irja

Minggu, 04 April 2010

Metode Penafsiran Dengan Bahasa


Oleh: M. Irja Nasrulloh Majid


A. Pendahuluan

Sesungguhnya segala puji hanya untuk Allah Swt, Sang Pemilik Kesempurnaan. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada baginda Muhamad Saw, purnama yang telah menerangi semesta alam dengan cahaya tauhid-Nya. Semoga kita kelak disatukan dengan beliau di taman surga. Allahumma amiin.
“Dunia Tanpa Bahasa Terasa Hampa.” Ungkapan ini setidaknya mampu menyingkap keistimewaan dan kedudukan bahasa. Ketika menulis makalah ini, saya jadi berpikir, seperti apakah dunia ini jika tanpa bahasa?Allahu ‘alam. Allah Swt. telah menganugerahi dunia ini dengan bahasa. Tentu saja, ia merupakan kenikmatan besar yang diberikan-Nya untuk umat manusia. Dengan bahasa, kita mampu menciptakan serpihan-serpihan kecil menjadi sebuah sistem yang begitu kokoh. Mungkin seseorang sulit memahami kiasan ini, sebelum ia mengerti secara benar akan fungsi bahasa itu sendiri.
Dalam makalah ini kita akan mengerti korelasi bahasa dengan penafsiran teks-teks Suci Al-Qur’an. Sesuai tantangan zaman, bolehkah manusia mengabaikan bahasa dalam menafsirkan Kitab Suci? Kita akan segera mengetahui jawabannya insya Allah.

B. Keistimewaan Bahasa Arab

Menurut salah satu teori, bahasa di dunia ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bahasa Indo-Eropa, bahasa Semitiq-Chamito dan bahasa Touranien (Asia-Eropa). Karena pada kesempatan kali ini, kita akan mendalami seluk-beluk bahasa Arab; maka kita akan membagi bagian di atas, menjadi tiga bagian lagi, yaitu kumpulan bahasa Aramit (Arian), Hamit (Chamito), dan Samit (Semitiq). Adapun bahasa Arab, ia menjadi bagian dari kumpulan bahasa Samit. Menurut beberapa pengamat, bahwa tempat asal kumpulan penutur Samit ini, berada di bagian barat daya semenanjung tanah Arab , yaitu Yaman.
Bahasa Arab merupakan bahasa wahyu dan bahasa peribadatan yang masih bisa kita saksikan keistimewaannya sampai hari ini. Keistimewaan tersebut bisa dilihat dari sudut pandang sistem fonologi, sintaksis, morfologi dan lain-lain, yang tak bisa ditemui di dalam bahasa lainnya. Bahasa Arab juga telah mempengaruhi bahasa-bahasa di dunia, seperti bahasa di Eropa. Hal tersebut, merupakan hal yang wajar ketika kita menengok sejarah panjang peradaban Islam di Andalusia. Pada saat itu, bahasa Arab menjadi bahasa yang cukup bergengsi di Eropa.
Beberapa contoh pesona dan keunikan bahasa Arab, yaitu bahwa bahasa Arab kaya akan kosakata, kaidah analisis struktur ayat(i’rab) yang sempurna, sistem morfologinya yang unik, berdaya tahan dan ringkas (i’jaz), memiliki ungkapan yang halus dan teliti, dan beberapa keistimewaan lainnya. Contoh dalam sistem morfologi (baca: cabang linguistik yang mempelajari masalah morfem dan kombinasinya), kata dasar kataba bisa dipecahkan kepada beberapa variasi perkataan lain, seperti kitaabatun, kaatibun, maktuubun, maktabatun. Bukankah hal ini sangat unik, jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia, atau dibandingkan dengan bahasa Inggris sekalipun. Itu baru sedikit contoh dari keistimewaan bahasa Arab, yang tidak bisa ditemukan di dalam bahasa-bahasa lain. Tidak berlebihan, jika bahasa Arab dikatakan sebagai kunci gerbang keilmuan.

C. Bahasa Arab dan Tafsir

Setelah mengetahui secara sederhana tentang seluk beluk bahasa Arab, akhirnya kita sampai pada poin penting. Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur’an,

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُون
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (Az-Zukhruf: 3)

Untuk memahami Al-Qur’an, diperlukan kejelasan maksud daripada ayat-ayat yang termaktub. Penjelasan maksud Al-Qur’an tersebut disebut dengan tafsir. Menafsirkan Al-Qur’an dengan benar, bukanlah hal yang mudah. Ia bukan layaknya buku-buku karya manusia yang bisa ditafsirkan dengan mudah. Akan tetapi, ia merupakan karya agung dari Ar-Rahman, yang akan terus terjaga keotentikannya sampai binasanya dunia ini. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Ketika dikatakan bahwa menafsirkan Al-Qur’an itu tidak mudah, bukan berarti Al-Qur’an tersebut sulit dipahami. Sebenarnya ‘tidak mudah’ tersebut, menggambarkan akan pentingnya beberapa metode yang harus diperhatikan dalam penafsiran Al-Qur’an.
Di dalam kitab Usuluttafsir wa Qowa’iduhu, karya Syaikh Kholid Abdurrahman Al-Ak, dijelaskan beberapa metode penafsiran Al-Qur’an. Secara garis besar, metode penafsiran dibagi menjadi tiga, yaitu metode naqli , ‘aqli , dan lughah. Pembahasan kita selanjutnya hanya akan mengkhususkan pada metode lughah atau bahasa.
Sesungguhnya Baihaqi meriwayatkan dari Imam Malik Ra., sesungguhnya ia berkata: “Saya tidak akan mendatangkan seorang lelaki yang tidak mumpuni dalam bahasa Arab, untuk menafsirkan Al-Qur’an, kecuali aku memberikannya sebuah peringatan.” Kata-kata yang diucapkan seorang Imam penduduk madinah tersebut menyiratkan betapa pentingnya kedudukan bahasa Arab dalam penafsiran Dusturul hayah, yaitu Al-Qur’an. Imam Syatibi, juga pernah berkata, yang jika diterjemahkan kurang lebih seperti ini: “ Siapa saja yang ingin memahami Al-Qur’an, maka dari lidah orang Arablah ia bisa dipahami. Tidak ada jalan lain untuk memahaminya, selain itu. Hal senada dikatakan Mujahid, “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, untuk membicarakan kitab Allah, sedangkan dia tidak ‘alim dalam bahasa Arab. Seseorang yang mempelajari bahasa Arab, berarti ia telah mempelajari bagian dari agama. Ia merupakan bahasa munajat antara hamba dan Rabb-nya.
Ketika Al-Qur’an diturunkan, orang-orang Arab begitu menguasai bahasa mereka, mengetahui uslub dan hakikatnya. Dengan hal itulah mereka mampu memahami dan menemukan makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, sesuai perkembangan masa, kemurnian bahasa Arab dinodai oleh bahasa-bahasa asing. Sehingga, setapak demi setapak, para generasi semakin menjauh daripada bahasa ibu yang masih asli itu.
Saat itu, orang-orang Arab sangat terpukau dengan struktur, estetika, dan nilai bahasa yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Mereka benar-benar tak mampu mengingkari akan mukjizat bahasa di dalam Al-Qur’an. Bagi mereka yang tidak sombong, maka akan bertekuk lutut di bawah cahaya Al-Qur’an. Allah Swt memberi hidayah kepada mereka. Adapun bagi mereka yang ingkar, kelakuan mereka tak lebih daripada sandiwara penipuan di hati kecil mereka. Mereka sebenarnya mengakui kemukjizatan Al-Qur’an, namun takabur lebih mereka cintai daripada mengakui kebenaran yang sejati. Ada di antara mereka yang jujur mengakui kedahsyatan bahasa dalam Al-Qur’an, sebelum ia beriman, namanya Walid bin Mughirah. Dia berkata: “Demi Allah, aku telah mendengar ucapan dari Muhamad, yang ucapan itu bukan ucapan manusia dan jin, sesungguhnya ia manis, dan darinya ada keindahan, di atasnya berbuah, dan di bawahnya(akarnya) lebat.” Walid bin Mughirah telah menemukan keagungan serta power yang teramat hebat dalam diri Al-Qur’an, walaupun dia belum beriman kepadanya! Maha suci Allah…
Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui keagungan Al-Qur’an; memahami makna, tafsir, dan takwilnya, maka tak ada solusi yang paling tepat, kecuali mempelajari bahasa Arab itu sendiri.

D. Metode Sahabat Dalam Penafsiran Melalui Bahasa dan Syair

Untuk memahami dan mengetahui maksud Al-Qur’an, diperlukan bahasa Arab yang murni. Syair merupakan salah satu elemen penting yang berperan dalam pemurnian bahasa Arab. Ibnu Abbas berkata: “Syair merupakan diwanul ‘arab, maka jika kita menemukan kesamaran huruf dalam Al-Qur’an yang diturunkan dengan bahasa Arab, kembalilah kepada diwan-nya; maka darinya kita mengetahui maksudnya. Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang menggunakan bahasa, yaitu syair jahiliah untuk memahami lafadz-lafadz dan tafsir ayat Al-Qur’an. Adapun kisah tentang hal itu masyhur, ketika Nafi’ bin Azraq dan Najdah bin ‘Uwaimar menghadap beliau; keduanya bertanya tentang tafsir beberapa ayat Al-Qur’an, dan mereka mendapatkan jawaban darinya berupa syair-syair Arab. Hal lain juga terjadi pada Umar bin Khattab, ketika sedang berkhutbah di mimbar. Beliau ditanya oleh seorang lelaki akan ayat dalam surat An-Nahl: 47, yang berbunyi:

أَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلَى تَخَوُّفٍ فَإِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa).”

Maka seorang lelaki dari bani Hudzail berkata kepadanya: التخوف عندنا التنقص ,kemudian dia mengucapkan syair yang menerangkan tentang kata-katanya itu. Kemudian Umar berkata, “ Wahai sekalian manusia, berpeganglah pada diwan syair jahiliah kalian. Sesungguhnya di dalamnya ada tafsiran kitab kalian.”
Ada satu catatan yang harus terhujam kuat di benak kita, yaitu bahwa ketika Ibnu Abbas menggunakan syair sebagai komponen dalam penafsiran Al-Qur’an, beliau tidak spontanitas menerima atau menggunakan syair itu; namun melalui serangkaian proses pengfilteran dan sorotan tajam akan hakikat Syair Arab. Perlu diketahui bahwa syair Arab jahiliah mengandung segala keorisinilan Arab, dan mencakup paling banyak gramatika kebahasaan. Orang Arab menggunakan kekayaan lafadz kolosal dalam kandungan seni syair-syairnya. Syair jahiliah waktu itu, mengoleksi cakupan kesenian, yang berpartisipasi dalam kematangan bahasa dan kesempurnaan nilai seni.

E. Syair Arab Serta Periwatannya di Masa Jahiliah dan Islam

Kehidupan dunia ini tak lepas dari sebuah proses. Detik berganti menjadi menit, menit berganti menjadi jam, jam berganti menjadi hari, dan seterusnya. Manusia tak mampu menepis semua itu. Suatu generasi akan digantikan oleh generasi lain. Perubahan lingkungan akan terus berkelanjutan sampai tercabik-cabiknya dunia fana ini. Dalam sebuah teori dikatakan bahwa perubahan lingkungan itu bersifat cepat dan sekaligus.
Hubungannya dengan syair, ia juga akan terus berproses dan diriwayatkan terus menerus. Secara alami, riwayat menjadi sebab tersebarnya syair Arab, sebelum kedatangan Islam dan sesudahnya. Pada masa jahiliah, terdapat tobaqoh yang meriwayatkan syair yaitu yang disebut dengan tobaqoh penyair. Bagi penyair yang ingin me-nadzam-kan syair dan menyebarluaskannya, maka dia harus meriwayatkan syair tersebut dari penyair yang lain. Syair tersebut selalu diriwayatkan untuknya dan yang lain, agar sumber-sumber syair itu menyebar dan terus mengalir.
Setelah Islam datang, orang Arab menerima Al-Qur’an; membaca, memahami, dan merefleksikannya. Mereka tidak meninggalkan dan tidak melupakan syair. Bahkan, banyak para sahabat yang membacakan syair untuk junjungan kita, Rasulullah Muhamad Saw. Di antara mereka adalah Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Ka’ab bin Malik, yang dijuluki dengan ‘penyair nabi.’ Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan, bahwa Rasulullah Saw menyuruh Hasan bin Tsabit untuk mencela kaum musyrikin. Rasulullah Saw menempatkannya di mimbar untuk melaksanakan tugas itu. Beliau Saw mendoakannya dengan doa, أللهم أ يّده بروح القدس" " Begitu juga dengan Abu Bakar yang sangat tahu akan nasab orang Arab, berita-berita, dan syair-syairnya. Dia membacakan syair untuk nabi, dan beliau Saw pun memperhatikannya. Hal sama juga dilakukan Abdullah bin Rawahah, yang spontanitas membacakan syair kepada Nabi Muhammad Saw,
يوم الحساب فقد أزرى به القدر أنت النبّي ومن يحرم شفا عته
تثبيت موسى ونصراكالذى نصروا فثبّت الله ما آتا ك من حسن
Maka Nabi berkata, "وانت فثبتك الله يا ابن رواحح" Masih banyak kisah-kisah lain yang menceritakan hal serupa, seperti yang ditulis oleh Syaikh Kholid Abdurrahman Al-Ak, dalam kitabnya Ushuluttafsir wa Qowa’iduhu.
Adapun maksud “العرب الشعردوان” tanpa terikat oleh perincian ta’rif secara etimologi dan terminologi adalah bahwa ilmu-ilmu Arab dan pengetahuan di dalamnya, seperti bahasa, sastra, sejarah, hukum, alegori, berita-berita, dan eksperimen di dalam segala macam setting kehidupan, telah terpatri di dalam syair-syair mereka. Dari sinilah para penyair mendapatkan prioritas tinggi, serta syair-syair mereka menempati kedudukan yang mulia.

F. Kriteria tafsir Lughawy

Jika menelisik kembali akan tafsir dengan metode bahasa, maka cara penafsiran tersebut tidak keluar dari bingkai pemahaman tafsir binnaqli, maksudnya yaitu menukil bahasa dari orang-orang Arab. Adapun syarat yang harus terpenuhi dalam tafsir lughawy, hampir persis dengan syarat-syarat yang mesti dipenuhi dalam tafsir binnaqli. Namun, kita perlu mempresentasikan beberapa hal yang telah ditancapkan para ulama, berhubungan dengan penafsiran lughawy.
Imam Qurtubi memberikan ‘tanda merah’ dalam penafsiran Al-Qur’an . Ia berkata dalam mukadimah tafsirnya, tentang hal yang harus dihindari di dalam penafsiran secara bahasa adalah “Terlalu cepat dalam menafsirkan Al-Qur’an secara dzohir bahasa Arab saja, tanpa menyeleksi secara sima’i dan naqli terhadap hal-hal yang berhubungan dengan ghoroibul qur’an, lafadz-lafadz yang samar, mubdallah, dan apa-apa yang yang ringkas, yang dibuang, kata ganti, taqdim, dan ta’khir. Barang siapa yang tidak menghukumi dzohir bahasa Arab dan cepat dalam mengambil kesimpulan makna sesuai dzohir bahasa Arabnya saja, maka ia telah terperangkap dalam golongan orang-orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan akal.
Dalam kaidah tafsir lughawy, bahwa setiap hal yang diabsahkan dalam bahasa, bukan berarti ia sah untuk penafsiran Al-Qur’an. Seorang mufasir harus mengetahui konteks ayat, asbabunnuzul, dan qorinah-qorinah yang menyertainya. Jika hanya bersandar pada bahasa saja, maka berarti telah mengabaikan tujuan Mutakallim bih subhanahu wata’ala melalui Kitab Suci-Nya. Setiap kata mempunyai konteksnya masing-masing dan tidak layak dicocokkan dengan kata lainnya. Abu ‘Abidah Mu’ammar bin Matsna merupakan contoh seseorang yang telah melakukan kepicikan dalam penafsiran. Dalam Majazul Qur’an, ia menggunakan metode yang mujarrod pada teks-teks Arab. Ibnu Taimiah mensifati orang-orang seperti dia dalam kitab Muqoddimah Ushuluttafsir, yaitu sebagai kaum yang menafsirkan Al-Qur’an terbatas pada pengesahan ucapan-ucapan Arab, tanpa memandang Mutakallim, Munazzal ‘alaih, dan mukhattab bih…hanya terjerembab pada masalah tekstual, seperti yang dimaksud orang-orang Arab, dengan tanpa berpegangan pada Pembicara dan konteks pembicaraan.”
Ghoroib yang tidak bisa dipahami kecuali dengan sima’i sangat banyak jumlahnya. Masih ingatkah dengan sebuah ayat Al-Qur’an surat Al-Isra’: 59, yang berbunyi,

وَآَتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا
“Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu.” Adapun makna ayat di atas, adalah mukjizat yang bisa dilihat, kemudian mereka menganiaya diri mereka sendiri dengan membunuh onta betina itu. Jika dilihat secara dzohir, maka maknanya adalah bahwa onta betina tersebut bisa melihat. Tidak diketahui dengan cara apa mereka mendzolimi onta itu. Mereka telah mendzolimi yang lain dan mendzolimi diri mereka sendiri. Ini merupakan contoh hadzf dan dzomir yang berada pada ayat-ayat suci. Jika ditinjau lebih jauh, maka hal-hal yang serupa akan banyak ditemukan di dalam Al-Qur’an.


G. Ghoroibul Alfadz di dalam Al-Qur’an

Al-‘alamah Mustofa Shodiq Ar-Rofi’i berkata dalam kitabnya Tarikh Adab ‘Arab: “Di dalam Al-Qur’an terdapat istilah yang dilontarkan para ulama, yang dinamai dengan Al-Ghoroib. Hal ini bukan berarti bahwa ghoroib tersebut sesuatu hal yang jelek atau menyimpang. Al-Qur’an terhindar dari semua hal tersebut. Sebenarnya makna Al-Lafdzoh Al-Ghoribah di sini adalah lafadz-lafadz yang sebenarnya baik dari kaca mata bahasa, hanya saja tidak diketahui maknanya oleh kebanyakan manusia.
Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Baihaqi dari Abi Hurairah Ra., di sana dikatakan: أعربو القرآن والتمسوا غرائبه) ( . Adapun maksud dari i’rab di situ adalah mengetahui makna lafadz-lafadzAl-Qur’an, bukan seperti i’rab menurut ahli nahwu.
Contoh dari ghoribul alfadz: Q.S. ‘Abasa: 31, (وفاكهة وأبّا). Dalam sebuah hadits Anas Ra., diterangkan bahwa Umar Ra. ditanya akan arti أبّاdalam ayat tersebut. Namun ia menjawab, (نهينا عن تعمق والتكلف)yang secara otomatis bahwa dia tidak tahu atau tidak mau menjawab arti kata tersebut. Akan tetapi, di dalam riwayat lain bahwa Ibnu Abbas mengartikan ayat tersebut dengan rerumputan.
Setiap mufasir harus mengetahui Ghoroibul Qur’an serta menyingkapnya dari sudut pandang bahasa; termasuk di dalamnya macam-macam kata benda, kata kerja, dan huruf. Karena sedikitnya ulama nahwu yang memberitahukan makna huruf, maka kita perlu mengacu kepada kitab-kitab mereka. Adapun asma’ dan af’al, keduanya bisa dipelajari lewat kitab ilmu lughah, seperti karya agung Ibnu Sayid, Attahdzib karya Azhari, Muhkam karya Ibnu Sayyidah, dan lain-lain.

H. Bahasa dan Tafsir Ifrady Al-Qur’an

Dalam pembahasan kali ini, para ulama telah memberikan ketentuan dalam merealisasikan maksud penafsiran.
Imam Suyuti berkata dalam kitabnya Al-Itqan : “Setiap mufasir wajib mendeteksi ketepatan penafsiran terhadap kitab yang ditafsirkan; dan mendeteksi hal-hal yang mengurangi kejelasan makna atau tambahan yang tidak layak sesuai tujuan. Seorang mufasir bisa saja menyeleweng dari segi makna dan menyimpang dari jalannya. Dia harus menjaga makna hakiki dan majazy; serta menjaga susunan dan konteks kalimat, menghubungkan di antara mufrodat, dan wajib memulainya dengan ilmu-ilmu atau permaslahan lafdzy. Permulaan yang dilakukan adalah dengan menyatakan lafadz-lafadz mufrodat dan menjelaskannya dari sisi bahasa.
Melihat arti mufrodat merupakan sesuatu yang muhim di dalam penafsiran Al-Qur’an. Selain itu, maka hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah menganalisis maksud serta isti’mal-nya sesuai dengan konteksnya.

I. Nilai Nahwu Dan I’rab Dalam Penafsiran

* Pengertian Nahwu dan I’rab
a. Nahwu
Etimologi : Maksud dan jalan.
Terminologi : Kaidah untuk mengetahui formula kata-kata Arab dan keadaannya, ketika ifrad dan ketika penggabungan.
b. I’rab
Etimologi : Penjelasan.
Terminologi : Penjelasan dari makna-makna lafadz.

Jadi, setelah kita mengetahui pengertian keduanya secara etimologi dan terminologi, maka dapat diambil kesimpulan dari makna keduanya, yaitu ilmu yang menjadi perantara untuk mengetahui keakuratan bahasa Arab.
Oleh karena itu, ilmu nahwu dan i’rab menempati kedudukan penting dalam ilmu tafsir. Kedua cabang ilmu tersebut, menjelaskan makna dan maksud Al-Qur’an.
Setiap makna akan berubah dan berbeda sesuai dengan perbedaan i’rab-nya. Imam maky bin Abi Thalib Al-Qaysi, di dalam kitabnya Musykilu I’rab Al-Qur’an atau yang disebut dengan Tafsir I’rab Al-Qur’an berkata dalam mukadimahnya, “Saya melihat bahwa sesuatu yang paling agung bagi penimba ilmu-ilmu Al-Qur’an, yaitu kecenderungannya bergelut dengan tajwid lafadznya, memahami maknanya, mengetahui qiraah dan bahasanya. Adapun yang paling dibutuhkan olehnya yaitu mengetahui i’rab-nya…”Kemudian beliau berkata lagi, “Dengan pengetahuanya tentang i’rab, maka akan diketahui makna-maknanya, akan terang isykal-nya, menjadi jelas manfaatnya, dan bisa dipahami khitab-nya, serta benar dalam memahami hakikat maksudnya.

* Perbedaan Tafsir I’rab dan Tafsir Makna

Menurut imam Suyuti di dalam Al-Itqan, bahwa ada perbedaan dalam tafsir i’rab dan tafsir makna. Perbedaan itu dilihat dari sisi nahwu, yaitu bahwa tafsir i’rab harus memperhatikan kaidah nahwu. Adapun tafsir makna, ia tidak terlalu terikat oleh kaidah nahwu.

* Nahwu dan Al-Qur’an

Dalam sebuah atsar dari Ali bin Abi Thalib Ra., beliau berkata: “Pelajarilah nahwu! Sesungguhnya Bani Israil telah kafir karena satu huruf. Bahwasanya di dalam Injil tertulis, أنا ولّدت عيسى (dengan tasydid), maka mereka meringankan atau menghilangkan tasydid, sehingga dengan hal tersebut mereka menjadi kafir.
Dalam Al Jami’ As Soghir, milik imam Suyuti, diterangkan hadits dari rasulullah Muhamad Saw, dorongan untuk selalu meluruskan lisan (ucapan):
رحم الله امرأ أصلح من لسانه
Yang artinya, Allah merahmati orang yang memperbaiki lidahnya (ucapannya).


J. Metode I’rab Al-Qur’an

Berikut ini metode i’rab Al-Qur’an, sesuai ketentuan para ulama:
1. Memahami makna yang akan di-i’rab-kan, secara mufrod atau murokkab, karena hal tersebut merupakan bagian dari makna.
2. Memperhatikan kehendak sina’ah, maka boleh jadi dalam konsep i’rab benar, akan tetapi karena tidak memperhatikan sina’ah, maka akhirnya terhempas pada kesalahan.
3. Hendaknya mengetahui multidimensi bahasa Arab, agar tidak keluar dari kaidah yang telah ditetapkan.
4. Menghindari perkara yang jauh (dari pembahasan) dan sesuatu yang dho’if , serta bahasa yang menyimpang. Hendaknya menggunakan hal-hal yang dekat (dengan pembahasan), kuat, dan fasih. Ketika tidak menemukan sesuatu pun, kecuali hal-hal yang jauh (dari pembahasan) itu, maka boleh menggunakannya (karena darurat). Apabila memaparkan semua hal yang berhubungan dengan i’rab, berpanjang lebar dalam penjelasan terhadap hal-hal yang sulit, dan pemaparan kepada tholib, maka sebaiknya jangan menggunakan lafadz Al-Qur’an. Adapun Al-Qur’an harus dijelaskan atau dihadapkan dengan yaghlib Ad-dzon. Jika tidak terbesit yaghlib Ad-dzon, maka sebutkan hal-hal yang memungkinkan ada padanya (Al-Qur’an) dan jangan bertindak sewenang-wenang.
5. Mengumpulkan atau mengambil segala kemungkinan-kemungkinan lafadz dari segi dzohir-nya.
6. Menjaga atau memperhatikan syarat-syarat yang berbeda sesuai dengan babnya masing-masing. Jika hal tersebut tidak diperhatikan, maka akan terjadi ketidaksesuaian percampuran syarat dengan babnya.
7. Memperhatikan setiap hal-hal yang isykal atau ghumudz pada setiap tarkib-nya, karena boleh jadi akan ditemukan hal lain dalam tema tersebut.
8. Menjaga atau memperhatikan bentuk rosm
9. Perhatian pada masalah mutsyabbihat (ayat-ayat mutasyabbihat).
10. Tidak keluar dari keadaan asli atau dzohir, jika tidak dikehendaki (oleh qorinah lain).
11. Meneliti keaslian dan tambahan (dalam lafadz).
12. Jangan menyangka bahwa tambahan pada Kitab Suci Al-Qur’an tersebut adalah sebuah hal yang sia-sia dan tak ada gunanya.


K. Apakah Mungkin Menghindar Dari Bahasa Dalam Sebuah Penafsiran?

Ketika saya telah menyelesaikan makalah ini sampai pada poin ‘J’ saya benar-benar terhenyak oleh realita bahasa yang tidak bisa lepas dari teks-teks suci Al-Qur’an. Secara tiba-tiba terbesit untuk menambahkan poin ‘K’ ini sebagai analisis bersama atas kenyataan yang sedang terjadi, akan kehadiran sekte-sekte yang terus mencoba menggerogoti keotentikan Al-Qur’an. Beberapa mereka selalu menggembor-gemborkan slogan ‘Kebebasan dan Kemanusiaan.’ Slogan yang sebenarnya menyimpan sejuta tanda tanya tersebut mempunyai power yang luar biasa dalam melumpuhkan pilar-pilar keimanan orang-orang Islam saat ini, teruma komunitas pemuda. Inilah salah satu gambaran pemahaman mereka: “Melalui pemahaman wahyu Allah sebagai teks, sesungguhnya tidak dituntut keharusan prasyarat iman atau afiliasi religius tertentu ketika membacanya. Teks berada diluar kategori sekular-religius atau atheistik-theistik. Teks masuk dalam jangkar kategorik tersebut ketika diletakkan sebagai salah satu kutub dialektika saat subyek (akal) mengawini obyek (teks) dalam proses penafsiran yang bisa jadi dimotivasi sekedar gairah akal untuk mengetahui segala sesuatu, atau lebih dari itu juga dilekati motif transendensi, penghayatan adanya relasi dengan Dzat Adikodrati. Maka dari itu, Al-Qur’an dapat didekati, dibaca dan ditafsirkan oleh siapa saja, sebagaimana pula wahyu Allah yang berujud sunnatullah dapat dimasuki oleh siapapun, tanpa memandang preferensi religiusnya, status sosialnya, maupun etnisitasnya. Al-Qur’an adalah kalam Allah, sebagaimana sunnatullah, ia berlaku transhistoris. Ia bukan monopoli zaman Nabi, bukan pula bangsa Arab. Ia milik setiap manusia pada konteks zamannya masing-masing. Siapapun boleh beroleh manfaat, menimba inspirasi atau petunjuk darinya. “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (QS. 59 : 2).” Ditambah lagi oleh sebuah artikel yang berjudul Bentuk Hermeneutika Islam, ditulis oleh Nasrul Azwar yang sebenarnya ringkasan dari Abdul Hadi W. M. Cuplikan artikel tersebut adalah “Razaq al-Kasyani, seorang sufi abad ke-13 M, menghubungkan tradisi takwil dengan sabda Nabi yang populer dan bermaksud, "Tidak ada ayat Al-Quran yang tidak mempunyai makna zahir dan sekaligus makna batin, batasan (hadd) dan sekaligus tempat ke mana kita melakukan pendakian" (Murata 1992:301).
Jadi salah satu motif sekte-sekte berkedok tersebut dalam usaha merobohkan keorisinilan Al-Qur’an adalah dengan cara ‘takwil serampangan sesuai kemauan.’
Pedih rasanya jika umat Islam sudah mengabaikan lughoh dalam model penafsiran Al-Qur’an. Padahal baru saja kita tahu, bagaimana realita lughoh tidak bisa dipisahkan dari penafsiran Al-Qur’an. Sebenarnya masih banyak yang perlu kita kristisi dalam poin ini, namun apa daya, waktu tak merelakan saya untuk memaparkannya lebih lanjut.
Baiklah, untuk mempersingkat, saya akan menutupnya dengan mengatakan “Tidak mungkin meninggalkan bahasa dalam proses penafsiran Al-Qur’an!”

L. Penutup

Alhamdulillah, saya ikrarkan kepada Allah Swt, yang telah melancarkan terselesaikanhnya makalah ini. Bagaimanapun, makalah ini masih dipenuhi dengan berbagai macam kekurangan. Koreksi Antum menjadi hadiah terbaik untuk saya dalam memperbaiki kesalahan tersebut. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat fiddiini, waddunya, wal akhiroh. Terima kasih atas partisipasi Antum semua. Mohon maaf atas segala kesalahan. Allahummahdinaashirathal mustaqiim. Semoga berjaya!

M. Referensi

1. Muhammad, Azhar, Beberapa aspek keunikan dan keistimewaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an Jurnal Teknologi, edisi 42/Juni 2005, Universiti Teknologi Malaysia, Johor, 2005. (Pdf.)
2. As-Syujairy , Dr. Hadi Ahmad Farhan, Ad-dirasat Al-lughawiyyah wan nahwiyyah fi muallifatti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Basyar Islamiah, Lebanon, cet. I, 2001.
3. ‘Ulwan, Abdullah Nashih, Ma’alimul hadharah fil Islam wa atasriha fin nahdhotil orabiyyah, Darussalam, Cairo, cet. IV, 2005.
4. ‘Utsaimin, As Syaikh bin Muhammad Solih dan As Syaikh Muhammad bin Ahmad Alhasyimi, Addurrah nahwiyyah fi syarhil al ajrumiyyah , Muqaddimah Markaz Al-Minbar litahqiiqi wal baths al-‘ilmi, Dar Ibnu Jauzi, Cairo, cet. I, 2006.
5. Syatibi, Imam, Al-muwafaqaat fi ushulis syari’ah, ditahkik oleh Syaikh Abdullah Darraz, vol. 1, Darul Hadits, Kairo, 2006.
6. Suyuti, Imam, Al-Itqan, ditahkik oleh Ahmad bin Ali, Darul Hadits, Cairo, 2004.
7. Al-Ak, As-Syaikh Kholid Abdurrahaman, Ushuluttafsir wa Qowa’iduhu, Darun Nafais, Lebanon, cet. V, 2007.
8. Tresna,Yuana Ryan, Art of War, Progessio, Bandung, cet. I, 2007, hal. 41
9. Abu Sa’adah, Dr. Syafik Abdurrazzak, et. al., Rasyfaat Min Manahilil Adab Al-Islami wal Amwa, hal. 18 (muqaarar adab Fakultas Ushuluddin, tingkat II, 2008-2009).
10. Qurtubi, Imam, Aljami’ Ahkamul Qur’an-tafsir Al-Qurtubi, ditahkik oleh Hani Al-Hajj, vol. 1, Maktabah Tawfikia, Kairo, 2008.
11. Dr. Husain bin Ali bin Husain Al-Harby, Qowa’iduttarjih ‘Indalmufassirin, vol. 1, Darul Qosim, Riyad, Cet. II, 2008.
12. Taimiah, Ibnu, Syarhu Muqaddimah fi Ushuluttafsir, ditahkik oleh Syaikh Muhamad Solih Al-‘Utsaimin, Darul Akidah, Kairo, cet. I, 2008.
13. Katsir, Ibnu, Tafsir Qur’anul ‘Adzim, ditahkik oleh Syaikh Muhamad Syakir, et. al., Darul Atsar, Cairo, cet. I, 2009.
14. Mandzur, Ibnu, Lisanul ‘Arab, vol. VIII, Darul Hadits, Cairo, 2003.
15. Anbabi, Syaikh Muhamad, Qowa’idullughatil ‘Arabiyyah, Maktabah Adab, Cairo, cet. I, 2008.

Kaidah Interpretasi Lafal al-Qur'an

KAIDAH INTERPRETASI LAFADZ AL-QUR'AN
ANTARA EKSPLISIT DAN IMPLISIT; DILALAH ATAS HUKUM
[SEBUAH PENGANTAR] *
Oleh : M. Edwin. ks

"Dimana ada kemaslahatan manusia, maka disitulah syari’at Allah”

Mukadimah :
Adalah sebuah keniscayaan jika sebuah kitab yang disakralkan oleh umat bergama mempuyai kaidah-kaidah dasar, yang tentunya mudah untuk di mengerti dan dipahami oleh segenap mayoritas keberagamaan. Islam merupakan agama diantara sekian banyak agama-agama samawi yang mempunyai kitab suci (scripture) al-quran. al-quran adalah salah satu dari sejumlah kecil kitab yang telah memberikan pengaruh yang begitu luas dan mendalam terhgadap jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin al-quran bukan saja kitab suci melain juga petujuk (huda) yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka. Untuk itulah kaum muslimin mempelajari al-quran sejak kitab suci ini diturunkan hingga sekarang dan mungkin seterusnya, seakan-akan tak pernah habis apa yang ditawarkannya kepada manusia dan kehidupan. Maka tidak heran kalau ada sementara ahli yang mengatakan: " tidak ada satupun teks (keagamaan ataupun lainnya) yang telah ditafsirkan sebanyak al-Quran ". mempelajari al-Quran beserta isi kandungannya tidak hanya segelintir golongan agama saja, (baca;agama) akan tetapi dari timur sampai barat mereka tak kenal lelah untuk mengkaji sekaligus mempereteli satu persatu huruf yang ada dalam al-quran.
Diantara komponen-komponen kandungan ilmu-ilmu al-quran tulisan ini mencoba menguak sebahagian disiplin ilmu-ilmu al-quran, penjelasan lafadz-lafadz al-quran secara eksplisit dan implisit serta dalil-dalil atas sebuah hukum. untuk mengenal lebih jauh diskursus ilmu-ilmu al-Quran.
Corak Lafadz al-Quran bersifat Eksplisit
Ketika umat Islam membuka lembaran-lembaran kitab sucinya ditemukan Adanya indikasi tentang teks terhadap makna lafadz al-Quran yang bercorak eksplisit, term tersebut mempunyai daya tarik yang begitu signifikan dalam menginterpretasi serta memahami teks al-Quran bahkan dalam pengambilan sebuah hukum sekalipun, ada beberapa term yang digunakan untuk memahami teks al-Quran, diantaranya; Az-dzahir, mempunyai pengertian suatu lafadz yang menunjukan pada makna tanpa adanya intervensi dari luar dalam penjelesannya, besar kemungkinan adanya tahksis, ta'wil, dan nasakh.
Dapat dilihat teks al-Quran yang artinya; " Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".[An-Nisa':3]. Jika kita cermati ayat tersebut secara dzahir terdapat legalisasi jenis laki-laki berfusi terhadap lawan jenisnya [get married] tanpa adanya pihak lain, dengan demikian bukanlah termasuk yang orginal dari maqasid asalnya, akan tetapi bertujuan memberikan ruang bagi kaum Adam untuk berpoligami dengan membatasi tidak lebih dari empat. Fuqaha' Islam melegitimasi atas term diatas dengan wajib mengamalkannya atas dasar hukum maqasidnya, sampai ada dalil lain menjustifikasi, bahkan menghapusnya. Kemudian term yang lain di kenal dengan nama An-Nash, mempunyai pengertian bahwa lafadz yang menunjukkan atas dasar hukum yang jelas dari teks itu sendiri.
Dapat dilihat dari potongan ayat; " Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ". [Al-Baqarah :275]. Jika kita memperhatikan potongan ayat tersebut tidak ada penyama-rataan antara lafadz yang satu dengan yang lain (bae' dan riba) dari segi halal dan haramnya, karena sudah jelas dan terang apa yang terkandung oleh nash, bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Teks semacamnya ini menempati posisi yang sama dengan Az-dzahir, hanya bedanya An-nash lebih kuat ketimbang Az-dzahir ketika terjadi tanaqud diantara keduanya. Selanjutnya istilah berikutnya Al-mufassar, yakni lafadz yang menunjukkan atas dalil-dalil yang falid tidak ada ruang ta'wil ataupun spesialisasi (tahksis), akan tetapi besar kemungkinan terbuka baginya ruang pengangkatan (nasakh) atas sebuah hukum. Dalam al-Quran dikatakan : " Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera". [An-Nur : 4]. tidak ada semacam bentuk tawar menawar dari teks yang satu ini, jika kita melihat seperti lafadz 'adad pada ayat diatas tidak boleh mengurangi dan juga tidak melebihi, hukuman bagi orang yang menuduh perempuan berzina delapan puluh kali derah dan teruntuk laki-laki, perempuan berzina seratus kali cambuk.
Dalam penerepan hukum ia termasuk kedalam kata-gori wajib diamalkan karena belandaskan dalil-dalil qhati' selama di sana tidak ada dalil lain yang menghapusnya (nasakh) peranan term ini pada sebuah hukum lebih utama dari term-term sebelumnya jika terjadi paradoks diantara mereka. Al-muhkam adalah term akhir lafadz-lafadz al- Quran yang bersifat eksplisit mempunyai pengertian ialah lafadz yang mengarahkan pada makna yang sangat jelas tanpa ada kecendrungan pada penta'wilan, pentahksissan, dan penasakhan. Walaupun berakhirnya masa nubuwa ia tetap eksis tanpa terdapat perubahan sedikitpun, banyak sekali variasi-variasi al-muhkam bagian dari pada dasar-dasar agama seperti; meyakini adanya Allah swt, malaikat, kitab-kitab, para rasul, dan hari akhir.
type kedua tentang keutamaan-keutamaan seperti; akhlaq mulia, adil, jujur, amanah, bakti pada orang tua, menyambung tali silaturrahmi dan menepati janji. Variasi hukum-hukum seperti; ahkam juziy bersifat kekal abadi, contoh : " Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat ". inilah bentuk al-muhkam terbagi kepada al-muhkam lidzatihi dan yang kedua al-muhkam lighairihi.
Dilalah yang terakhir ini lebih besar ruang lingkupnya dari pada dilalah sebelumnya wajib di amalkan karena ke validitasannya tanpa ada keraguan sedikitpun dalam menyakininya.
Lafadz dilalah eksplisit yang kontradiktif
Jika terjadi kontradiktif terhadap term-term diatas antara Az-dzahir dengan An-nash, Al-muhkam dengan an-nash, antara an-nash dengan Al-mufassar, Al-mufassar dengan Al-muhkam bagaimana penyelesainnya?
Ada beberapa contoh surat-surat, ayat-ayat al-Quran yang kontradiktif dapat dicermati dengan baik sebagai berikut:
a. Surat An-Nisa : 24 dengan ayat 3
( وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسافحين )
( وإن خفتم ألاّ تقسطوا في اليتامى فا نكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع )
b. Surat An-Nisa : 3 dengan An-Nur :4
( فا نكحوا ما طاب لكم من النساء )
( ولا أن تنكحوا أزواجه من بعده أبدا )
c. Surat At-Thalaq : 2 dengan An- Nur :4
( وأ شهدوا ذوى عدل منكم )
) ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا )
Lafadz-lafadz al-Quran bersifat Implisit
Tak jarang di temukan lafadz- lafadz al-Quran yang bersifat implisit ( Al-mubham ) yang di maksud disini ialah teks yang terselubung dalil-dalilnya atas suatu hukum, sehingga sukar untuk dipahami dan dicerna, membutuhkan sebuah piranti ijtihad dalam membuka tabir teks tersebut sehingga lebih mudah untuk dimengerti. Bagian lafadz ini terbagi kepada empat term, diantaranya; Al-khufy, ialah teks yang dilalah maknanya jelas, disana ada persesuaian makna pada bentuk awalnya, keterselubungannya dan kesulitan atas teks tersebut membutuhkan "pencerahan" sehingga tersingkaplah arti kandung lafadz tersebut.
Pada surat [Al-Maidah : 38] "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya". Lafadz " As-sariqa" mempunyai makna pluralistik termasuk didalamnya lafadz An-nabasy, dan At-thirar.
Para ulama menghukumi teks yang implisit tersebut terlebih dahulu mecernah dan mentela'ah sehingga dapat terdeteksi tujuan yang dimaksud. Selanjutnya lafadz Al-musykil, ini mempunyai pengertian sesuatu yang mempunyai kemiripan, kesamaan pada kejanggalan maksud dan tujuan tertentu sehingga baru bisa dipahami dengan dalil yang menjadi pembeda atas segala yang asykal. Coba jika dilihat pada surat [Al-Baqarah : 223] yang artinya:" Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki ". Isykal pada ayat tersebut pada lafadz "annaa” pada kebiasaan orang arab mengandung arti 'saling bedekatan' terus lafadz kaifa, haitsu, mataa, mempunyai arti yang sama, nah dari sini adanya isykal sehingga kecendrungan para ulama berbeda cara pandang dalam menginterpretasi suatu hukum, sebagian mereka menta'wil kan dengan makna kaifa, yang lainya memaknai haitsu, kemudian ada yang memakai istilah mataa, dan sebagainya. Ulama menghukumi teks yang bersifat musykil ini dengan wajib merealisasikannya apabila telah diketahui makna yang diinginkan dari makna-makna yang pluralistik tersebut.
Yang ketiga Al-mujmal, adalah teks universal yang mengandung banyak arti, sehingga kesulitan untuk memahami ungkapan teks tersebut, perlu adanya interpretasi baik itu menggunakan piranti teks itu sendiri maupun sunnah dan ijtihad para author yang dianggap memumpuni. Banyak sekali terma-terma syari' yang besifat Mujmal termasuk pembahasan tentang sholat puasa zakat dan haji bahkan perkara-perkara mu'amalat sekalipun. Yang terakhir lafadz al-Quran bercorak implisit ialah Al-mutasyabih, menurut Syaekh Muhammad abu al-yusr 'abidin Rahimahullah, ialah kandungan teks yang secara dzahir belum bisa dicernah dengan baik shingga mempunyai variasi dalam mengartikan lafadz teks tersebut seperti; lafadz muqata'a pada awal setiap surat dan bisa dilihat pada surat [Al-Fath : 10] yang artinya: "Tangan Allah di atas tangan mereka". Hukum ungkapan dari teks yang cenderung ekslusif ini tidak diperkenalkan siapapun menta'wilkan secara semberono akan tetapi umat islam wajib menyakininya apa yang tersirat pada ungkapan teks al-Quran sebagai kita yang disakralkan.
Dilalah Teks atas sebuah Hukum
Pentingannya sebuah teks dalam memahami hukum syari' yang tersirat dibalik ungkapan teks melahirkan berbagai disiplin ilmu terutama menyangkut ilmu metodelogi ushul dan ilmu ini merupakan keistimewaan ulama-ulama salaf terdahulu yang belum terjamah oleh orang-orang sebelumnya sehingga mempermudah generasi setelahnya untuk menyabung estafet dan mengembangkannya berbagai disiplin ilmu-lmu lainnya, kemudian ilmu ushul mempunyai variasi dilalah yang beraneka-ragam terkhusus ketika membahas teks-teks al-Quran tentang objek hukum, maka terlahirlah konsep yang dikenal dengan istimbat dalam pengambilan hukum syari' diantranya; dilalah al-'ibarah, al-isyarah, an-nash, dan dilalah al- iqtidha'. Pertama Dilalah Al-'ibarah sebagian ulama menamainya dengan dilalah An-nash pengertiannya ialah dalil-dalil teks lafadz terhadap objek makna yang mempunyai esensi pada lafadznya mengandung orginal dan taqlid dilihat pada surat [An-Nisa : 3] yang berarti:" Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja". Ayat ini secara implisit menunjukkan teks yang dikandungnya beragam hukum yang dilahirkan, pertama; melegalkan segala bentuk hubungan antara jenis laki-laki dan perempuan (nikah) hukum yang selanjutnya membolehkan poligami terhadap objek kaum Hawa tidak lebih dari empat yang terakhir, hukum yang tersirat dari ayat diatas mewajibkan menikahi perempuan cukup satu saja jika takut tidak dapat berlaku adil ketika berpoligami.
Cara kerja teks Dilalah Al-'ibarah atau bisa juga dinamakan Dilalah An-nash ini wajib hukumnya dalam aplikasnya tanpa tesirat keraguan didalamnya. Kedua Dilalah Al-isyarah, ialah dalil-dalil teks atas objek sebuah hukum, akan tetapi menangdung kepastian arti yang diinginkan; baik itu hukum yang bersifat orginal, taklid, akal, adat, eksplisit dan implisit. Dapat dilihat dalam surat [Al-Baqarah : 187] yang artinya sebagai berikut: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu". Ungakapan ayat ini dari teks orginalnya menghukumi dengan mengizinkan suami menggauli istri-istrinya setiap waktu pada malam bulan ramadhan. Sebagaimana kandungan teks yang mengisyaratkannya. Aplikasi dari pada bentuk teks isyarah menghukumi harus diterapkan, apabila terjadi kontraversial antara isyarah nash dengan 'ibarah nash lebih dipakai nash karena ia lebih kuat dan lebih akurat ketika menimbang suatu objek hukum.
Selanjutnya Dilalah An-nash, pengertiannya yaitu dalil-dalil teks yang di sebutkan pada kandungan teks atau yang terlahir dari badan teks itu sendiri besifat tsabit, hanya melihat lafadznya saja sudah cukup dipahami dan dimengerti, tanpa membutuhkan energi yang menguras pikiran seorang mujtahid dalam pengistinbatan objek hukum. Dicontohkan pada surat [Al-Isra' :23] yang berarti; " Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".
Korelasi antara hukum yang disebutkan pada teks dengan objek hukum yang masih terkandung didalam bandan teks mempunyai kesatuan ikatan yang kuat inheren satu sama lain. Sungguh sangat dimurkai melontarkan kata-kata yang menyakiti hati kedua orang tua walaupun dengan mengatakan 'ah, cih' akan tetapi akan lebih dilaknati memukul fisik dan melakukan hal-hal yang jauh dari adab berbuat baik kepada keduanya. Terakhir Dilalah al- Iqtidha' yaitu dalil-dalil perkataan atau ucapakan bahasa teks yang terselebung atas kanduangan terhadap teks, sehingga butuhkan tambahan atas pengertian yang diinginkan oleh teks tersebut agar dapat melengkapi apa yang dimaksud. Kita ambil contoh dalam surat [Al-Maidah : 3 ] dikatakan: "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah". Dapat dideteksi bahwa pengharaman tersebut bukan pada barang atau objeknya bendanya akan tetapi pada perbuatan atau sifat yang dimilki oleh objek bangkai tersebut.

Kaidah-kaidah Tafsir ditinjau dari Keuniversalitasan dan Nonuniversalitas Teks-Teks al-Quran atas Dalil-dalil objek Hukum
Diantara keistimewaan bahasa al-Quran banyak sekali dijumpai istilah-istilah teks yang bersifat umum, khusus, dan mustarak, ini membuktikan bahwa litelatur yang dibawah kitab suci umat Islam melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang melimpah. Bahkan orang Arab sendiripun terkadang tidak bisa memahami arti dari kandungan teks al- Quran sebagai kitab sucinya yang menjadi pokok bahasa mereka sehari-hari. Diantara implikasi yang dibawah teks al-Quran melahirkan lafadz 'amm, dapat diartikan lafadz yang diposisikan pada bahasa tunggal bukan pada bahasa plural, diantara lafadz-lafadz yang umum dapat diperincikan sebagai berikut: Dalam surat [At-Thur : 21] mempunyai arti: "Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya". Terdapat lafadz "kullu" banyak lafadz-lafadz yang menunjukkan korelasi umum antara ayat dan lafadz seperti; jami' asma' as-syarat, asma al-maushul,
Pengkhususan terhadap lafadz Umum
Rasanya menjadi keharusan bagi seorang intlektual Islam untuk terus menyingkap isi kandungan teks al-Quran diantara pembahasan yang sering dilontarkan oleh kalangan ulama ushul mengatkan hal menjadi penting mendalami pengkhusususan lafadz umum misalnya pada surat [Ali Imran : 97] artinya: " mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah". Lafadz "An-nas" menunjukkan lafadz umum, mecakup semua makhluk jenis manusia, kemudian dikhususkan oleh sebuah hadist yang artinya: " terbebas dari segala dosa pada tiga kondisi; pertama anak kecil sampai ia baligh, orang gila sampai ia sadar, orang tidur sampai ia terjaga ".
Implikasi dan eksistensi Al-Musytarak

Al-mustarak menurut al-bazdawi dalam ushulnya mengatakan: setiap lafadz mempunyai kandungan makna yang berbeda, tidak ditetapkan melainkan dari lafadz yang dimaksudkan.

Sebab-sebab terjadinya Al-Musytarak pada Bahasa Arab

1. pergumulan yang terjadi antara Bangsa Arab dengan bagsa luar, berimplikasi pada ragam lahja yang mereka gunakan .
2. munculnya lafadz tematik terhadap teks berimplikasi dua makna
3. adanya lafadz-lafadz yang dulunya menjadi kebiasaan Arab jahiliyah kemudian diistilahkan oleh bahasa syara'
4. adanya penempatan istilah lafadz-lafadz terhadap makna yang majazi dan hakiki.

Dilalah Al-Khas dan Type-typenya dalam Pengambilan Hukum

Dirasah tentang Al-Khas ini sangat intens dalam interpretasi teks-teks al-Quran sehingga mendapatkan perhatian dikalangan ulama ushul.
Al-Khas mempunyai pengertian bahwa setiap lafadz yang mempunyai ruang pada suatu makna atas kekhususannya. Dapat kita lihat pada surat [An-Nur : 2] artinya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera". Lafadz "mi'ah" menunjukkan atas makna tertentu, tanpa adanya interpretasi dari pihak lain.

Macam-macam Al-Khas

1. Al-Mutlaq, lafadz khas yang tidak mengikat pada lafadz, type seperti jarang
2. Al-Muqayyad, lafadz khas yang mengikat pada lafadz, sama dengan type yang pertama.
3. Al- Amru, lafadz yang menunjukkan atas permintaan untuk dilakukan, tuntuan dari pihak pertama.
4. An-Nahyu, perkataan yang menunjukkan pada larangan untuk dikerjakan, dari pihak yang mengeluarkan hukum.

Penutup

Penulis sangat sadar, tulisan ini masih terlalu jauh untuk mengungkapkan rahasia ilmu-ilmu al-Quran akan tetapi, tak ada rotan akar pun jadi. Namun yang perlu kita sadari bersama bahwa al-Quran bukanlah suatu kitab yang diturunkan dilapangan yang kosong tanpa ada suatu pristiwa atau kejadian. Untuk mengetahui maksud-maksud dan makna yang dibawa oleh al-Qur’ân, seseorang harus mampu mengkaji ulang berbagai disiplin ilmu yang ditelurkan ulama dahulu dan intlektual modern sekarang ini, sehingga ada kaloborasi dan melahirkan ilmu-ilmu baru. Wallahu 'alam bisshawab!.



























Referensi

1. Al-Quran dan terjemahannya
2. Al-'ak, syekh Khalid Abdurrahman, Ushuluttafsir wa qawa'iduhu, Dar an-nafais, lubnan, cet v, 2007
3. Dr. Zaidan, Karim Abdul, , Al- Wajiz fi Ushul Fiqh, Dar Muassasah Ar-risalah, Bairut, 1996
4. Dr. Subhi Hamdi, Buhus Ushuliyah, Diktat Kuliyah Syariah Wa Al-Qanun, Cairo 2005
.
5. Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa min 'ilmi al- Ushul. Dar al-kutub 'ilmiyah, 2008
6. Dr. Muhammad sulaiman Abdullah Al- Asyqar, Al-wadih fi Ushul fiqh lil Mubtadiin. Dar as-salam, 2008

Tafsir bi al-Ra'yi al-Madzmum

Oleh : Hendar Ali Irawan


A.Pendahuluan

Allah Swt berfirman:

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku,…” (Q.S. Al ‘Araf: 146)

Munculnya tafsir al-Qur'an dimulai sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai pada zaman para pengikut Tabi'in. Pada zaman ini satu sistem yang sama digunakan dalam menafsirkan yaitu dengan cara periwayatan dan sima' (pendengaran). Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya kemampuan manusia dalam menyikapi suatu permasalahan maka bertambah pula kemampuan manusia dalam menafsirkan al-Qur'an dengan metode yang lain dan system yang berbeda dari zaman Nabi sampai kepada pengikut Tabi'in. Sampai akhirnya mereka menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan kemampuan akal yang mereka miliki dan sampai kepada derajat ijtihad (baca: ijtihad yang diperbolehkan menurut ulama tafsir). Mereka menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan kaidah bahasa arab dan kaidah syara' menjaga norma-norma akal dan agama serta kefitrahannya.
Di samping itu mereka yang menjauhkan dari kepentingan pribadi maupun golongan serta menjauhkan dari hawa nafsu mereka. Tafsir yang demikian itu dinamakan tafsir birro'yi al-mahmud yang dibolehkan. Seiring dengan berjalannya waktu tadi muncul pula kelompok-kelompok dan golongan-golongan Islam yang bermacam-macam. Pada zaman tersebut kita dapat menemukan para ulama yang yang membela golongannya sendiri dengan berbagai cara yang mereka tempuh. Termasuk al-Qur'an yang dijadikan objek pertama untuk membela dan membantu kelompok mereka. Mereka menafsirkan al-Qur'an untuk menguatkan pendapatnya dan membela kelompoknya. Mereka menafsirkan sesuai dengan keinginan mereka tanpa menengok kepada kaidah bahasa arab dan kaidah syara'. Kemudian mereka menta'wilkan sesuai selera mereka dan sesuai dengan syahwat mereka. Penafsiran seperti ini keluar dari wilayah tafsir birro'yi al-mahmud dan dinamakan dengan tafsir birro'yi al-madzmum yang para ulama sepakat atas ketidak bolehan dalam menafsirkan seperti ini.
Awal kemunculan kelompok dan golongan yang bermacam-macam seperti ini yang merusak khasanah keislaman yaitu masa daulah Abbasiyyah. Sebenarnya kalau merujuk kemasa khulafaurrosyidin sudah terjadi perpecahan seperti ini terutama pada masa kholifah Usman bin Affan Ra pada masa tahkim, yang awal kemunculan kelompok Syi'ah, Khowarij dan Murji'ah . Maka benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah dalam hadistnya:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلام : ستفترق أمتى ثلاثا وسبعين فرقة كلها فى النارإلا واحدة وهى ما أنا عليه وأ صحابى
Artinya:
Rasulullah Saw berkata: Umatku akan berpecah belah sampai kepada 73 kelompok dan semuanya itu di neraka, keculai satu kelompok yaitu kelompok yang mengikutiku dan mengikuti Shohabatku.

B. Macam-Macam Tafsir
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab tafsir dikarang oleh ulama-ulama yang hidup setelah masa Tabi'in sampai sekarang, maka kita akan melihat berbagai model/ corak penafsiran para ulama tersebut. Saking banyaknya corak tafsir maka para ulama tafsir mengkelompokan kepada beberapa bagian dan mengklasifikasikannya kepada beberapa segi :
Pembagian ditinjau dari segi sumber dalam penafsiran, dibagi menjadi 2 bagian:
1.tafsir bil ma'tsur dan 2. tafsir birro'yi
Pada tafsir birro'yi ini termasuk tafsir birro'yi al-mahmud dan al-madzmum.
Pembagian selanjutnya ditinjau dari segi perluasan dan penyempitan makna dalam tafsir, dibagi menjadi 2 macam juga:
1.tafsir tahlily dan 2. tafsir ijmaly.
Pembagian yang terakhir, ditinjau dari keumuman dan kekhususan judul yang akan dibahas oleh seorang mufassir, dibagi menjadi:
1.tafsir umum dan 2. tafsir tematik.
Pada kesempatan ini penulis hanya akan menjelaskan satu macam tafsir saja yaitu tafsir birro'yi al-madzmum. Adapun menurut menurut Ibnu Abbas Ra bahwasannya tafsir dibagi menjadi 4 macam :
1. Tafsir orang awan yang dengan kebodohannya tidak menjadi penghalang dalam memahami makna ayat. Seperti makna halal dan haram dalam ayat:

“… dan Allah telah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba,…” (Q.S. Al-Bqarah : 275)

Barang siapa yang membaca atau mendengar ayat ini baik orang awan ataupun orang yang berilmu maka otomatis dia akan mengetahui yang namanya jual beli itu halal dan riba haram.
2. Tafsir yang diketahui oleh orang arab karena maknanya sama dengan bahasa yang mereka pakai. Seperti makna kitab sudah otomatis dipikiran mereka yang namanya kitab kumpulan dari kertas-kertas.
3. Tafsir yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama, hal ini terjadi pada ayat yang tidak ada periwayatan secara shohih. Kalau seandainya ada periwayatan maka para ulama tidak bisa menafsirkan secara langsung. Tafsir semacam ini hanya terjadi pada tafsir biddiroyah dengan mengambil istimbath hukum syar'iyyah dari ayat, mengambil tarjih dari segi makna ayat yang mempunyai banyak makna, dan lain sebagainya. Penafsiran semacam ini hanya diperbolehkan bagi ahlul dzikr mempunyai ilmu yang mempuni dalam menafsirkan al-Qur'an.
4. Tafsir yang tidak diketahui maknanya kecuali Allah Swt (ayat mutasyabihat).
Allah Swt brfirman:
              •                        •            

Seperti firman Allah:
)    ) dan (      )
Dan masih banyak banyak lagi dari sifat khobariyyah yang tidak diketahui maknanya kecuali Allah. Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada Imam Malik Ra dan bertanya tentang makna dari ayat     maka Imam Malik menjawab:
الإستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدع
Hakikat istawa-Nya Allah di arsy, hakikat tangan-Nya, hakikat wajah-Nya, dan lain sebagainya. Semua itu kita tidak diketahui makna yang benar dan tidak ada cara untuk mempelajarinya karena hakikat semuanya hanya Allah yang mengetahui. Adapun tujuan disebutnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan untuk menguji hamba-Nya yang benar-benar beriman. Berbeda dengan ahlul bida' mereka mentakwilkan ayat-ayat seperti itu sesuai keinginan mereka tanpa melihat kaedah bahasa yang benar dan tanpa memperhatikan timbangan syara'. Seperti kelompok Jahmiyyah, Qoromithoh, Rofidhoh dan lain sebagainya.

C. Pengertian tafsir birro'yi al-madzmum
Sebelum kita memasuki pengertian tafsir birro'yi al-madzmum secara khusus maka kita harus mengetahui pengertian tafsir birro'yi secara umum. Menurut Syekh Yusuf Qordhowi tafsir birro'yi kebalikan dari tafsir bilma'tsur, nama lain dari tafsir birro'yi adalah tafsir biddiroyah. Lebih lanjut beliau menjelaskan yang dimaksud arro'yu disini adalah ijtihad, mempergunakan akal dan dengan akalnya itu seseorang bisa mengetahui makna al-Qur'an serta memahaminya tanpa keluar dari koridor pengetahuan bahasa arab dan kaedah dalam menafsirkan. Di samping itu seorang mufassir harus memiliki kapabilitas dan mempunyai perangkat untuk menjadi seorang mufassir yang baik dan benar.
Tafsir birro'yi al-madzmum adalah penafsiran al-Qur'an yang menggunakan kemampuan pribadi yang tidak memenuhi syarat-syarat dalam menafsirkan dan tidak pula menggunakan ilmu-ilmu untuk menjadi seorang mufassir serta tidak memperhatikan peraturan yang ada dalam menafsirkan .
Menurut Syekh Az-Zarqoni penafsiran seperti ini dinamakan tafsir ahlul ahwa wal bida' .

D. Metode penafsiran ahlul bida'.
Dicontohkan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya bahwasannya diantara ahlul bida adalah kaum Mu'tazilah, Khowarij. Rowafidh. Jahmiyyah, Qodariyyah, Murji'ah dan lain-lain. Beliau lebih lanjut menjelaskan dalam kitabnya bahwa kaum yang disebutkan diatas menpunyai 2 metode dalam menjelaskan ayat al-Qur'an, yaitu:
1. Mereka merusak dari segi lafadznya sesuai apa yang mereka inginkan.
2. Merusak dari segi makna ayat dengan mengalihkan dari makna aslinya.
Seringkali mereka selalu menyandarkan segala urusannya kepada al-Qur'an akan tetapi mereka menta'wilkan sesuai pendapat mereka tanpa menengok kepada timbangan tafsir yang benar. Terkadang mereka mereka mengambil dalil dari al-Qur'an untuk menguatkan kelompok mereka dan terkadang mereka menta'wilkan untuk melawan musuh golongannya. Contoh dari ayat-ayat al-Qur'an yang mereka maknai:
     
Yang dimaksud dhomir huma adalah: Abu Bakar dan Umar.
   
Yang dimaksud adalah Ali' dan Fatimah.
    
Maksudnya: Hasan dan Husain
      (1)   (2)   (3)    (4)
Maksudnya:(1) Abu Bakar (2) Umar (3) Usman (4) Ali.
    
Maksudnya: Tholhah dan Zubair.
(Mudah-mudahan kita terjauhkan dari penafsiran yang seperti ini,al'iyadzu billah)

E. Kitab-Kitab Tafsir Birro'yi al-Madzmum
Perpustakaan Islam sangat menjauhkan dan terjaga dari kitab-kitab tafsir birro'yi al-madzmum yaitu kitab tafsir atas produk dari selera dan hawa ahlul bid'ah serta didasari oleh fanatik golongan. Pengikut dari satu golongan hanya mengikuti akidah serta kepentingan yang mereka anut saja tanpa melihat pada kemaslahatan orang banyak. Berikut ini contoh kitab-kitabnya tafsir birro'yi al-madzmum :
- Tafsir mu'tazilah
1.Tanzihul qur'an anil matho'in, pengarang: Qodi Abdul Jabbar yang wafat pada tahun 415 h.
2.Amali as-syarief al-murtadho, pengarang: Abu Qosim, Ali' bin Thohir bin Abu hmad Husain.
3.Al-Kassyaf an haqoiq at-tanzil wa uyunul aqowil fi wujuhit ta'wil, pengarang: Syekh Zamakhsyari wafat 538 h. Dalam menyikapi tafsir ini para ulama terbagi menjadi 2 bagian, ada yang mengatakan bahwasannya Tafsir Zamakhsyari ini termasuk tafsir mu'tazilah yang menggunakan ro'yul madzmum, para ulama golongan ini menolak Tafsir Zamakhsyari. Golongan ulama lain berpendapat bahwasannya meskipun tafsir Zamakhsyari ini termasuk tafsir Mu'tazilah akan tetapi tidak termasuk tafsir birro'yi al-madzmum. Mereka beralasan karena tafsir tersebut sesuai timbangan tafsir yang lain dan lebih banyak faedah serta manfaatnya .
- Tafsir Syi'ah Imamiyah Istna Asyriyyah
1. Majma'ul bayan li ulumil qur'an, pengarang Abu 'Ali al-Fadl bin al-Hasan al-Thobrosi wafat pada tahun 538 h.
2. As-Shofi fi tafsiril qur'anil karim, pengarang: Mala Muhsin al-Kaasyi wafat pada akhir abad ke-11 h.
- Tafsir Syi'ah Azzaydiyyah
1. Fathul Qodir, pengarang: Muhammad bin Syaukani wafat pada tahun 1250 h.
2. Tafsir 'atiyyah bin Muhammad an-Najrani az-Zaydi wafat pada tahun 665 h. Syekh Ibnu Nadim dalam kitabnya al-fihrisat mengatakan: ada yang mengatakan bahwa tafsir tersebut termasuk tafsir yang sholih dan agung karena didalamnya terdapat kumpulan ilmu-ilmu Syi'ah Zaidiyyah dan disamping itu Zaidiyyah adalah salah satu kelompok Syi'ah yang paling adil dibanding kelompok Syi'ah yang lainnya.
- Tafsir Khowarij al-Abadhiyyah
1. Hamyanuzzadi ila dari ma'ad, pengarang: Muhammad Yusuf Ithfisy wafat pada tahun 1332 h.
2. Tafsir Hud bin Muhkam al-Hawarie beliau adalah salah satu ulama di abad ke-3 h. Tafsir ini populer dan banyak dipakai oleh orang Syi'ah di negara Maroko.

F. Penutup
Demikianlah tulisan singkat seputar tafsir birro'yi al-madzmum. Apa yang pembahas paparkan diatas hanya sekedar pengantar sebenarnya masih banyak lagi kitab-kitab yang berhubungan dengan pembahasan di atas. Namun apalah daya dan kekuatan, hanya ini kemampuan pembahas disamping waktu, tempat dan maroji' yang terbatas. Mudah-mudahan tulisan yang sedikit dan sederhana ini bisa bermanfaat terlebih bagi pembahas pribadi yang baru mulai belajar serius umumnya bagi teman-teman kajian "AKTIF" yang selalu aktif dan semangat tanpa batas. Jazakumullah ahsanal jaza'



Kamis, 11 Maret 2010
























Referensi:
1. Dzahabi, DR.Muhammad Husen, At-tafsir Wal Mufassirun, Dar el-Hadist, Cairo, 2005
2. Dzahabi, DR. Muhammad Husen, Buhust Fi ulumittafsir, Dar el-Hadist, Cairo, 2005
3. Kementerian Wakaf Mesir, Al-Mawsu'ah al-Qur'aniyyah al-Mutakhosisoh, Cairo, 2009
4. Qordhowi, DR. Yusuf, Kayfa Nata'amal Ma'al Qur'an, Dar as-Syuruq, Cairo, 2009
5. Azzarqoni, Muhammad Abdul Adzim, Manahilul Irfan, Dar el-Hadist, Cairo, 2001
6. Ibnu Taimiyyah, Syekh al-Islam, Muqoddimah at-Tafsir, Dar Ibnu Hazm, Cairo, 2009
7. Abu Hasyim, DR.Abdul Badi' Muhammad, Min Ahkamil Usroh wal Mujtama' fi Qur'anil Karim, Ushuluddin, Cairo.
8. Al-Qur'an terjemah.

Tafsir bi al ro’yi

Oleh: Amin
• Pengertian tafsir bi al ro’yi:
1. Secara bahasa
Tafsir ini dinamakan juga dengan tafsir bidiroyah,yang berarti;penafsiran yang diambil dari hasil ijtihad dengan syarat-syarat tertentu. Adapun nama lain dari tafsir ini adalah tafsir bil aqli,karena keterkaitannya dengan keyakinan(I’tiqod),akal dan pemahaman.
2. Secara istilah
Para ulama telah berpendapat :”bahwa tafsir birro’yi adalah salah satu model penafsiran al qur’an dengan cara ijtihad setelah memahami ilmu bahasa arab secara detail,kemudian mengetahui persis tentang asbabun nuzul dan ilmu-ilmu tertentu lainnya ”.
• Hukum tafsir bi al ro’yi
Dalam pokok pembahasan ini ada 2 pendapat yaitu:
A. golongan yang tidak memperbolehkan tafsir bi al ro’yi(mani’in)
• Sebab-sebab mereka mengharamkan tafsir bi al ro’yi sebagai berikut:
(a) Mereka menganggap bahwa model penafsiran al qur’an yang seprti ini adalah penafsiran yang menggunakan anggapan saja,sedangkan anggapan adalah sesuatu yang tidak ada kejelasannya,dan allah swt telah berfirman :
Namun perlu kita ketahui bahwa suatu anggapan (dzhon )itu tidak selamanya tidak boleh dipakai,akan tetapi dapat dipakai sepenuhnya ketika tidak ditemukan dalil dari al qur’an atau dari hadits rosulallah saw.dan allah swt telah berfirman:
(b) Hadist rosulallah saw adalah penjelas al qur’an,dan allah swt telah berfirman: Tidak salah,kalau hadits rosulallah saw itu adalah penjelas al qur’an,namun rosulallah saw di masa hidupnya belum sempat menjelaskan seluruh kandungan ayat suci al qur’an,maka datanglah masa setelahnya yaitu masa para shabat nabi saw hingga sampai pada masa para ulama’ yang mana mereka semua mampu untuk menjelaskan beberapa kandungan ayat suci al qur’an yang belum sempat dijelaskan oleh rosulallah saw sewaktu hidupnnya.
(c) Bahwa rosulallah saw telah bersabda: Hadits ini tidak ditunjukkan untuk semua tafsir birro’yi,akan tetapi di tunjukkan khusus untuk orang yang menafsirkan al qur’an dengan ijtihadnya sendiri yang mana tanpa didasari dengan dalil-dalil yang kuat.
B. Golongan yang memperbolehkan tafsir bi al ro’yi(mujiziin)
• Sebab- sebab mereka memperbolehkan tafsir bi al ro’yi sebagai berikut:
a) Allah swt telah memerintahkan kita agar selalu menghayati seluruh kandungan ayat suci al qur’an,melalui firmannya dalam al qur’an al karim:


b) Rosulallah saw telah mendo’akan ibnu abbas ra dengan do’a sebagai berikut: Do’a ini menunjukan bahwa rosulallah saw memperbolehkan untuk menafsirkan al qur’an al karim bagi orang -orang muslim setelah sepeninggal rosulallah saw lainnya dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditentukan oleh para ulama’.
c) Diperbolehkan menafsirkan al qur’an dengan ijtihadnya, selama penafsiran itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum syar’i lainnya yang telah di jelaskan oleh rosulallah saw.
• Pembagian tafsir bi al ro’yi pembagiannya ada 2 jenis yaitu:
1. Tafsir bi al ro’yi yang sesuai dengan bahasanya orang arab dan sesuai dengan al qur’an al karim dan hadits rosulallah saw, kemudian jenis ini sesuai dengan syarat-syarat tafsir yang telah ditentukan oleh para ulama. jenis tafsir ini dinamakan dengan tafsir birro’yi al mamduh,dan hukumnya boleh.
2. Tafsir bi al ro’yi yang tidak sesuai dengan bahasanya orang arab dan bertentangan dengan al qur’an dan as sunnah,kemudian jenis tafsir ini tidak sesuai dengan syarat-syarat tafsir yang telah disepakati oleh para ulama. Jenis tafsir birro’yi ini disebut juga dengan nama tafsir bi al ro’yi al madzmum,dan hukumnya tidak boleh .
• Ilmu - ilmu yang dibutuhkan bagi seorang mufassir sebagai berikut:
1. Ilmu nahwu
2. Ilmu shorof
3. Ilmu al isytiqoq
4. Ilmu balaghoh
5. Ilmu ushul al fiqih
6. Ilmu ushuludin
7. Ilmu qiro’at
8. Ilmu asbab an nuzul
9. Ilmu qhoshos dll
• Referensi tafsir sebagai berikut:
1. Al qur’an al karim
2. Hadist rosulallah saw
3. Perkataan para sahabat rosulallah saw
4. Ilmu-ilmu bahasa arab
5. Ilmu asbab an nuzul
• Metode mufassir dalam berijtihad sebagai berikut:
1. Seorang mufasir harus menggunakan istilah dan metode yang mudah dalam menafsirkan al qur’an.
2. Seorang mufasir harus selalu memperhatikan makna aslinya dan makna majasnya.
3. Seorang mufasir harus selalu memperhatikan keterkaitan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain,dan menjelaskan munasabahnya .
4. Seorang mufasir harus selalu menjelaskan setiap sebab turunnya ayat.
5. Seorang mufasir harus mengetahui bagaiman caranya mengambil pendapat yang paling kuat ketika ada perbedaan dalam menafsirkan ayat dll.
Imam az zarkasyi rahimallah telah berkata dalam karya beliau “al burhan”: setiap lafadz pasti mempunyai 2 makna, maka tidak diperbolehkan bagi selain ulama untuk menafsirkan nya.
• Pertentangan (at ta’arud) diantara tafsir bi al ma’tsur dengan tafsir bi al ro’yi Maksud dari pertentangan ini adalah tidak adanya kecocokan diantara keduanya,dalam artian suatu tafsir menunjukan kepada isbat al amr sedangkan tafsir yang lain menafikannya,dan tidak mungkin untuk menggabungkan kedua-duanya.
• Beberapa contoh aqliah yang bisa menimbulkan pertentangan diantara tafsir bi al ma’tsur dengan tafsir bi al ro’y adalah :
1. Ada dalil aqli dan dalil naqli yang sama sama kuatnya.
Misalnya dalam amalan fardhu ,karena tidak logis kalau terjadi ta’arud diantara dalil yang sama sama qoth’inya.
2. Salah satu dari keduanya qoth’i sedangkan yang lain dhonni.
Maka wajib untuk mndahulukan yang qothi dari pada mndahulukan yang dhonni,ketika tidak mungkin untuk menggabungkannya ,maka kita ambil yang lebih kuatnya dan mengamalkannya.
3. Salah satu dari keduanya dhonni sedangkan yang lain dhonni.
Misalnya dalm penggabungan antara aqli dan naqli,jika tidak bisa menggabungkan keduanya, maka kita dahulukan tafsir bi al ma’tsur ketika diambil dari sanad yang shohih.
• Nama-nama kitab tafsir bi al ro’yi yang diperbolehkan adalah:
a) Mafatih al ghoib karya imam fakhru ar rozi
b) An wa’u at tanzil wa asroru at ta’wil karya imam baidhowi
c) Mudarik at tanzil wa haqoiq at ta’wil karya imam nasifi
d) Lubab at ta’wil fi ma’ani at tanzil karya imam khozin
e) Al bahr al muhith karya imam abi hayan
f) At tafsir al jalalain karya imam jalaludin al mahali dan imam jalaludin al suyuthi