irja

Jumat, 08 April 2011

Terjemah al-Qur'an dan Hukumnya Secara Terperinci


Oleh: M. Irja Nasrulloh Majid(1)

A. Mukadimah.

Segala puji hanya bagi Allah Swt. yang telah menurunkan al-Qur'an kepada hamba-Nya. Shalawat serta salam selalu terlimpahkan untuk lelaki pilihan, Muhamad Saw. Semoga kita selalu diberi petunjuk untuk bisa meneladani segala gerak-geriknya. Allâhumma amin.
Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi penulis, ketika diberi kesempatan untuk menyajikan karya ilmiah (walaupun penulis sendiri masih ragu, apakah tulisan ini sudah memenuhi standar ilmiah atau belum) di depan teman-teman semuanya. Jazâkumullôhu khoiro atas kepercayaannya.
Jika kita melihat atau mendengar sebuah tema yang berhubungan dengan terjemah al-Qur'an, mungkin sebagian kita akan menganggap bahwa tema tersebut telah kedaluwarsa. Apakah benar, bahwa tema tersebut sudah basi dan sesederhana yang kita anggap? Kiranya tidak seperti itu. Terjemah al-Qur'an telah menjadi polemik di kalangan sebagian ulama. Realita pun menunjukkan bahwa terjemah al-Qur'an bisa menjadi ladang subur bagi pudarnya pamor al-Qur'an itu sendiri.
Goresan-goresan tinta di atas kertas ini, mencoba menguak hakikat terjemah al-Qur'an secara detail, insyaAllah.

B. Pengertian Terjemah

1. Pengertian Terjemah Secara Etimologi.
Secara etimologi, menunjukkan satu makna dari makna-makna berikut ini,(2)
a. Sampainya perkataan kepada orang yang belum pernah menerima (perkataan tersebut).
b. Penafsiran suatu perkataan atau kalâm menggunakan bahasa yang sama dengan kalâm yang ditafsirkan tersebut.
c. Penafsiran suatu perkataan atau kalâm menggunakan bahasa yang berbeda dengan kalam yang ditafsirkan tersebut.
d. Memindahkan suatu perkataan ke dalam bahasa yang lain.
2. Pengertian Terjemah Secara Istilah.
Secara istilah bermakna mengungkapkan perkataan atau kalimat dengan menggunakan bahasa lain.

3. Pengertian Terjemah Secara Adat (al-'urf) dan Pembagiannya.
Adat di sini adalah adat yang diketahui secara umum, bukan adat suatu sekte tertentu saja. Secara adat, terjemah bermakna, memindahkan suatu perkataan ke dalam bahasa lain. Adapun maksud daripada kata bergaris bawah adalah men-ta'bir makna suatu perkataan ke dalam bahasa yang lainnya, dengan tidak merubah semua kandungan makna dan maksud awal. Jadi, makna terjemah menurut adat adalah men-ta'bir makna suatu perkataan ke dalam bahasa yang lainnya, dengan tidak merubah semua kandungan makna dan maksud awal.
Penerjemahan menurut pengertian di atas dibagi menjadi dua, yaitu penerjemahan harfiyah dan tafsiriyah.
1. Penerjemahan harfiyah adalah penerjemahan yang diikuti dengan penjagaan nadzm dan tartib-nya. Beberapa orang menamakan style penerjemahan ini dengan terjemah lafazdiyyah, yaitu menerjemahkan kata perkata ke dalam bahasa yang lain.
2. Penerjemahan tafsiriyah adalah penerjemahan yang mengabaikan nadzm dan urutan-urutannya, akan tetapi cenderung kepada makna dan maksudnya secara sempurna. Oleh sebab itu, sebagian orang menamakan model penerjemahan ini dengan terjemah maknawiyyah.


> Setelah kita mengetahui pembagian model penerjemahan di atas, kita juga perlu mengetahui basis pengetahuan yang harus dimiliki seorang penerjemah (baik dengan metode harfiyyah atau tafsiriyah), yaitu:
1. Penguasaan dua bahasa secara sempurna, mencakup bahasa asli dan bahasa terjemahan(bahasa asing).
2. Penguasaan uslub dan spesifikasi kedua bahasa tersebut.
3. Terjemahan harus memenuhi atau mencakup makna asli dan maksudnya secara baik.
4. Formula terjemahan harus berbeda dari aslinya, sekiranya tidak dianggap bahwa terjemahan itu merupakan cabang dari aslinya.(3)

> Hal-hal yang harus terpenuhi dalam penerjemahan secara harfiyyah.
*). Adanya kosakata yang sama dengan kosakata asli untuk membentuk kosakata baru(dalam bahasa lain), yang mampu menguraikan kosakata asli tersebut.
*). Kesamaan dua bahasa tersebut dalam masalah dhomir mustatir,(4) dan penghubung kosakata untuk pembentukan formulasi baru. Kesamaan penghubung tersebut, bisa sama persis atau ihtimal saja. Syarat ini sebagai piranti untuk bisa menghasilkan terjemahan yang mampu menguraikan kosakata aslinya secara pas. Syarat ini lebih sulit dibandingkan syarat pada poin pertama. Jika kita analisis lebih jauh, maka terjemah harfiyah ini jauh dari kemungkinan untuk dipraktikkan. Sebagian orang mengatakan bahwa terjemah harfiyah mustahil dilakukan, dan sebagian lagi berpendapat bahwa hal tersebut mungkin dilakukan, namun hanya menyangkut beberapa perkataan (kalâm) saja.(5) Adapun menurut Dr. Husain al-Dzahabî bahwa terjemah harfiyah yang mungkin dilakukan itu adalah terjemah harfiyah bi ghoiri al-Mitsl yaitu disesuaikan dengan intelektual penerjemah (walaupun tidak memenuhi dua syarat di atas). Bagaimanapun juga, terjemah harfiyah bi ghoiri al-Mitsl memiliki resiko yang besar bagi eksistensi kemurnian makna dan sastra al-Qur'an.(6)

C. Perbedaan Terjemah (baik harfiyah atau tafsiriyyah) dan Tafsir.

Di bawah ini, beberapa perbedaan antara terjemah dan tafsir:
1. Formulasi terjemah adalah formulasi yang independen dari aslinya. Adapun tafsir, ia tidak bisa lepas dari aslinya. Contohnya, dalam penafsiran sebuah ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan mufrad dan murakkab. Ketika menafsirkan hal-hal tersebut, maka akan diterangkan sedemikian detailnya, seperti hubungan mubtada' dan khabar-nya; kemudian beralih ke hal lain, sperti mufrad atau jumlah-nya. Semua hal ini akan terus bergulir, sampai poin akhir penafsiran. Jadi, tafsir akan selalu berkorelasi dengan asli teks.
2. Terjemah tidak boleh berpaling dari aslinya, akan tetapi harus benar-benar sesuai dan mencakup format aslinya. Bahkan seandainya ada kesalahan pada aslinya, maka terjemahnya pun harus mencakup kesalahan tersebut. Adapun tafsir, tidak demikian. Tafsir akan menjelaskan dan menjabarkan kesalahan tersebut. Penjelasan dan interpretasi setiap penafsir menggunakan strategi yang berbeda-beda, sesuai dengan kadar objek yang dijelaskan tersebut. Hal ini pula yang akan menjadi jawaban akan sebuah pertanyaan "mengapa tafsir al-Qur'an mengandung multi interpretasi dan format yang berbeda?" Perbedaan tersebut, seperti tafsir yang condong ke ilmu-ilmu bahasa, akidah, fikih dan ushul-nya, asbâb al-nuzûl, al-nâsikh wa-al mansûkh, humaniora, dan lainnya.
3. Terjemah, jika dilihat dengan kaca mata adat (yang telah diterangkan di atas), maka harus mencakup segala makna dan maksud aslinya. Adapun tafsir, tidak demikian adanya. Tafsir akan mempriorotaskan penjelasan, baik secara global, ataupun terperinci. Volume penjelasannya pun akan berbeda-beda, sesuai penafsir dan objeknya. Selain itu, terjemah tidak akan menuntut penjelasan secara detail, akan tetapi cukup dengan pencakupan makna asli.
4. Dari sudut pandang adat , adanya klaim bahwa terjemah telah mencakup seluruh makna dan maksud yang dialihkan oleh penerjemah dengan baik. Apa yang telah disajikan oleh penerjemah adalah persis seperti yang disajikan maksud sâhib al-ashli. Hal ini akan berbeda dengan tafsir. Seorang penafsir akan tenang dan mengklaim dirinya telah mampu menyuguhkan maksud atau makna objek tafsirannya, jika telah menggenggam berbagai dalil yang mendukung. Namun ketika ia belum mampu melakukan hal tersebut, ia akan mencoba menjelaskan melalui berbagai sudut pandang. Ia juga akan menawarkan segala kemungkinan-kemungkinan yang menjadi jalan tengah bagi problem of interpretation ini melalui jalur tarjih dan sebagainya. Bahkan jika ia telah sampai titik klimaks dan benar-benar tak mampu, ia akan menuliskan Rabbu al-kalam 'alamu bi murâdihi , Allah (pemilik kalâm) lebih tahu akan maksudnya.(7)

D. Perbedaaan Khusus, Antara Tafsir dan Terjemah Tafsiriyyah.

1. Perbedaan bahasa, yaitu bahwa tafsir tetap mempertahankan bahasa asli dan terjemah menggunakan bahasa asing.
2. Bagi seorang penafsir, menjadi sebuah keharusan untuk menjelaskan beberapa hal yang membutuhkan penjelasan lebih banyak atau memperbaiki kesalahan (jika ada) yang terdapat pada aslinya. Adapun seorang penerjemah, ia akan tetap mempertahankan segalanya, seperti sedia kala. Menurut Dr. Husain al-Dhahabî, bahwa tersebut disebabkan minimnya pengetahuan yang dimiliki seorang penerjemah—dari segi nadzm dan dilalah-nya.(8)

E. Terjemah dan Tafsir Ijmali Dengan Bahasa Asing.

Tafsir dengan bahasa asing, mirip dengan terjemah tafsiriyah. Dikatakan mirip, karena tafsir ijmali ini melakukan seleksi makna dari makna-makna yang memungkinkan. Satu makna akan diambil disertai eliminasi makna-makna lainnya. Pada hakikatnya, keduanya tetap memiliki perbedaan yang tertera pada empat poin di atas. Sekali lagi, bahwa peran penafsir adalah menjelaskan atau membenarkan beberapa hal yang keluar dari area kesahihan. Penjelasan penafsir inilah yang akan menjadi tambahan bagi madlul al-ashli. Selain itu, tafsir akan selalu koheren dengan aslinya. Contoh: "Makna ayat yang ini, surat ini, yaitu adalah…." Kalaupun ada seorang penafsir yang meninggalkan koherensi dengan aslinya dalam praktik interpretasinya, maka hasilnya tidak akan disebut dengan tafsir, tidak disebut pula dengan terjemah. Kalaupun disebut tafsir, ia tidak menaati norma-norma dalam tafsir. Seandainya pun disebut terjemah, ia juga tidak menyuratkan makna dan maksud asli.(9)

Note:
-Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara terjemah harfiyah dan tafsiriyyah. Keduanya sama-sama mengekspresikan interpretasi dengan bahasa asing, disertai dengan cakupan makna dan maksud asli.
- Sejatinya, tafsir yang statis dengan bahasa aslinya, sama dengan tafsir dalam bahasa lain. Perbedaan hanya terletak pada motif dan kulit luar lafaznya. Maknanya keduanya tetap tidak akan berpaut, satu dengan yang lainnya.

F. Hukum Terjemah al-Qur'an.

1. Terjemah Al-Qur'an, Dimaknai Dengan Penyampaian Lafaznya.
Poin ini sesuai dengan pengertian terjemah secara bahasa adalah penyampaian lafaz-lafaznya. Adapun hukumnya adalah boleh secara syara'. Hadits nabi telah melegitimasi kebolehan tersebut,
والنبى صلى الله عليه وسلم يقول: "بلغوا عني ولو آية,وحدثوا عن بنى إسرائيل و لاحرج, ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار" (رواه البخاري و الترميذي و أحمد)
يقول صلى الله عليه وسلم: "خيركم من تعلم القرآن و علمه" (رواه الشيخان) و


2. Terjemah Al-Qur'an, Dimaknai Dengan Tafsirannya Dalam Bahasa Arab.
Masih bersandar pada bahasa juga, poin kedua ini difokuskan pada penerjemahan al-Qur'an dengan bahasa yang sama (bahasa Arab). Hukumnya sama seperti di atas, yaitu boleh. Jika Anda masih ragu, silakan perhatikan ayat al-Qur'an berikut yang telah melegalkan hukum terjemah versi kedua ini.
﴿وأنزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ﴾ (النحل: 44)

3. Terjemah Al-Qur'an, Dimaknai Dengan Tafsirannya Dengan Bahasa Asing.
Tentunya hal ini, untuk menyikapi kaum muslimin yang kurang lihai dalam berbahasa Arab. Hukumnya dikiaskan dengan orang muslim Arab yang kurang fasih dengan bahasanya sendiri. Perbedaan bahasa, tidak akan mengisolasi kesamaan derajat keduanya. Kualitas kedua macam tafsir yang berbeda bahasa ini, sepadan dengan makna tafsir itu sendiri—penjelasan maksud Allah Swt, sesuai kodrati manusia—. Semuanya dikembalikan ke intelektual penafsir dalam menyingkap makna-makna yang terkandung di dalam al-Qur'an, walaupun sekadar ihtimal saja; tanpa terlepas dari pemenuhan syarat-syarat penafsiran dan penerjemahan.

4. Terjemah al-Qur'an, Dimaknai Dengan Men-convert ke Bahasa Lain.
Yaitu men-convert atau megubah bahasa al-Qur'an yang berbahasa Arab ke bahasa asing. Berarti pula, ta'bir dari makna lafaznya yang berbahasa Arab plus maksudnya, diganti dengan lafaz berbahasa asing; dengan tetap mempertahankan seluruh makna dan maksudnya tersebut. Ditinjau dari aspek hukum, maka terjemah ini mustahil secara kebiasaan dan syara'. Deskripsinya adalah:

(I). Sudut Pandang Kebiasaan.

a). Terjemah dengan versi ini bisa dipastikan mustahil dilakukan, dan segala yang bisa dipastikan mustahil berarti mustahil terjadi. Kenapa mustahil? Karena untuk mempertahankan seluruh makna dan maksudnya secara persis, merupakan hal yang mustahil, mengingat dua hal berikut:
1. Makna al-Qur'an terdiri makna al-awwaliyyah (ashliyyah) dan al-tsânawiyyah(al-tâbi'ah).
-Adapun makna al-awwaliyyah yaitu kalâm balîgh. Hal ini bermaksud bahwa dengan kalâm ini tidak akan berubah secara makna, walaupun diungkapkan dengan berbagai sighah serta bahasa lain. Contoh: hubungan mahkum bihi dan mahkum 'alaih.
-Makna tsânawiyyah yaitu kalâm tambahan daripada kalâm al-awwaliyyah.

2. Maksud al-Qur'an terdiri dari tiga hal, yaitu sebagai petunjuk, advokasi (ta'yîd) bagi nabi dan konsekuensi ibadah bagi yang membacanya.

b). Terjemah versi keempat ini juga menimbulkan konsekuensi mitsl bagi al-Qur'an, secara seratus persen. Tak ada sesuatu pun yang menyamai al-Qur'an, baik dari segi i'jaz, tantangan (tahaddy), dan lain sebagainya. Mustahil ada sesuatu yang menyamai al-Qur'an. Jadi penerjemahan versi ini mustahil terjadi. Mampukah lafaz-lafaz al-Qur'an terjemahan menantang orang-orang Arab waktu itu dari segi sastra?! Lafaz versi terjemahan akan mengurangi multidimensi i'jaz al-Qur'an.
Dengan mempertimbangkan segala hal tersebut di atas, maka versi terjemah poin empat ini, yang dituntut untuk mempertahankan makna dan maksud secara sempurna seperti aslinya, akan mustahil dilakukan. Wallahu ta'âla 'alam.

(I). Sudut Pandang Syara'.

a). Segala sesuatu yang mustahil dicapai secara kebiasaan, diharamkan oleh Islam. Hal ini baik berhubungan dengan terjemah atau bukan. Urgensi keharaman ini bercokol pada 'abats (tidak berguna/sia-sia), menyia-nyiakan waktu, dan usaha yang tak ada faedahnya. Allah Swt. berfirman,
﴾ ﴿و لا تلقوا بأيديكم إلى التهلكةdan Rasulullah Saw. Bersabda, (10)"لا ضرر ولا ضرار" ,hadits ini diriwayatkan al-Hakim di al-Mustadrak, dan dia berkata: "Sahih dengan syarat Muslim." Berdasarkan hadits tersebut, bahwa orang yang meminta atau mengharapkan sesuatu hal yang mustahil terjadi adalah orang yang lalai dan bodoh dengan sunnatullâh dan hukum kausalitas di semesta ini. Dia masih saja ingin menggapai terjemahan dengan versi yang tak mungkin terjadi itu. Al-Qur'an sendiri telah memperingatkan bahwa tidak mungkin bagi jin dan manusia mendatangkan yang serupa dengan al-Qur'an, walaupun mereka bersekutu dan saling membantu.
b). Usaha ini merupakan, sikap permusuhan untuk mendatangkan yang serupa dengan al-Qur'an dan menandinginya. Na'ûdzubillah min dzâlik…
Allah Swt. berfirman:
"Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini(11) atau gantilah dia."(12) Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya Aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)".Katakanlah: "Jikalau Allah menghendaki, niscaya Aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu". Sesungguhnya Aku Telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya.(13) Maka apakah kamu tidak memikirkannya?" . (Q.S. Yunus: 15-16).
c). Mengusahakan hal ini, merupakan support bagi manusia untuk berpaling dari al-Qur'an, dikarenakan telah mengklaim akan kesahihan terjemah yang telah mampu mewakili al-Qur'an yang berbahasa Arab. Sesuai perkembangan zaman, maka akan lenyaplah kata "terjemah" dan lambat laun akan berevolusi menjadi kata "al-Qur'an" saja. Orang-orang akan mengatakan, "Ini lho, al-Qur'an Inggris!" atau "Ini lho al-Qur'an Perancis!" serta tidak lagi mengatakan "Ini lho, al-Qur'an terjemahan Inggris!" Orang-orang pun akan menjadikan terjemahan itu sebagai al-Qur'an yang sakral secara mutlak.
d). Jika orang-orang sudah merujuk pada terjemah, serta tidak lagi membutuhkan al-Qur'an yang asli berbahasa Arab, maka al-Qur'an yang berbahasa Arab akan hilang dengan sendirinya; seperti hilangnya Taurat dan Injil(bible) yang berbahasa Ibrani. Melakukan hal-hal yang akan memicu terjadi hal-hal tragis tersebut, merupakan suatu keharaman.
E). Telah menjadi ijmâ al-ummah, bahwa larangan meriwatkan al-Qur'an bi al-ma'na. Kita telah tahu, bahwa terjemah secara 'urf yang kita bahas ini, sama dengan meriwayatkan al-Qur'an secara makna. Tidak ada perbedaan dengan aslinya, baik dari sisi makna dan maksudnya. Perbedaannya terletak penampakan luar lafaznya saja. Poinnya, bahwa periwayatan al-Qur'an bi al-ma'na menggunakan original language(Arab). Adapun terjemah menggunakan bahasa asing. Secara analogi, jika riwayat al-Qur'an bi al-ma'na dengan bahasa Arab dilarang secara ijma', maka periwayatan al-Qur'an bi al-ma'na dalam bahasa asing pun terlarang. Bahkan, pelarangan akan periwayatan al-Qur'an bi al-ma'na dalam bahasa asing akan lebih intens, mengingat status kebahasaan yang diferensial. (14)

G. Hukum Membaca Terjemah dan Shalat Dengannya.

Berikut ini beberapa pendapat, mengenain hukum membaca terjemah dalam shalat:
1. Madzhab al-Syâfi'iyyah

#Dalam al-majmu' (hal. 379, vol. 3) disebutkan bahwa tidak boleh membaca al-Qur'an, kecuali dengan bahasa Arab. Ketidakbolehan ini mencakup semua umat Islam, tak pandang ras, sosiokultural, serta batas wilayah teritorial. Bahkan sampai orang yang tak berkompeten dalam bahasa Arab pun diharuskan membaca al-Qur'an dengan bahasa Arab. Hal ini juga berlaku di dalam shalat. Siapa saja yang shalat dengan bahasa selain bahasa Arab, maka tidak akan sah shalatnya. Jumhur yang terdiri dari Imam Malik, Imam Ahmad, dan Abu Dawud mengamini hal tersebut. Hal ini jelas-jelas kontras dengan beberapa sekte yang melegalkan shalat dengan bilingual, seperti yang menggaung di Indonesia beberapa waktu lalu.(15)

#Al-Zarkasyi di dalam al-bahru al-muhîth berkata : "Tidak boleh menerjemahkan al-Qur'an dengan bahasa fârisiyyah (Iran sekarang) atau lainnya…dst"

#Perkataan di dalam hasyiyah tarsyîh al-mustafîdîn (Hal.52. Vol.1), yang berbunyi "Siapa saja yang bodoh akan bacaan al-fâtihah, maka tetap tidak boleh menerjemahkannya, karena Allah Swt. berfirman ﴿إنا أنزلناه قرآنا عربيا﴾ , dan bahasa asing tidak seperti itu, dan untuk beribadah dengan bacaan al-Qur'an (yang berbahasa Arab)."

#Di al-itqân, milik Suyuti diungkapkan, "Tidak boleh membaca al-Qur'an dengan maknanya, karena Jibril As. menyampaikannya dengan lafaz, bukan makna."

2. Madzhab Al-Mâlikiyyah.

#Di dalam hâsyiyah 'alâ syarhi al-dardîr lil mâlikiyyah (kalau tidak salah menerjemahkannya), (hal. 232-236, Vol.1), dinyatakan, " Tidak boleh membaca al-Qur'an selain dengan bahasa Arab, bahkan hal itu juga tidak diperbolehkan dalam takbir shalat, tidak boleh juga dengan sinonimnya dalam bahasa Arab…dst."

#Di dalam mudawwanah (hal. 62,Vol. 1), juga disebutkan hal senada yang mengisyaratkan akan larangan membaca al-Qur'an dengan bahasa asing dalam shalat.

3. Madzhab Al-Hanâbilah.

#Di dalam al-Mughnî (hal. 527, Vol. 1),tersurat: "Tidak boleh membaca al-Qur'an dengan bahasa asing (selain Arab). Tidak boleh juga mengganti lafaz Arab, baik dia mampu berbahasa Arab dengan baik atau tidak. Kemudian berkata: "Jika tidak mampu membaca bahasa Arab dengan baik, maka kewajiban baginya untuk belajar. Maka jika tidak membacanya sesuai kemampuan, maka shalatnya tidak sah."

#Ibnu Hazm al-Hambali berkata di dalam kitabnya al-muhallâ(hal.254, Vol. 3),"Barang siapa membaca ummu al-Qur'an atau juz darinya, atau bagian dari al-Qur'an yang telah diterjemahkan dengan bahasa asing, atau dengan lafaz Arab yang tidak seperti tertera di dalam al-Qur'an, secara sengaja; atau mendahulukan kata-kata (dalam ayat) atau mengakhirkannya secara sengaja, maka batal shalatnya, serta dia merupakan orang yang fasik, karena Allah Swt. berfirman ﴿ قرآنا عربيا﴾,
dan selainnya berarti bukan bahasa Arab, dan bukan al-Qur'an…Allah Swt. mencela siapa saja yang melakukan hal tersebut, Dia berfirman
يحرفون الكلم عن موا ضعه﴾ ﴿ . Barang siapa yang tidak mampu membaca al-Qur'an dengan bahasa Arab, maka berzikirlah kepada Allah dengan bahasanya. Allah Swt. berfirman ﴿لا يكلف الله نفسا إلا وسعها﴾. Dilarang baginya membaca ummu al-Qur'an dan apapun dari al-Qur'an yang telah diterjemahkan. Walaupun ummu al-Qur'an atau al-fâtihah wajib dibaca, namun ia tidak dituntut untuk membacanya, disebabkan ketidakmampuannya. Jika Ia membacanya dengan terjemahan, maka justru akan iftira' (membuat-buat/kebohongan) terhadap Allah Swt.

5. Madzhab Al-Hanafiyyah.

# Terdapat perbedaan di antara literatur-literatur hanafiyyah. Bersandar pada seorang ulama besar bermadzhab Hanafi, beliau mengatakan, "Imam-imam sepakat bahwa tidak boleh membaca al-Qur'an dengan bahasa asing di luar shalat, dan melarang keras siapa saja yang melakukannya, karena bacaan tersebut merupakan penyelewengan di dalam pembacaan al-Qur'an yang menghilangkan i'jaz-nya, bahkan pasti akan menjadi lemah (i'jaz al-Qur'an tersebut). Adapun bacaan di dalam shalat, diharamkan secara ijma' berdasarkan keterangan di atas. Yang sekarang menjadi problematik adalah bagaimana jika seseorang diwajibkan shalat, namun hanya mampu menggunakan bahasa selain Arab; apakah shalatnya sah atau batal? Hanafiah mengatakan bahwa Imam hanafi pernah mengatakan, "Jika ada seseorang yang shalat dengan membaca bacaan selain bahasa Arab, dengan kemampuannya itu, maka cukuplah dengannya (sah shalatnya). Setelah itu, Imam Hanafi ruju' atau merevisi pendapatnya tersebut. Beliau mengatakan, "Selama seseorang mampu dengan bahasa Arab, maka diwajibkan membaca dengan nadzm Arab; dan jika membaca dengan bahasa selainnya, maka rusaklah shalatnya, disebabkan shalatnya tidak mencakup bacaan bahasa Arab, padahal dia mampu, dan hal tersebut merupakan jenis perkataan manusia dan bukanlah bacaan al-Qur'an."
Seperti kita ketahui, jika seorang mujtahid telah merevisi pendapatnya, maka kita tidak boleh merujuk pada pendapat yang terdahulu. Adapun orang yang sama sekali tidak mampu membaca al-Qur'an dengan bahasa Arab, maka dia dihukumi ummi, yang tidak ada kewajiban membaca. Namun ketika diwajibkan kepadanya, kemudian dia menyelisihi dan membaca al-Qur'an dengan terjemahannya, maka akan kita temukan dua konklusi penting. Pertama, jika yang dibacanya tersebut berhubungan denga qisshoh, amr, atau nahyi, maka shalatnya rusak. Kedua, jika yang dibacanya tersebut dalam tataran zikir, tanzih, maka shalatnya sah. Hal ini disebabkan akan eksistensi zikir yang tidak merusak shalat. Hal ini bukan berarti bahwa membaca al-Qur'an melalui terjemahannya diperbolehkan. Membaca terjemah al-Qur'an, merupakan pelarangan syariat di dalam berbagai keadaan.(16)

H. Mauqif Ulama-ulama Al-Azhar Terhadap Terjemah Al-Qur'an.

Pihak al-Azhar, sudah lama membahas tema yang berhubungan terjemah al-Qur'an ini. Setelah melalui proses panjang melalui diskusi serta tahapan deep thingking, akhirnya menetapkan tafsir terjemah al-Qur'an dan membuatnya, dengan infrastruktur dari lajnah tafsir. Tentunya hal ini, di bawah lisensi ulama-ulama yang berkompeten. Singkatnya, mereka juga menetapkan kaidah-kaidah penafsiran, sebagai berikut:

1. Tafsir harus terhindar dari istilah-istilah dan pembahasan ilmiah (populer), kecuali jika mengharuskan hal tersebut.
2. Dilarang me-review teori-teori ilmiah (popoler). Contoh: Ketika membahas tentang tafsir 'ilmi pada kata الرعد (halilintar) dan البرق (kilat), cukup menafsirkan seperti apa yang dikehendaki lazaf, tak berlu mengutip pendapat saintis modern.
3. Jika ingin memperluas tema pembahasan, maka pembahasan tersebut masuk pada bagian footnote.
4. Lajnah tafsir hanya konsentrasi pada hal-hal yang ditunjukkan ayat, dan menghempaskan segala ekstrimisme madzhab. Mereka juga tidak ekstrim dalam mentakwil ayat-ayat mukjizat dan perkara akhirat.
5. Menafsirkan al-Qur'an dengan qiro'ah Hafs,(17) serta tidak dengan qiro'ah lain, kecuali jika memang benar-benar membutuhkannya.
6. Tidak ada takalluf di dalam mengkoherensikan ayat-ayat dan suratnya.
7. Menyebutkan asbab al-nuzûl yang sahih, sebagai perantara umtuk memahami ayat.
8. Menyebutkan ayat seutuhnya atau ayat-ayat yang satu tema, kemudian menjabarkan setiap makna kalimat secara detail, kemudian menafsirkan makna suatu ayat atau ayat-ayat semuanya secara sistematis dengan ta'bir yang lugas dan jelas. Kemudian mentransfer dan menghubungkan asbab al-nuzûl dengan ayat-ayat yang sesuai.
9. Tidak berpindah pada naskhah, kecuali jika tidak ada solusi bagi penyatuan ayat-ayatnya.
10. Menuliskan di awal setiap surat, makiyyah atau madaniyyah (sesuai dengan penurunannya). Juga, menjelaskan campuran keduanya. Contoh: Surat ini makiyyah, namun di ayat sekian adalah madaniyyah.
11. Memberikan prolog tafsir, berhubungan dengan pengertian al-Qur'an dan penjelasan-penjelasan mengenai kandungan al-Qur'an, yang terdiri dari dakwah, tasyri', cerita (qasas), dan lainnya.(18)

I. Sekilas Tentang Orieantalis dan Terjemah Al-Qur'an.

Baru saja kita menguak ke-ghumud-an terjemah al-Qur'an. Kali ini kita akan mencoba menyajikan sekilas peran orieantalis dalam penerjemahan al-Qur'an.
Motif para orientalis dalam proyek penerjamahan al-Qur'an bermacam-macam. Secara umum, mereka mencoba menginjeksikan virus ganas di tubuh umat Islam. Ditinjau dari segi kualitas pemikiran, mereka memang berotak brilian. Secara logika, mereka mengedepankan postulat-postulat yang terbebas dari apriori belaka. Secara referensi, mereka menguasai literatur-literatur keislaman, mendekati sempurna. Jadi virus-virus itu akan menjalar ke pembuluh-pembuluh darah umat Islam secara perlahan dan berkelanjutan. Alhasil, kehancuran pun perlahan mengiringi langkah umat Islam. Allâhu Musta'ân…
Proyek orientalis untuk menerjemahkan al-Qur'an ke bahasa latin (pertama kalinya al-Qur'an diterjemahkan ke dalam bahasa ini), dimulai tahun 1141 M sampai tahun 1143 M. Hasil terjemahan ini benar-benar kacau dan tidak sesuai dengan makna asli. Hal ini disebabkan adanya penyimpangan, pembuangan, dan pengubahan terhadap al-Qur'an. Terjemahan ini juga dibubuhi dengan berbagai kritikan terhadap ayat-ayat al-Qur'an, mengubah hukumnya, yang pada akhirnya menjadikannya justru menyimpang dari terjemah harfiyyah atau maknawiyyah al-Qur'an. Tujuan penerjemahan ini, bukan untuk memberikan maklumat al-Qur'an kepada orang-orang Kristen, akan tetapi justru menyuguhkannya sedemikian rupa, supaya mereka menyangkal dan mengonter al-Qur'an yang agung itu. (19)
Menurut literatur orieantalis, bahwa al-Qur'an telah diterjemahkan ke bahasa suryaniyyah, pada masa Hajaj bin yusuf, pada masa khilafah Abdul Malik bin Marwan. Menurut Monteil, orieantalis Perancis, bahwa filosof Yunani yang hidup pada abad ketiga hijriyah, telah men-counter al-Qur'an ke bahasa Yunani, yang di dalamnya terhimpun terjemah, kritik, dan konter kepada penerjemah-penerjemah sebelumnya.
Adapun terjemah ke dalam bahasa Persia, Turki, India, dilakukan ketika ekspansi Islam. Sampai saat ini al-Qur'an telah diterjemahkan ke dalam 140 bahasa asing.(20)

J. Kesimpulan.

Akhirnya, kita sampai di ujung pembahasan tema terjemah al-Qur'an pada kesempatan kali ini. Kesimpulan dari semua hal yang tercantum di atas adalah bahwa hukum terjemah masih menjadi ikhtilaf di kalangan para ulama. Ikhtilaf itu boleh jadi ikhtilaf tanawwu', yang masih bisa bertemu pada sebuah esensi. Tidak layak jika selalu menjadikan hal ini, sebagai ajang berbantah-bantahan.
Terjemah al-Qur'an, baik harfiyyah atau tafsiriyyah, baik dengan bahasa Arab atau bahasa asing; dan tafsir al-Qur'an dengan bahasa asing sama kedudukannya dengan terjemah tafsir dengan bahasa Arab. Adapun terjemah al-Qur'an bermakna 'urfî, harus mencakup semua makna dan maksud aslinya, baik itu secara harfiyyah atau tafsiriyyah. Perbedaan keduanya hanya terletak pada syakl lafaznya saja, dengan tetap menjaga tartîb atau urutan-urutannya. Adapun makna terjemah al-Qur'an musytarak al-lafdzi yang berjumlah empat, sebagian disepakati kebolehannya, sedangkan sebagian lagi dilarang. Terjemah yang diperbolehkan adalah terjemah yang bermakna menyampaikan lafaznya serta terjemah yang bermakna penafsirannya dengan bahasa Arab. Dua terakhir ini adalah terjemah yang terlarang, yaitu terjemah yang bermakna, mengubahnya ke bahasa asing, dengan tetap mempertahankan eksistensi asli makna dan maksudnya. Terjemah yang satu ini terlarang, tapi masih ada sebagian yang memperbolehkan, yaitu terjemah bermakna tafsir al-Qur'an dengan bahasa asing dengan tetap memenuhi syarat-syarat penafsiran dan terjemahan yang sah.
Demikian kiranya yang dapat penulis paparkan untuk teman-teman semuanya. Terima kasih atas segala perhatian. Mohon maaf atas segala kesalahan. Kritik dan saran konstruktif tetap selalu diharapkan. Wasallâhu 'alâ nabiyyinâ muhammadin wa 'alâ âlihî wa shahbihi ajma'în.Wallâhu 'alam bi al-shawâb…


K. Referensi.

1. Al-Zarqânî, As-Syaikh Muhamad Abdul 'Adzîm, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, ditahkik oleh Ahman bin Ali, vol. II, Darul Hadits, Kairo, 2001.
2. Mahmud, Dr. Muhamad Muhyiddin Ahmad, Qowaid al-Lughah al-'Arabiyyah, Maktabah al-Adab, Kairo, 2008.
3. Al-Dzahabî, Dr. Husain, Tafsir wa al-Mufassirun,, vol. I, Darul Hadits, Kairo, 2005.
4. Al-Sabâlik, Ahmad bin Mansur, Al-Burhan 'Alâ salâmatil qur'an,Ma'had 'Ulumul qur'an wa al, tanpa kota, cet. I, 2006.
5. Al-Mi'sharawy, Ustaz Dr. Ahmafd 'Isa, Al-Kamil al-Mufashal fi al-qira'ati al-arba'ata 'asyr,Dar al-Imam al-Syathibi, Kairo, 2009.
6. Mahmud, Dr. Muhamad Muhyiddin Ahmad, Qowaid al-Lughah al-'Arabiyyah , Maktabah al-Adab, Kairo, cet. I, 2008.


Keterangan Catatan Kaki:

(1) Penikmat Tafsir, santri al-Azhar Kairo, Fakultas Ushuluddin, Tingkat IV, Spesialisasi tafsir.
(2) As-Syaikh Muhamad Abdul 'Adzîm al-Zarqânî, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, ditahkik oleh Ahman bin Ali, vol. II, Darul Hadits, Kairo, 2001, hal. 93
(3)Harus mustaqillah atau independen dari aslinya. Jadi, hasil terjemahan itu sudah mampu mewakili aslinya(hal yang diterjemahkan) secara baik, tak memerlukan aslinya lagi
(4)Dhomir dibagi menjadi dua, bariz dan mustatir. Adapun mustatir adalah dhomir yang tidak tersurat di dalam lafaz, akan tetapi hanya tersirat. Contoh: فهم (lihat Qowaid al-Lughah al-'Arabiyyah, Dr. Muhamad Muhyiddin Ahmad Mahmud, Maktabah al-Adab, Kairo, 2008,cet. I, hal 72)
(5)Ibid., hal 96-97
(6)Dr. Husain al-Dzahabî, Tafsir wa al-Mufassirun,, vol. I, Darul Hadits, Kairo, 2005, hal. 27 (dengan sedikit penyesuaian dari penulis)
(7)As-Syaikh Muhamad Abdul 'Adzîm al-Zarqânî, op. cit., hal. 97-99
(8)Dr. Husain al-Dzahabî, op. cit., hal. 29

(9)As-Syaikh Muhamad Abdul 'Adzîm al-Zarqânî, op. cit., hal. 100
(10)Derajatnya hasan: Diriwayatkan Ibnu Majah (2340), Malik (502), al-Dâru quthnî (288), Abu Ya'la di musnad (2520), al-Hakim di musstadrak (2345), al-Tabrânî di al-kabîr (11806-1387), di al-awsath (270-1037-3777-5193), al-Baihaqî di kubra (12098-12099). Al-Hakim berkata: "Ini hadits sahih al-isnad dengan syarat Muslim dan tidak dikeluarkannya.
(11)Maksudnya: datangkanlah Kitab yang baru untuk kami baca yang tidak ada di dalamnya hal-hal kebangkitan kubur, hidup sesudah mati dan sebagainya.
(12)Maksudnya: gantilah ayat-ayat yang menerangkan siksa dengan ayat-ayat yang menerangkan rahmat, dan yang mencela tuhan-tuhan kami dengan yang memujinya dan sebagainya.
(13)Maksudnya: sebelum Al Quran diturunkan.

(14)As-Syaikh Muhamad Abdul 'Adzîm al-Zarqânî, op. cit., hal. 123-128
(15)As-Syaikh Muhamad Abdul 'Adzîm al-Zarqânî, op. cit., hal. 134 (dengan sedikit penyesuaian dari penulis).
(16) Menurut penulis, maksudnya hal-hal yang berhubungan dengan ibadah. Kalau membaca terjemah sebagai perantara yang membantu kita dalam memahami kedalaman makna al-Qur'an, itu sah-sah saja. Selama ini kita belum ada dalil yang menyanggah statemen ini. Selain itu, bahwa al-Qur'an terjemah yang kita temui saat ini, pasti menyertakan teks asli Arabnya.
(17)Disandarkan pada Abu 'Amru Hafs bin Sulaiman bin Mughiroh al-asady (90-180 H). Beliau merupakan orang paling tahu dengan qiro'ah-nya 'Ashim (gurunya). (Sumber: Ustaz Dr. Ahmafd 'Isa Al-Mi'sharawy, Al-Kamil al-Mufashal fi al-qira'ati al-arba'ata 'asyr,Dar al-Imam al-Syathibi, Cairo, 2009, hal. 16
(18)As-Syaikh Muhamad Abdul 'Adzîm al-Zarqânî, op. cit., hal. 142-143
(19)Ahmad bin Mansur al-Sabâlik, Al-Burhan 'Alâ salâmatil qur'an,Ma'had 'Ulumul qur'an wa al, tanpa kota, cet. I, 2006, hal. 341
(20)Ibid., hal 342-343.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar