang haq, bahkan hal ini malah menjadikan penjelasanannya semakin kompleks dan persuatif.

Contoh dari bagian ini yaitu riwayat Hakim dan Tirmidzi dari Ummu Salamah dia berkata: Wahai Rasullullah aku belum pernah mendengar Allah menyebut para perempuan dalam ayat hijrah sekalipun. Maka turunlah ayat:
"Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan”

Kemudian Hakim juga meriwayatkan dari Ummu Salamah berkata: Bahwasannya engkau menyebut kaum laki-laki dan tidak menyebut kaum perempuan. Maka turunlah ayat:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”

Unsur Umum dan Khusus dalam Lafadz dan Sebab
Pembahasan ini lebih didalami lagi oleh para Ulama Ushul yang mempelajari dalil-dalil hukum dari segi lafadz-lafad Al-Qur`an, namun sedikit pembahasan ringkasan mengenai hal ini perlu diketahui sebagai perangkat yang harus dikuasai dalam mendalami Ilmu Asbabun Nuzul.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah pengambilan hukum itu diambil dari keumuman lafadz atau kekhususan sebab.

1. Jumhur Ulama, Mereka berpendapat bahwa penentuan hukum berdasarkan keumuman lafadz dan bukan berdasarkan kekhususan sebab. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum secara langsung mencakup semua gambaran sebab yang khusus. Para ulama telah menerima metode pengambilan dalil semacam ini, mereka mengatakan bahwa lafadz-lafadz khusus kandungan hukumnya berlaku untuk umum meski lafadznya ditujukan secara khusus pada perseorangan. Mereka juga berpendapat bahwa meskipun orang-orang berselisih tentang hal ini, tapi tidak ada yang mengatakan bahwa keumuman diturunkannya kitab dan sunah ditujukan pada orang-orang tertentu. Ketika dikatakan ayat ini khusus buat orang tertentu maka dikesempatan lain akan menjadi umum disebabkan ada unsur-unsur serupa dengan peristiwa kenapa ayat itu harus turun.
Misalnya ayat tentang dzihar, bahwasannya ketika Khaulah binti Tsa’labah mempertanyakan suatu hal kepada Nabi Saw. bahwasannya dia dikenakan Dzihar oleh suaminya Aus bin Shamit, katanya: “Wahai Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan Dzihar kepadaku” . Maka turunlah ayat:

“Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat”

Kandungan hukum ayat ini tidaklah diperuntukan untuk Aus bin Shamit saja atau seperti halnya ayat Li`an tidak khusus untuk Hilal bin Umyah saja atau ayat tentang Kalalah khusus pada Jabir bin Abdullah, kandungan hukum ayat tersebut ditetapkan untuk umum dan cara penetapannya tidak dengan Qiyas ataupun Ijtihad.
• Syubhat. Ketika para ulama telah mencurahkan segala perhatian dan usaha untuk mengkaji ilmu Asbabun Nuzul serta berhasil mengkodifikasikannya. Maka merupakan kesia-siaan jika kita tidak mengabaikan keumuman lafadz dan tidak kembali menjadikan unsur-unsur sebab khusus sebagai landasan penetapan hukum. Dan kalaulah bukan dengan kekhususan sebab buat apa para ulama memperhatikan, menjelaskan dan berinisiatif dalam pengkodifikasiannya.
 Jawab. Ilmu dalam Asbabun Nuzul memiliki manfaat dan keistimewaan-keistimewaan yang luas sehingga alasan dengan mengatakan telah menyia-nyiakan jerih payah para ulama karena telah mengabaikan kekhususan sebab merupakan anggapan yang tidak berdasar.

• Syubhat. Pentakhiran penjelasan sebuah kejadian atau ayat yang turun setelah kejadian menunjukan pentingnya suatu sebab yang khusus serta sebagai dasar utama penjelasan kandungan didalamnya. Maka dalam hal ini keumuman lafadz tidaklah menjadi dasar utama sebab bagaimana dipahami ada kaitan kalau peristiwanya mendahului dan ayatnya turun belakangan. Kalaulah kekhususan sebab tidak dijadikan dasar kenapa penjelasan atau ayat mesti diakhirkan.
 Jawab. Takhir Bayan hukumnya boleh dan Hikmahnya pun sebagai penjelas dan memberikan hikmah pada ayat yang turun . Adapun syubhat semacam itu tidaklah diterima sebab tidak relevan dengan lafadz atau ayat yang memiliki penjelsan lebih kuat.

2. Jamaah lain, mereka berpendapat bahwa penentuan hukum berdasarkan kekhususan sebab dan bukan dari segi keumuman lafadz. Hal ini supaya tujuan atau hikmah dengan adanya sebab khusus tetap ada. Adapun untuk menjadikannya umum bisa memakai Qiyas dan Ijtihad. Sehingga mereka berpendapat ayat yang dicontohkan Jumhur Ulama diatas maksudnya tetap secara khusus ditujukan pada orang tertentu, adapun keumuman hukum yang berlaku ditetapkan dengan Qiyas atau dengan riwayat lain.

Epilog
Tentunya Ilmu Asbabun Nuzul ini merupakan konsep cantik dan dinamik sebagai asas yang kukuh dalam tradisi ilmu Islam; Pada setiap masanya selalu memberi sumbangan untuk penyelesaian masalah-masalah pemahaman dan studi Al-Qur`an.

Meski sadar apa yang telah dibahas diatas masih jauh dari kesempurnaan. Tapi semoga kita senantiasa terus aktif dan bersedia pula untuk terus memberikan perhatian khusus lagi pada apa yang melingkupi dunia para pencari ilmu. Sebagai pelajar yang memilki komitmen moral dan sadar akan pentingnya ilmu demi menghidupkan dan mengabadikan agama. Dengan terus melakukan langkah-langkah kecil demi perubahan semoga dapat membantu pemecahan masalah agama dan umat khususnya. Wallahu`alamu bis-Shawab.




Referensi
 Al-Qur`an Terjemah
 Suyuthi, Imam, al-itqan fi `Ulumil Qur`an, Tawfikia Bookshop, Cairo-Egypt
 Assais, `Ali, Tafsiru Ayatil Ahkam, As-Shafa Bookshop, Cairo, 2001
 Az-Zarqany, Manahilul `Irfan fi `Ulumil Qur`an, Dar El Hadits, Cairo, 2001
 Asnawi, Imam, Nihayatus Suul fi Syarhi Minhaajul Usul, Nafqah Qith`a Ma`ahid Azhariyah, Cairo 2008
 Shihab, Quraisy, Membumikan Al-Qur`an, Mizan, Bandung 2006
 `Abdul Ghani, Abdul Fattah, Asbabun Nuzul `anis Shahabah wal Mufassirin, Darussalam, Cairo, 2007
 Al-Qathan, Manna`, Mabahits fi `Ulumil Qur`an, Al-Maarif Bookstore, Riyadh, 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar