irja

Minggu, 04 April 2010

Kaidah Interpretasi Lafal al-Qur'an

KAIDAH INTERPRETASI LAFADZ AL-QUR'AN
ANTARA EKSPLISIT DAN IMPLISIT; DILALAH ATAS HUKUM
[SEBUAH PENGANTAR] *
Oleh : M. Edwin. ks

"Dimana ada kemaslahatan manusia, maka disitulah syari’at Allah”

Mukadimah :
Adalah sebuah keniscayaan jika sebuah kitab yang disakralkan oleh umat bergama mempuyai kaidah-kaidah dasar, yang tentunya mudah untuk di mengerti dan dipahami oleh segenap mayoritas keberagamaan. Islam merupakan agama diantara sekian banyak agama-agama samawi yang mempunyai kitab suci (scripture) al-quran. al-quran adalah salah satu dari sejumlah kecil kitab yang telah memberikan pengaruh yang begitu luas dan mendalam terhgadap jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin al-quran bukan saja kitab suci melain juga petujuk (huda) yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka. Untuk itulah kaum muslimin mempelajari al-quran sejak kitab suci ini diturunkan hingga sekarang dan mungkin seterusnya, seakan-akan tak pernah habis apa yang ditawarkannya kepada manusia dan kehidupan. Maka tidak heran kalau ada sementara ahli yang mengatakan: " tidak ada satupun teks (keagamaan ataupun lainnya) yang telah ditafsirkan sebanyak al-Quran ". mempelajari al-Quran beserta isi kandungannya tidak hanya segelintir golongan agama saja, (baca;agama) akan tetapi dari timur sampai barat mereka tak kenal lelah untuk mengkaji sekaligus mempereteli satu persatu huruf yang ada dalam al-quran.
Diantara komponen-komponen kandungan ilmu-ilmu al-quran tulisan ini mencoba menguak sebahagian disiplin ilmu-ilmu al-quran, penjelasan lafadz-lafadz al-quran secara eksplisit dan implisit serta dalil-dalil atas sebuah hukum. untuk mengenal lebih jauh diskursus ilmu-ilmu al-Quran.
Corak Lafadz al-Quran bersifat Eksplisit
Ketika umat Islam membuka lembaran-lembaran kitab sucinya ditemukan Adanya indikasi tentang teks terhadap makna lafadz al-Quran yang bercorak eksplisit, term tersebut mempunyai daya tarik yang begitu signifikan dalam menginterpretasi serta memahami teks al-Quran bahkan dalam pengambilan sebuah hukum sekalipun, ada beberapa term yang digunakan untuk memahami teks al-Quran, diantaranya; Az-dzahir, mempunyai pengertian suatu lafadz yang menunjukan pada makna tanpa adanya intervensi dari luar dalam penjelesannya, besar kemungkinan adanya tahksis, ta'wil, dan nasakh.
Dapat dilihat teks al-Quran yang artinya; " Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".[An-Nisa':3]. Jika kita cermati ayat tersebut secara dzahir terdapat legalisasi jenis laki-laki berfusi terhadap lawan jenisnya [get married] tanpa adanya pihak lain, dengan demikian bukanlah termasuk yang orginal dari maqasid asalnya, akan tetapi bertujuan memberikan ruang bagi kaum Adam untuk berpoligami dengan membatasi tidak lebih dari empat. Fuqaha' Islam melegitimasi atas term diatas dengan wajib mengamalkannya atas dasar hukum maqasidnya, sampai ada dalil lain menjustifikasi, bahkan menghapusnya. Kemudian term yang lain di kenal dengan nama An-Nash, mempunyai pengertian bahwa lafadz yang menunjukkan atas dasar hukum yang jelas dari teks itu sendiri.
Dapat dilihat dari potongan ayat; " Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ". [Al-Baqarah :275]. Jika kita memperhatikan potongan ayat tersebut tidak ada penyama-rataan antara lafadz yang satu dengan yang lain (bae' dan riba) dari segi halal dan haramnya, karena sudah jelas dan terang apa yang terkandung oleh nash, bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Teks semacamnya ini menempati posisi yang sama dengan Az-dzahir, hanya bedanya An-nash lebih kuat ketimbang Az-dzahir ketika terjadi tanaqud diantara keduanya. Selanjutnya istilah berikutnya Al-mufassar, yakni lafadz yang menunjukkan atas dalil-dalil yang falid tidak ada ruang ta'wil ataupun spesialisasi (tahksis), akan tetapi besar kemungkinan terbuka baginya ruang pengangkatan (nasakh) atas sebuah hukum. Dalam al-Quran dikatakan : " Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera". [An-Nur : 4]. tidak ada semacam bentuk tawar menawar dari teks yang satu ini, jika kita melihat seperti lafadz 'adad pada ayat diatas tidak boleh mengurangi dan juga tidak melebihi, hukuman bagi orang yang menuduh perempuan berzina delapan puluh kali derah dan teruntuk laki-laki, perempuan berzina seratus kali cambuk.
Dalam penerepan hukum ia termasuk kedalam kata-gori wajib diamalkan karena belandaskan dalil-dalil qhati' selama di sana tidak ada dalil lain yang menghapusnya (nasakh) peranan term ini pada sebuah hukum lebih utama dari term-term sebelumnya jika terjadi paradoks diantara mereka. Al-muhkam adalah term akhir lafadz-lafadz al- Quran yang bersifat eksplisit mempunyai pengertian ialah lafadz yang mengarahkan pada makna yang sangat jelas tanpa ada kecendrungan pada penta'wilan, pentahksissan, dan penasakhan. Walaupun berakhirnya masa nubuwa ia tetap eksis tanpa terdapat perubahan sedikitpun, banyak sekali variasi-variasi al-muhkam bagian dari pada dasar-dasar agama seperti; meyakini adanya Allah swt, malaikat, kitab-kitab, para rasul, dan hari akhir.
type kedua tentang keutamaan-keutamaan seperti; akhlaq mulia, adil, jujur, amanah, bakti pada orang tua, menyambung tali silaturrahmi dan menepati janji. Variasi hukum-hukum seperti; ahkam juziy bersifat kekal abadi, contoh : " Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat ". inilah bentuk al-muhkam terbagi kepada al-muhkam lidzatihi dan yang kedua al-muhkam lighairihi.
Dilalah yang terakhir ini lebih besar ruang lingkupnya dari pada dilalah sebelumnya wajib di amalkan karena ke validitasannya tanpa ada keraguan sedikitpun dalam menyakininya.
Lafadz dilalah eksplisit yang kontradiktif
Jika terjadi kontradiktif terhadap term-term diatas antara Az-dzahir dengan An-nash, Al-muhkam dengan an-nash, antara an-nash dengan Al-mufassar, Al-mufassar dengan Al-muhkam bagaimana penyelesainnya?
Ada beberapa contoh surat-surat, ayat-ayat al-Quran yang kontradiktif dapat dicermati dengan baik sebagai berikut:
a. Surat An-Nisa : 24 dengan ayat 3
( وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأموالكم محصنين غير مسافحين )
( وإن خفتم ألاّ تقسطوا في اليتامى فا نكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع )
b. Surat An-Nisa : 3 dengan An-Nur :4
( فا نكحوا ما طاب لكم من النساء )
( ولا أن تنكحوا أزواجه من بعده أبدا )
c. Surat At-Thalaq : 2 dengan An- Nur :4
( وأ شهدوا ذوى عدل منكم )
) ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا )
Lafadz-lafadz al-Quran bersifat Implisit
Tak jarang di temukan lafadz- lafadz al-Quran yang bersifat implisit ( Al-mubham ) yang di maksud disini ialah teks yang terselubung dalil-dalilnya atas suatu hukum, sehingga sukar untuk dipahami dan dicerna, membutuhkan sebuah piranti ijtihad dalam membuka tabir teks tersebut sehingga lebih mudah untuk dimengerti. Bagian lafadz ini terbagi kepada empat term, diantaranya; Al-khufy, ialah teks yang dilalah maknanya jelas, disana ada persesuaian makna pada bentuk awalnya, keterselubungannya dan kesulitan atas teks tersebut membutuhkan "pencerahan" sehingga tersingkaplah arti kandung lafadz tersebut.
Pada surat [Al-Maidah : 38] "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya". Lafadz " As-sariqa" mempunyai makna pluralistik termasuk didalamnya lafadz An-nabasy, dan At-thirar.
Para ulama menghukumi teks yang implisit tersebut terlebih dahulu mecernah dan mentela'ah sehingga dapat terdeteksi tujuan yang dimaksud. Selanjutnya lafadz Al-musykil, ini mempunyai pengertian sesuatu yang mempunyai kemiripan, kesamaan pada kejanggalan maksud dan tujuan tertentu sehingga baru bisa dipahami dengan dalil yang menjadi pembeda atas segala yang asykal. Coba jika dilihat pada surat [Al-Baqarah : 223] yang artinya:" Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki ". Isykal pada ayat tersebut pada lafadz "annaa” pada kebiasaan orang arab mengandung arti 'saling bedekatan' terus lafadz kaifa, haitsu, mataa, mempunyai arti yang sama, nah dari sini adanya isykal sehingga kecendrungan para ulama berbeda cara pandang dalam menginterpretasi suatu hukum, sebagian mereka menta'wil kan dengan makna kaifa, yang lainya memaknai haitsu, kemudian ada yang memakai istilah mataa, dan sebagainya. Ulama menghukumi teks yang bersifat musykil ini dengan wajib merealisasikannya apabila telah diketahui makna yang diinginkan dari makna-makna yang pluralistik tersebut.
Yang ketiga Al-mujmal, adalah teks universal yang mengandung banyak arti, sehingga kesulitan untuk memahami ungkapan teks tersebut, perlu adanya interpretasi baik itu menggunakan piranti teks itu sendiri maupun sunnah dan ijtihad para author yang dianggap memumpuni. Banyak sekali terma-terma syari' yang besifat Mujmal termasuk pembahasan tentang sholat puasa zakat dan haji bahkan perkara-perkara mu'amalat sekalipun. Yang terakhir lafadz al-Quran bercorak implisit ialah Al-mutasyabih, menurut Syaekh Muhammad abu al-yusr 'abidin Rahimahullah, ialah kandungan teks yang secara dzahir belum bisa dicernah dengan baik shingga mempunyai variasi dalam mengartikan lafadz teks tersebut seperti; lafadz muqata'a pada awal setiap surat dan bisa dilihat pada surat [Al-Fath : 10] yang artinya: "Tangan Allah di atas tangan mereka". Hukum ungkapan dari teks yang cenderung ekslusif ini tidak diperkenalkan siapapun menta'wilkan secara semberono akan tetapi umat islam wajib menyakininya apa yang tersirat pada ungkapan teks al-Quran sebagai kita yang disakralkan.
Dilalah Teks atas sebuah Hukum
Pentingannya sebuah teks dalam memahami hukum syari' yang tersirat dibalik ungkapan teks melahirkan berbagai disiplin ilmu terutama menyangkut ilmu metodelogi ushul dan ilmu ini merupakan keistimewaan ulama-ulama salaf terdahulu yang belum terjamah oleh orang-orang sebelumnya sehingga mempermudah generasi setelahnya untuk menyabung estafet dan mengembangkannya berbagai disiplin ilmu-lmu lainnya, kemudian ilmu ushul mempunyai variasi dilalah yang beraneka-ragam terkhusus ketika membahas teks-teks al-Quran tentang objek hukum, maka terlahirlah konsep yang dikenal dengan istimbat dalam pengambilan hukum syari' diantranya; dilalah al-'ibarah, al-isyarah, an-nash, dan dilalah al- iqtidha'. Pertama Dilalah Al-'ibarah sebagian ulama menamainya dengan dilalah An-nash pengertiannya ialah dalil-dalil teks lafadz terhadap objek makna yang mempunyai esensi pada lafadznya mengandung orginal dan taqlid dilihat pada surat [An-Nisa : 3] yang berarti:" Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja". Ayat ini secara implisit menunjukkan teks yang dikandungnya beragam hukum yang dilahirkan, pertama; melegalkan segala bentuk hubungan antara jenis laki-laki dan perempuan (nikah) hukum yang selanjutnya membolehkan poligami terhadap objek kaum Hawa tidak lebih dari empat yang terakhir, hukum yang tersirat dari ayat diatas mewajibkan menikahi perempuan cukup satu saja jika takut tidak dapat berlaku adil ketika berpoligami.
Cara kerja teks Dilalah Al-'ibarah atau bisa juga dinamakan Dilalah An-nash ini wajib hukumnya dalam aplikasnya tanpa tesirat keraguan didalamnya. Kedua Dilalah Al-isyarah, ialah dalil-dalil teks atas objek sebuah hukum, akan tetapi menangdung kepastian arti yang diinginkan; baik itu hukum yang bersifat orginal, taklid, akal, adat, eksplisit dan implisit. Dapat dilihat dalam surat [Al-Baqarah : 187] yang artinya sebagai berikut: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu". Ungakapan ayat ini dari teks orginalnya menghukumi dengan mengizinkan suami menggauli istri-istrinya setiap waktu pada malam bulan ramadhan. Sebagaimana kandungan teks yang mengisyaratkannya. Aplikasi dari pada bentuk teks isyarah menghukumi harus diterapkan, apabila terjadi kontraversial antara isyarah nash dengan 'ibarah nash lebih dipakai nash karena ia lebih kuat dan lebih akurat ketika menimbang suatu objek hukum.
Selanjutnya Dilalah An-nash, pengertiannya yaitu dalil-dalil teks yang di sebutkan pada kandungan teks atau yang terlahir dari badan teks itu sendiri besifat tsabit, hanya melihat lafadznya saja sudah cukup dipahami dan dimengerti, tanpa membutuhkan energi yang menguras pikiran seorang mujtahid dalam pengistinbatan objek hukum. Dicontohkan pada surat [Al-Isra' :23] yang berarti; " Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".
Korelasi antara hukum yang disebutkan pada teks dengan objek hukum yang masih terkandung didalam bandan teks mempunyai kesatuan ikatan yang kuat inheren satu sama lain. Sungguh sangat dimurkai melontarkan kata-kata yang menyakiti hati kedua orang tua walaupun dengan mengatakan 'ah, cih' akan tetapi akan lebih dilaknati memukul fisik dan melakukan hal-hal yang jauh dari adab berbuat baik kepada keduanya. Terakhir Dilalah al- Iqtidha' yaitu dalil-dalil perkataan atau ucapakan bahasa teks yang terselebung atas kanduangan terhadap teks, sehingga butuhkan tambahan atas pengertian yang diinginkan oleh teks tersebut agar dapat melengkapi apa yang dimaksud. Kita ambil contoh dalam surat [Al-Maidah : 3 ] dikatakan: "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah". Dapat dideteksi bahwa pengharaman tersebut bukan pada barang atau objeknya bendanya akan tetapi pada perbuatan atau sifat yang dimilki oleh objek bangkai tersebut.

Kaidah-kaidah Tafsir ditinjau dari Keuniversalitasan dan Nonuniversalitas Teks-Teks al-Quran atas Dalil-dalil objek Hukum
Diantara keistimewaan bahasa al-Quran banyak sekali dijumpai istilah-istilah teks yang bersifat umum, khusus, dan mustarak, ini membuktikan bahwa litelatur yang dibawah kitab suci umat Islam melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang melimpah. Bahkan orang Arab sendiripun terkadang tidak bisa memahami arti dari kandungan teks al- Quran sebagai kitab sucinya yang menjadi pokok bahasa mereka sehari-hari. Diantara implikasi yang dibawah teks al-Quran melahirkan lafadz 'amm, dapat diartikan lafadz yang diposisikan pada bahasa tunggal bukan pada bahasa plural, diantara lafadz-lafadz yang umum dapat diperincikan sebagai berikut: Dalam surat [At-Thur : 21] mempunyai arti: "Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya". Terdapat lafadz "kullu" banyak lafadz-lafadz yang menunjukkan korelasi umum antara ayat dan lafadz seperti; jami' asma' as-syarat, asma al-maushul,
Pengkhususan terhadap lafadz Umum
Rasanya menjadi keharusan bagi seorang intlektual Islam untuk terus menyingkap isi kandungan teks al-Quran diantara pembahasan yang sering dilontarkan oleh kalangan ulama ushul mengatkan hal menjadi penting mendalami pengkhusususan lafadz umum misalnya pada surat [Ali Imran : 97] artinya: " mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah". Lafadz "An-nas" menunjukkan lafadz umum, mecakup semua makhluk jenis manusia, kemudian dikhususkan oleh sebuah hadist yang artinya: " terbebas dari segala dosa pada tiga kondisi; pertama anak kecil sampai ia baligh, orang gila sampai ia sadar, orang tidur sampai ia terjaga ".
Implikasi dan eksistensi Al-Musytarak

Al-mustarak menurut al-bazdawi dalam ushulnya mengatakan: setiap lafadz mempunyai kandungan makna yang berbeda, tidak ditetapkan melainkan dari lafadz yang dimaksudkan.

Sebab-sebab terjadinya Al-Musytarak pada Bahasa Arab

1. pergumulan yang terjadi antara Bangsa Arab dengan bagsa luar, berimplikasi pada ragam lahja yang mereka gunakan .
2. munculnya lafadz tematik terhadap teks berimplikasi dua makna
3. adanya lafadz-lafadz yang dulunya menjadi kebiasaan Arab jahiliyah kemudian diistilahkan oleh bahasa syara'
4. adanya penempatan istilah lafadz-lafadz terhadap makna yang majazi dan hakiki.

Dilalah Al-Khas dan Type-typenya dalam Pengambilan Hukum

Dirasah tentang Al-Khas ini sangat intens dalam interpretasi teks-teks al-Quran sehingga mendapatkan perhatian dikalangan ulama ushul.
Al-Khas mempunyai pengertian bahwa setiap lafadz yang mempunyai ruang pada suatu makna atas kekhususannya. Dapat kita lihat pada surat [An-Nur : 2] artinya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera". Lafadz "mi'ah" menunjukkan atas makna tertentu, tanpa adanya interpretasi dari pihak lain.

Macam-macam Al-Khas

1. Al-Mutlaq, lafadz khas yang tidak mengikat pada lafadz, type seperti jarang
2. Al-Muqayyad, lafadz khas yang mengikat pada lafadz, sama dengan type yang pertama.
3. Al- Amru, lafadz yang menunjukkan atas permintaan untuk dilakukan, tuntuan dari pihak pertama.
4. An-Nahyu, perkataan yang menunjukkan pada larangan untuk dikerjakan, dari pihak yang mengeluarkan hukum.

Penutup

Penulis sangat sadar, tulisan ini masih terlalu jauh untuk mengungkapkan rahasia ilmu-ilmu al-Quran akan tetapi, tak ada rotan akar pun jadi. Namun yang perlu kita sadari bersama bahwa al-Quran bukanlah suatu kitab yang diturunkan dilapangan yang kosong tanpa ada suatu pristiwa atau kejadian. Untuk mengetahui maksud-maksud dan makna yang dibawa oleh al-Qur’ân, seseorang harus mampu mengkaji ulang berbagai disiplin ilmu yang ditelurkan ulama dahulu dan intlektual modern sekarang ini, sehingga ada kaloborasi dan melahirkan ilmu-ilmu baru. Wallahu 'alam bisshawab!.



























Referensi

1. Al-Quran dan terjemahannya
2. Al-'ak, syekh Khalid Abdurrahman, Ushuluttafsir wa qawa'iduhu, Dar an-nafais, lubnan, cet v, 2007
3. Dr. Zaidan, Karim Abdul, , Al- Wajiz fi Ushul Fiqh, Dar Muassasah Ar-risalah, Bairut, 1996
4. Dr. Subhi Hamdi, Buhus Ushuliyah, Diktat Kuliyah Syariah Wa Al-Qanun, Cairo 2005
.
5. Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa min 'ilmi al- Ushul. Dar al-kutub 'ilmiyah, 2008
6. Dr. Muhammad sulaiman Abdullah Al- Asyqar, Al-wadih fi Ushul fiqh lil Mubtadiin. Dar as-salam, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar